Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan popok sekali pakai dan popok kain telah menjadi topik penting dalam diskusi perawatan bayi dan dampak lingkungan, khususnya di antara para orangtua dengan balita. Selain ingin memastikan kenyamanan dan keamanan anak-anaknya, mereka juga dihadapkan pada persoalan efisiensi atau kepraktisan dan dampak lingkungan.
Popok sekali pakai atau diapers, menurut riset World Bank (2017), telah menjadi penyumbang kontributor sampah kedua terbesar yang mencemari lautan setelah sampah organik. Di Indonesia, studi dari Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) (2017) mencatat setidaknya 3 juta popok bayi bekas pakai mencemari Sungai Brantas, Jawa Timur, setiap harinya. Kondisi pencemaran akibat popok bayi ini juga terjadi di sungai-sungai lain di Indonesia.
Dilema ini yang membawa Viedela, ibu dari seorang anak berusia 3 tahun, memulai kampanye tentang pengurangan popok sekali pakai (pospak). Untuk mendukung kampanyenya, Viedela, yang juga alumni Program We Create Change Vol.2 ini ingin menggali lebih jauh bagaimana preferensi para ibu dalam memilih popok, serta apa hambatan yang mereka hadapi untuk beralih ke popok kain. Upaya mendapatkan informasi ini ia lakukan dengan menggelar sebuah polling atau jajak pendapat secara daring.
Viedela - Alumni Program We Create Change Vol.2
Jajak pendapat ini disebarkan lewat media sosial selama lebih kurang 1 bulan dan diikuti oleh 254 orang, mayoritas berdomisili di 6 provinsi di Pulau Jawa. Peserta survei mayoritas adalah ibu rumah tangga termasuk para ibu pekerja, berusia antara 20-30 tahun, yang sehari-hari terkait langsung dengan penggunaan popok pada balita.
WeSpeakUp.org mendukung Viedela dalam mengolah data polling ini dan menyajikannya dalam konten-konten edukasi publik.
Polling atau jajak pendapat ini bertujuan memberi gambaran singkat atau "snapshot" terkait preferensi publik (dalam hal ini pengguna media sosial) dalam memilih popok dan hambatan yang mereka hadapi untuk beralih ke popok kain. Karena sampel data yang terbatas dan masih berfokus pada pengguna media sosial di pulau Jawa, maka hasil polling ini bisa jadi bias opini warga (urban) pulau Jawa. Polling ini semata-mata untuk tujuan edukasi. Kedepannya kami berharap akan ada kajian yang lebih komprehensif lagi terkait masalah sampah popok ini.
Apa saja temuan dari polling ini?
Jajak pendapat ini menemukan mayoritas responden lebih memilih menggunakan popok sekali pakai (pospak). Alasan utamanya adalah faktor praktis dan kemudahan dalam pembuangan. Selain itu, kebiasaan, ketersediaan di pasaran, dan harga yang terjangkau juga menjadi pertimbangan penting bagi para orang tua dalam memilih pospak. Sedangkan yang memilih popok kain, menganggap popok kain lebih ramah lingkungan dan bisa digunakan berulang kali. Popok kain juga dianggap lebih aman untuk kulit bayi serta membantu dalam proses latihan buang air.
“Kami sebagai ibu itu lelah banget dengan semua pekerjaan domestik, popok sekali pakai membantu kami mengurangi pekerjaan domestik, dalam hal ini mencuci terlalu banyak. Capek bun. Mungkin beda kalau ibunya dari keluarga kaya pasti pake popok kain karena ada yang nyuciin”.
Staf Organisasi Nirlaba, Banten
Hasil polling ini juga menemukan fakta menarik bahwa selain alasan kepraktisan seperti tidak perlu usaha ekstra dalam mencuci, pengguna pospak berpendapat menggunakan pospak membantu kesehatan mental terutama bagi ibu pekerja dan ibu yang memiliki anak lebih dari satu. Sedangkan bagi para pengguna popok kain, meskipun memerlukan lebih banyak usaha, popok kain dapat mengurangi jumlah sampah plastik dan lebih ekonomis dalam jangka panjang karena dapat digunakan berulang kali.
Dampak Lingkungan dan Kesehatan
Salah satu temuan penting dari jajak pendapat ini adalah mayoritas responden menyadari penuh dampak negatif pada lingkungan dari penggunaan pospak. Mereka mengetahui pasti potensi timbulan sampah dari pemakaian pospak, karena mayoritas menggunakan antara 1 hingga 5 pospak dalam sehari, bahkan ada juga yang menggunakan hingga 8 popok per hari.Hal ini menunjukan adanya penggunaan pospak yang cukup tinggi dan berpotensi menghasilkan jumlah sampah yang signifikan setiap harinya.
Meskipun dari hasil polling, terlihat bahwa kesadaran responden akan dampak negatif pospak cukup tinggi, namun masih ada kesenjangan antara pengetahuan dan tindakan yang diambil. Penggunaan pospak tetap tinggi karena faktor kepraktisan dan harga yang masih terjangkau. Namun, mayoritas responden mengaku sangat ingin beralih ke popok kain walaupun masih dihadapkan pada sejumlah tantangan. Hampir separuh dari responden mengaku masih dihadapkan pada dilema akan usaha dan waktu ekstra yang diperlukan jika menggunakan popok kain. Disisi lain mereka juga ingin berkontribusi dalam mengurangi sampah pospak.
Mengubah perilaku pengguna pospak menjadi pengguna popok kain bukan lah hal yang mudah, tetapi bukan juga hal yang mustahil untuk dilakukan. Perlu usaha bersama untuk terus-menerus melakukan kampanye edukasi akan dampak lingkungan dari pospak, dan juga untuk memperkenalkan solusi alternatif seperti memperkenalkan popok kain berkualitas dan layanan cuci popok kain.
Selain itu perlu keterlibatan dari pihak produsen popok sekali pakai dan pemerintah (baik pusat maupun daerah) dalam mengembangkan inovasi pengelolaan sampah popok sekali pakai dan menciptakan insentif penggunaan popok guna ulang atau popok kain.
Kalau kamu ingin membantu kampanye untuk kurangi sampah popok sekali pakai, kamu bisa share konten blog ini atau dukung kampanye yang digalang oleh Viedela di: change.org/gantidenganpopokkain
Penulis: Mathilde Hutagaol, Event and Community Engagement Specialist, di WeSpeakUp.org
Sumber gambar: BBC Indonesia, EPA
Semak belukar menghutan di antara puing-puing bangunan. Jalan beraspal mulus mengular di tengahnya. Lalu-lalang kendaraan ramai melintas.
Hampir tak lagi tampak bekas-bekas likuefaksi 28 September 2018 lalu di wilayah Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah. Seperti menghilangnya bekas-bekas bencana, jangan-jangan ingatan kita tentang bencana yang lalu juga sudah memudar.
Tanggal 26 April 2024 nanti, kita akan memperingati Hari Kesiapsiagaan Bencana. Dengan momentum ini, kita diingatkan kembali dengan memori kebencanaan di kawasan Balaroa. Juga pentingnya kita menjaga memori sejarah kebencanaan. Agar kita bisa terus belajar bagaimana bersikap jika bencana terjadi.
Balaroa di Masa Lalu
Sebelum bencana Gempa Bumi, Tsunami dan Likuifaksi yang melanda wilayah Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong, hampir enam tahun lalu, kawasan Balaroa dihuni oleh ribuan orang yang menetap di Perumnas Balaroa, yang dibangun pada dekade 1980-an.
Tidak ada yang menyangka, kawasan perumahan padat penduduk ini akan menjadi kuburan massal bagi ribuan korban likuefaksi.
Bencana 28 September 2018 membuka beragam kisah tentang kawasan Balaroa, juga asal-usul kawasan tersebut. Kawasan Balaroa ternyata memiliki sejarah panjang kebencanaan, yang memorinya tak terwariskan, akibat budaya tutur yang tergerus jaman.
Kita mulai dari penamaan Balaroa itu sendiri. Nama Balaroa sendiri merupakan sebutan lokal bagi sebuah tanaman dengan nama latin Kleinhovia hospita. Balaroa juga dikenal dengan nama Katimaha.
Tumbuhan kayu berukuran kecil hingga sedang ini tumbuh banyak di sekitar wilayah sungai. Daun dan kulit batangnya sering digunakan untuk pengobatan tradisional, misalnya untuk membunuh kutu rambut dan penyakit dalam.
Penamaan Balaroa sendiri, mengindikasikan kawasan Balaroa merupakan kawasan yang berada di dekat daerah aliran sungai (DAS).
Iksam, seorang arkeolog yang kini menjabat Kepala Bidang di Dinas Kebudayaan Provinsi Sulteng mengatakan, pada sebuah peta tua Sulawesi Tengah yang dibuat oleh etnolog Albert C Kruyt pada tahun 1916, wilayah-wilayah yang terdampak likuefaksi pada 28 September 2018 lalu, dulunya merupakan wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS).
Dalam peta itu, wilayah Petobo yang terbenam lumpur saat ini adalah bekas DAS Kapopo, atau yang dikenal dengan nama lain yakni Sungai Nggia. Wilayah lainnya yang dilanda likuifaksi seperti Jono Oge dan Balaroa, dulunya adalah DAS Sungai Paneki dann DAS Sungai Uwe Numpu.
Donna Evans, dalam Kamus Kaili Ledo -Indonesia – Inggris yang diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Tengah pada tahun 2003, mengartikan Lonjo dengan tenggelam dalam lumpur atau air yang dalam. Kemudian, Subainda, warga sekitar Perumnas Balaroa, sebagaimana dikutip Mohammad Herianto dalam Jejak Nama Tanah berlumpur di Balaroa menyebut, dalam Bahasa Kaili, Lonjo berarti tanah berlumpur.
Subainda menyebut, dahulu Lonjo bukan tempat pemukiman, karena struktur tanahnya yang berlumpur. Bahkan kata dia, para pedagang yang akan berjualan di Pasar Tua Bambaru, harus jauh memutar menghindari daerah Lonjo. Mereka lebih memilih lewat Kampung Duyu dan Pengawu yang berada di sebelah selatan Balaroa, meski jaraknya lebih jauh.
Sebagian besar warga dari wilayah Marawola Barat yang berada di pegunungan di sebelah barat Balaroa, tidak mau mengambil risiko dengan melewati Lonjo karena takut terbenam.
Selain dikenal dengan sebutan Lonjo, masyarakat setempat sering pula menyebutnya dengan istilah Tonggo Magau. Mohammad Herianto mengutip Alm. Andi Alimuddin Rauf, salah seorang tokoh masyarakat di Kota Palu mengatakan, sebutan itu lahir, karena di kawasan tersebut banyak kubangan kerbau milik Raja Palu.
Kemudian di arah timur Lonjo, terdapat nama Puse Ntasi yang dalam bahasa Kaili berarti pusat laut. Sebutan itu bermula dari adanya sumur yang airnya asin. Sumur itu diyakini terhubung dengan pantai Teluk Palu. Keyakinan itu bermula saat hilangnya kerbau Raja Palu yang jatuh ke dalam sumur tersebut. Setelah beberapa hari, bangkai ternak itu justru ditemukan di pesisir Teluk Palu.
Memori Kebencanaan Balaroa
Dalam film berdurasi 15 menit tersebut, Mama Padja menceritakan bagaimana leluhurnya mewariskan memori kebencanaan tentang Balaroa. Ceritanya sama persis dengan cerita yang dituturkan oleh Subainda dan Alm. Andi Alimuddin Rauf.
Kisah tentang memori kebencanaan kawasan Balaroa di atas, merupakan salah satu bukti, masyarakat Palu, khususnya masyarakat Suku Kaili, telah mengenal konsep kesiapsiagaan bencana, salah satunya dengan penamaan tempat, sesuai dengan karakteristiknya.
Masyarakat Suku Kaili menamakan sebuah tempat atau kawasan, mengacu pada tiga aspek. Pertama, flora dan fauna setempat. Kedua, peristiwa alam atau peristiwa sejarah. Ketiga, nama tokoh. Bencana 28 September 2018 membuka mata khalayak, juga masyarakat setempat, tentang bagaimana toponimi menjadi penanda bagi masyarakat terhadap kawasan yang dinilai memiliki risiko terdampak bencana.
Hari Kesiapsiagaan Bencana
Melihat kenyataan di atas, tidaklah berlebihan jika di momen Hari Kesiapsiagaan Bencana kali ini, pengetahuan-pengetahuan lokal terkait kebencanaan yang ada di Kota Palu, diwariskan kepada generasi berikutnya, dengan memasukkan pengetahuan tersebut ke dalam kurikulum pembelajaran di satuan pendidikan yang ada di Kota Palu.
Pemerintah Kota Palu lewat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan telah melakukan langkah strategis pada 2019 lalu, dengan menggagas hadirnya sebuah Panduan dan Bahan Pembelajaran Mitigasi Bencana Alam Berbasis Kearifan Terintegrasi dalam Kurikulum 2013. Sayangnya, bahan ajar tersebut tidak lagi ditindaklanjuti dengan penerapan di satuan pendidikan.
Itu adalah upaya pencegahan dan penanggulangan dampak bencana pada satuan pendidikan. Penyelenggaraan program SPAB diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program SPAB.
Selain itu, Pemerintah Kota Palu juga dapat memasukkan pembelajaran mitigasi bencana berbasis kearifan lokal ke dalam kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah. Berdasarkan UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 79/2014 tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013, kearifan lokal dan keunikan budaya yang dimiliki setiap daerah memungkinkan daerah mengembangkan kurikulum mulok bagi sekolah-sekolah di daerahnya.
Pemerintah Kota Palu sudah punya bahan ajar pembelajaran mitigasi bencana berbasis kearifan lokal. Kini kita tinggal menunggu komitmen pemerintah untuk menerapkannya dalam pembelajaran di satuan pendidikan. Hal ini adalah sebuah keniscayaan. Tinggal bagaimana komitmen pemerintah untuk mewujudkannya, dengan semangat “Siap Untuk Selamat” menuju "Palu Tangguh, Palu Hebat".
Tentang Penulis
Jefrianto adalah jurnalis dan penulis buku tentang sejarah kebencanaan di Palu yang berjudul “Tak Ada yang Kebetulan: Kehidupan di Atas Sesar Palu Koro”. Ia juga adalah Alumni We Create Change Vol.3 yang diselenggarakan WeSpeakUp.org
Di sebuah rumah bambu di Desa Kalisalak, kami belajar bercerita. Karena cerita mampu menggugah dan menginspirasi. Cerita juga membuat kita berubah dan bergerak.
Lewat tulisan singkat ini saya ingin berbagi cerita tentang “Storytelling Retreat” yang kami selenggarakan akhir tahun lalu, tepatnya antara tanggal 14 sd 17 Desember 2023. Kegiatan ini adalah kerjasama antara WeSpeakUp.org dengan Fatimah Bamboo House dan komunitas Our Voice Comedy for Change yang dibina oleh komika Sakdiyah Ma’ruf.
Storytelling atau bercerita adalah keterampilan yang sudah ada sejak dulu. Jauh sebelum ada internet dan media sosial, nenek moyang kita sudah menggunakan kekuatan cerita dongeng untuk menyampaikan pesan dan nilai-nilai kepada anak cucunya. Sayangnya bercerita bukanlah perkara mudah, tidak semua orang bisa bercerita dengan baik.
Storytelling Retreat ini adalah upaya kami untuk memberikan bekal kepada para Penggerak Muda (Changemakers) yang datang dari berbagai kota di Indonesia agar bisa menyuarakan cerita yang kuat, narasi yang menggerakkan, dan berdampak kepada masyarakat. Sesuai namanya, “retreat” ini diadakan di lokasi yang tenang dekat dengan alam, jauh dari keramaian, agar peserta dapat berefleksi dan jeda sejenak dari rutinitas sehari-hari.
Kegiatan ini diikuti oleh penggerak muda terpilih dari program We Create Change Vol.2 antara lain yang berasal dari Kalimantan Barat, Aceh, Riau, NTT dan Jawa Tengah.
Ada 3 kegiatan utama yang dilakukan oleh para Changemakers yaitu:
1️. Kegiatan di dalam ruang kelas untuk merumuskan dan merefleksikan gerakan masing-masing. Peserta diajak berbagi dan merefleksikan panggilan hidupnya dengan metode River of Life atau sungai kehidupan.
2️. Berinteraksi langsung dengan kelompok masyarakat untuk berlatih menarasikan kisah perjalanan aktivisme dan gerakannya. Antara lain bercerita di kelompok ibu-ibu, bapak-bapak dan anak-anak di desa terdekat, sekalian latihan menghadapi audiens yang beragam
3️. Jalan-jalan, menikmati alam, dan jeda sejenak sebagai bagian dari refleksi dan self care. Kami percaya bahwa joy is an act of resistance, kegembiraan adalah bagian dari perlawanan. Jadi perjuangan dan aktivisme harus digerakkan dengan gembira.
Semoga cerita ini bisa menginspirasi kamu, kamu, dan kamu untuk berani menyuarakan panggilanmu!
Kunjungi youtube kami untuk menonton cerita selengkapnya di sini: Storytelling Retreat - We Create Change Vol.2
Tertarik untuk bergabung? Tunggu program storytelling kami berikutnya dan ikuti kami di media sosial @WeSpeakUporg
Penulis:
Desmarita Murni, Executive Director WeSpeakUp.org
Ketika saya mengingat kembali tahun-tahun yang saya habiskan untuk bekerja sama dengan berbagai lembaga non-profit di Indonesia, terdapat sebuah mitos yang tersebar luas: bahwa lembaga non-profit tidak dapat terlihat menarik, sehingga tidak ada gunanya mengeluarkan uang untuk branding.
Namun menurut saya, sangat penting untuk menantang anggapan ini dan memberikan perhatian yang layak pada identitas merek nirlaba jika kita ingin melihat perubahan nyata.
Ini saatnya menghilangkan kesalahpahaman umum bahwa organisasi sosial tidak bisa menarik perhatian pendukungnya. Kurangnya motif moneter yang dimiliki LSM tidak membuat perjuangan mereka menjadi kurang menarik. Penting untuk diketahui bahwa narasi dan gambar yang menawan dapat menarik penonton dari berbagai disiplin ilmu.
Pentingnya Visual Merek Anda
Saat saya dan teman meluncurkan WeSpeakUp.org, organisasi nirlaba kami yang baru dibentuk, hal pertama yang kami lakukan adalah menciptakan identitas dan citra merek kami.
Kami menyadari perlunya mengembangkan identitas visual khas yang dapat mengekspresikan tujuan kami dengan sukses dan juga dapat diterima oleh audiens target kami.
Kami memiliki keinginan yang sama untuk melakukan perubahan sosial dan memberikan suara kepada masyarakat yang kurang terwakili, meskipun kami berbeda asal usul. Kami tahu bahwa untuk memberikan dampak yang signifikan, kami perlu menciptakan identitas merek yang berbeda yang akan membantu kami menonjol di pasar nirlaba yang ramai.
Identitas visual sebuah perusahaan berfungsi sebagai "wajahnya", yang memberikan kesan pertama yang penting. Hal ini sangat penting terutama bagi organisasi nirlaba, yang daya tarik visualnya sering kali menjadi hal pertama yang menarik pendukung baru.
Lembaga nonprofit berisiko diabaikan oleh calon pendukung, pemberi dana, dan relawan jika mereka tidak memiliki identitas visual yang mudah diingat.
Identitas visual berfungsi sebagai jendela menuju esensi misi lembaga nonprofit. Audiens dapat langsung menangkap cita-cita, tujuan, dan ciri khas organisasi hanya dengan membaca taglinenya. Bahasa visual bersama ini menghubungkan misi organisasi nirlaba dengan para pendukungnya pada tingkat emosional.
Berikut beberapa hal yang dapat Anda lakukan untuk memberikan identitas visual kepada lembaga nonprofit.
1. Tentukan identitas Anda
Untuk memulai, perhatikan baik-baik cita-cita, tujuan, dan karakteristik organisasi Anda. Refleksi seperti ini mungkin bisa menjadi landasan identitas visual merek Anda.
Penting untuk mendiskusikan strategi penentuan posisi terlebih dahulu untuk memberikan konteks pada identitas visual. Sekarang, rangkum secara singkat temuan Anda tentang demografi target, atribut kepribadian utama, dan filosofi desain menyeluruh. Ingatlah keempat prinsip ini saat Anda melanjutkan proses desain.
2. Riset Pasar
Untuk lebih memahami audiens target Anda, selera mereka, dan visual yang sesuai dengan mereka, penting untuk melakukan riset pasar yang ekstensif. Identitas visual yang sukses di industri terkait dapat memberikan inspirasi dan arahan untuk desain Anda sendiri.
Pikirkan tentang perusahaan mana pun, organisasi mana pun, apa pun industri tempat mereka beroperasi—setiap karya seni dibangun berdasarkan karya-karya sebelumnya. Jadi, semakin banyak ide yang Anda kumpulkan, semakin luas spektrum kemungkinan persuasif Anda. Selain itu, sektor korporasi mempunyai banyak hal untuk diajarkan kepada sektor nirlaba dan yayasan dalam hal branding. Temukan identitas visual yang Anda sukai, dan pikirkan bagaimana Anda dapat menerapkannya pada identitas merek Anda.
3. Logo dan desain
Ciptakan logo yang menarik secara visual dan mudah diingat yang menyampaikan semangat misi organisasi Anda. Logo harus menyampaikan perasaan dan harapan yang Anda ingin target pasar Anda miliki.
Konsistensi elemen visual merek Anda di seluruh saluran komunikasi sangatlah penting. Dengan menyatukan semua aspek ini, Anda dapat menciptakan bahasa visual yang konsisten yang memperkuat identitas merek Anda. Audiens Anda harus dapat mengenali dan memahami kepribadian perusahaan Anda kapan pun mereka bersentuhan dengan merek Anda, apa pun medianya.
4. Pesan dan bercerita
Memiliki identitas visual yang kuat tanpa cerita menarik di baliknya tidaklah cukup. Misi dan dampak lembaga nonprofit Anda perlu disampaikan dengan cara yang menarik perhatian orang dan melekat pada mereka.
Bercerita memainkan peranan penting dalam proses ini. Anda dapat memenangkan hati dan pikiran audiens Anda dengan menceritakan sebuah kisah yang dapat mereka rasakan secara pribadi. Saat Anda menggabungkan cerita yang kuat ini dengan visual yang menarik, Anda mengundang audiens untuk menjadi peserta aktif dalam kampanye Anda.
Kekuatan untuk menginspirasi audiens untuk bertindak bergantung pada seberapa baik Anda mampu merangkai narasi yang menarik dengan visual yang menarik. Jika disampaikan dengan baik, narasi lembaga nonprofit Anda memiliki kekuatan untuk memikat pendukung, pemberi dana, dan sukarelawan yang akan bekerja dengan Anda untuk mencapai tujuan Anda.
5. Konsistensi
Konsistenlah dalam semua upaya branding Anda. Konsistensi dalam pemasaran online dan offline sangat penting untuk membangun kepercayaan dan kesadaran audiens target Anda. Konsistensi meningkatkan keakraban merek,
Penulis:
Dhenok Pratiwi
Direktur Kampanye WeSpeakUp.org
Eks Interim Country Director of Change.org Indonesia
Program We Create Change kembali hadir! Melihat antusiasme peserta yang mendaftar di program We Create Change Vol.2, kami dengan bangga mengumumkan peluncuran Program We Create Change Vol.3!
We Create Change adalah program kepemimpinan yang berfokus pada pelatihan kampanye dan advokasi digital generasi muda untuk menggerakkan kampanye perubahan, khususnya terkait keadilan iklim dan perlindungan lingkungan, dan isu-isu yang kerap beririsan langsung seperti isu gender dan hak asasi manusia.
Program We Create Change Vol.3 ini diinisiasi oleh WeSpeakUp.org bekerjasama dengan Change.org.
Mengapa kami membuat program ini?
Program We Create Change ada sekuelnya nih! WeSpeakUp.org bangga sekali mengumumkan peluncuran Program We Create Change Vol.2 yang dirancang khusus untuk membekali dan mendukung para penggerak perubahan (changemakers) terutama anak muda, dalam kampanye keadilan iklim dan perlindungan lingkungan.
Program ini merupakan kerjasama antara WeSpeakUp.org dengan Change.org, dengan tujuan membangun ekosistem penggerak perubahan lingkungan, terutama di kalangan generasi muda.
Ada 45 orang muda yang berasal dari 18 provinsi di Indonesia dalam program ini. Mereka datang dari latar belakang dan keahlian yang beragam. Ada mahasiswa, pengacara, jurnalis, wirausaha, petani, anggota masyarakat adat hingga peneliti.