Pada Sabtu, 9 November 2024 lalu, WeSpeakUp.org bersama dengan KBR Media menyelenggarakan Talkshow #AllYouCannotEat “Orang Muda Bicara Pangan” di sekretariat Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Jakarta Selatan.
Acara ini adalah kelanjutan dari kampanye kami bertajuk #AllYouCannotEat, yang selama beberapa bulan ini sedang diamplifikasi oleh WeSpeakUp.org.
Kampanye ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran publik, terutama orang muda, tentang isu kedaulatan pangan yang kian hari memiliki tantangan yang makin besar. Hal ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah terhadap sistem pangan dan juga tantangan dari adanya perubahan iklim. Sehingga di masa depan, kita berpotensi tidak bisa lagi menikmati pangan-pangan lokal yang sebelumnya banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
Di acara ini, kami mengundang pembicara dari orang muda untuk berbagi pengalaman dan berbagi perspektif terkait situasi kedaulatan pangan di Indonesia saat ini. Pembicaranya di antaranya dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan KBR Media.
Rizki Cahyani Nurani salah satu narasumber perwakilan KRKP, menyampaikan bahwa salah satu fakta tentang situasi pertanian di Indonesia, bahwa 62% petani di Indonesia merupakan petani gurem. Artinya mayoritas petani di Indonesia adalah petani kecil yang kepemilikan lahannya hanya sebesar 0.2 h.a. Dengan demikian, produk pangan yang dihasilkan juga produksi skala kecil. Penguasaan lahan oleh petani sendiri masih rendah.
Di sisi lain, penggunaan-penggunaan pupuk organik yang berasal dari keanekaragaman hayati juga masih minim. Hal ini juga mengakibatkan kebergantungan petani pada pupuk non organik yang distribusinya belum merata, dan berpotensi menghambat produksi pertanian yang berkelanjutan.
Sementara Hosiana Simamora dari World Resources Institute (WRI) yang merupakan bagian dari Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) menyampaikan bahwa problem lain dari permasalahan kedaulatan pangan di Indonesia adalah tingginya angka susut dan sisa pangan (food loss dan food waste).
Menurut kajian Bappenas, nilai susut dan sisa pangan mencapai 115-184 kilogram per kapita per tahun. Angka ini menyumbang banyak kerugian dari berbagai sektor seperti ekonomi, nilai gizi yang diserap oleh masyarakat dari pangan yang mereka konsumsi, serta meningkatnya gas metana yang berpengaruh terhadap efek rumah kaca dan pemanasan global.
WRI sejauh ini bersama KSPL, Garda Pangan dan Parompong bekerja sama dengan Bappenas mencoba Menyusun standar baku untuk menghitung susut dan sisa pangan yang diadopsi dari global.
Terkait posisi orang muda dalam isu pangan ini, masih dari apa yang disampaikan Hosi dari KSPL, orang muda menurut statistik tahun 2020 menempati separuh populasi dari masyarakat Indonesia.
Terlepas dari tantangan yang dihadapi saat ini di berbagai lingkup isu kedaulatan pangan, orang muda juga bisa menjadi peluang penggerak perubahan di berbagai sektor. Terutama di isu pangan.
Hal-hal sederhana seperti gerakan-gerakan dari media sosial juga bisa berdampak. Misalnya seperti mengunggah foto piring bersih dari sisa makanan setelah kita makan, bisa mendorong orang lain melakukan hal serupa untuk melahap habis makanan yang ada di piringnya, sehingga gerakan untuk tidak menyisakan makanan menjadi gaya hidup dan menjadi lebih massif.
Orang muda juga bisa diajak untuk berpikir dengan sistematis, bahwa peristiwa yang muncul di hadapan kita belum tentu menjadi masalah utama seperti fenomena gunung es.
Berpikir sistematis membuat kita dapat memahami akar dari sebuah permasalahan secara terstruktur. Misalnya kita bisa melihat alasan di balik banyaknya orang yang lebih memilih membeli makanan import yang lebih mahal atau sedang menjadi trend. Faktor kualitas dan kesehatan mungkin bukan menjadi alasan utama. Tapi ada faktor lain seperti masifnya iklan dan kebijakan terkait distribusi produk pangan import itu sendiri.
Beralih ke perwakilan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Ade, menyampaikan bahwa permasalahan kepemilikan lahan bagi petani memang masalah yang krusial. KPA sendiri saat ini memiliki mitra-mitra serikat petani yang menjadi dampingan untuk menghadapi konflik agraria yang banyak dihadapi petani lokal.
KPA, melalui gerakannya, menginisiasi Desa Maju Reforma Agraria (Damara). Yang bertujuan untuk mendorong terjadinya reformasi agrarian yang berkelanjutan, dan memulihkan ketimpangan struktur agraria di level desa. Mereka menggunakan mekanisme penanganan konflik dan menjadikan desa sebagai pusat produksi dan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan. KPA memberikan pendampingan untuk memperbaiki dan mengelola proses produksi hasil pangan agar dapat memiliki nilai jual lebih dan dapat didistribusikan secara lebih luas melalui koperasi Lanusa.
Di acara "Orang Muda Bicara Pangan" ini, kami juga memamerkan produk-produk yang dijual di koperasi Lanusa, sehingga peserta dapat melihat secara langsung. Harapannya, peserta yang hadir dapat mengetahui bahwa ada banyak produksi petani lokal yang juga berkualitas namun belum terjamah oleh pasar, karena kebijakan agraria yang belum berkeadilan dan pemasaran produk pangan yang masih dikuasai perusahaan besar.
(Lihat di Ragam Produk Pangan Lokal di "#AllYouCannotEat Orang Muda Bicara Pangan")
Dari berbagai masalah dan upaya-upaya yang sudah dikemukakan terkait dengan kedaulatan pangan hingga kepemilikan lahan, dalam diskusi ini kita juga mendengar bahwa ada bentuk upaya lain untuk menyuarakan isu pangan agar lebih mudah dipahami dan disadari masyarakat. Salah satunya melalui kampanye di media.
Dalam hal ini, KBR sebagai salah satu media yang bergerak dalam berbagai format, kemudian menginisiasi terbentuknya podcast Planet Plate yang mengangkat resep-resep pangan lokal tertentu. Nafisa sebagai Assisten Produser podcast ini menyampaikan bahwa Planet Plate hadir tidak hanya untuk berbicara tentang resep pangan lokal yang jarang dikenal oleh masyarakat, namun secara eksklusif hadir dengan format yang menarik dan santai.
Tidak hanya sekedar berbincang, podcast ini direkam sambil memasak bersama chef. Sambil memasak, narasumber juga akan bercerita tentang sejarah maupun perjalanan makanan yang yang sedang dimasak sehingga bisa terhidang sampai di piring kita. Termasuk konflik-konflik yang terjadi di balik sejarah makanan lokal yang sedang diolah.
Dari podcast ini, Planet Plate ingin berbagi dengan pemirsanya, bahwa kisah di balik panganan yang sampai ke piring kita seringkali tidak sederhana. Planet plate juga ingin menyampaikan ke masyarakat bahwa kita di Indonesia sangat memiliki kekayaan budaya pangan sehingga kita tidak perlu mengalami krisis pangan.
Yang menjadi tugas kita bersama adalah, bagaimana menjadikan pangan lokal ini sebagai gaya hidup yang tak kalah mengakar dengan makanan-makanan internasional yang sedang menjadi tren dan lebih banyak dikenal oleh generasi yang lebih muda.
Kita harus berani berinovasi dan tidak “gatekeeping” atau membatasi resep lokal yang jika diolah justru bisa menjadi menu baru yang digemari.
Ternyata ada banyak hal dari isu pangan yang masih perlu menjadi perhatian kita bersama, tidak hanya sama-sama bersuara untuk kebijakan yang berkeadilan bagi tiap unsur yang ada dalam sistem pangan, namun juga perlu adanya keterbukaan dan kolaborasi dalam menguatkan budaya pangan lokal kita.
Sekarang, kita kembali lihat dapur dan piring kita bersama, seberapa lokal makananmu hari ini?