Di era modern ini, konsep "self-care" (perawatan diri) sering dikomersilkan dan menjadi trend yang memisahkan banyak orang dari praktik-praktik sederhana. Aktivitas seperti healing, pijat dan spa dianggap sebagai kemewahan yang hanya bisa diakses segelintir orang. Di satu sisi kegiatan ini memang membutuhkan biaya, di sisi lain, kesibukan sehari-hari juga seringkali menjadi penghalang untuk mempraktikannya. Namun bagi para penggerak/aktivis perempuan yang kerap berhadapan dengan tantangan-tantangan besar, self-care bukan sekedar kemewahan, melainkan kebutuhan.

Penggerak perempuan seringkali menghadapi tantangan unik dalam upaya mereka memperjuangkan keadlian sosial, hak-hak perempuan, keadilan lingkungan dan kesetaraan gender. Semua ini membutuhkan energi fisik dan emosional yang luar biasa besar. Mereka tidak hanya menghadapi tekanan eksternal, seperti kekerasan berbasis gender, stigma, dan penindasan, tetapi juga menghadapi beban internal dari ketidakadilan yang mereka lawan. Self-care menjadi penting untuk memastikan bahwa mereka tetap menjaga kesehatan mental, fisik, dan emosional mereka.

 

Mengapa Self-Care Bukanlah Kemewahan

Self-care adalah upaya sadar untuk merawat diri sendiri secara fisik, mental dan emosional. Bagi penggerak perempuan, self-care bukanlah tindakan egois maupun sekedar kemewahan, tetapi kebutuhan essensial untuk menjaga keberlanjutan perjuangan mereka.

Di bawah narasi patriaki, perempuan seringkali diharapkan mengorbankan diri mereka demi orang lain. Praktik self-care adalah bentuk perlawanan terhadap ekspektasi tersebut, di mana mereka mengambil alih kendali atas kesejahteraan mereka sendiri dan menegaskan bahwa kesehatan mereka adalah prioritas.

 

Membangun Solidaritas dengan Collective Care

Meski self-care bersifat individual, keberhasilannya tidak bisa dilepaskan dari dukungan kolektif. Ini lah peran "collective care" (perawatan kolektif) - sebuah pendekatan di mana komunitas saling menjaga kesejahteraan satu sama lain, memperkuat solidaritas, dan berbagi beban. Para penggerak/aktivis perempuan dapat saling menjaga baik secara emosional maupun praktis, dengan berbagi beban dan memberikan dukungan dalam menghadapi tantangan yang berat.

Tanpa self-care dan collective care, gerakan penggerak perempuan berisiko tidak berkelanjutan. Ketika aktivis mengalami burnout, depresi, atau trauma, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh gerakan secara keseluruhan.Terlebih di era digital ini, banyak penggerak/aktivis perempuan menghadapi ancaman kekerasan berbasis gender online (KBGO), seperti pelecehan, doxing, atau ancaman digital lainnya. Collective menjadi penting karena dapat memberikan lingkungan yang aman untuk berbagi pengalaman, membangun rasa kebersamaan, dan memulihkan diri.

 

Puan Bersua(ra): Ruang Aman untuk Collective Care

Menyadari pentingnya self-care dan collective care, WeSpeakUp.org (WSU) mengadakan kegiatan Puan Bersua(ra) di Yogyakarta pada akhir 2024. Kegiatan ini mengajak 21 orang penggerak perempuan untuk mengambil jeda sesaat dan mengingatkan pentingnya "self-care" dan "collective care" dalam menguatkan gerakan.


Puan Bersua(ra) merupakan wujud nyata dari collective care. Puan Bersua(ra) adalah ruang aman yang dirancang untuk membangun komunitas penggerak perempuan untuk lebih tangguh dan adaptif. Melaui praktik-praktik seperti "ruang berbagi, mindfulness, ruang kolaborasi, dan kegiatan seni dan ekspersi kreatif", para penggerak perempuan dapat saling mendukung dan memastikan bahwa mereka tetap sehat secara mental dan fisik, sehingga mampu membuat keputusan yang berdampak bagi gerakannya.Collective care juga membantu membangun jaringan dukungan yang memfasilitasi transfer pengetahuan, solidaritas, dan regenerasi kepemimpinan di kalangan perempuan.

 

"Yoga dan Mindfulness" : Pendekatan Holistik untuk Penggerak Perempuan

Setelah sukses dengan Puan Bersua(ra), di awal 2025, WSU kembali mengajak para penggerak perempuan untuk mempraktikan self-care melalui "Yoga dan Mindfulness". Pada 15 Februari 2025, WSU mengadakan "Yoga and Mindfulness Pop-Up Class", dengan mengajak 14 orang penggerak perempuan yang berada di Jabodetabek, termasuk tim WSU. Selain bertujuan untuk melakukan praktik self-care, kegiatan ini juga sebagai upaya WSU untuk dapat terus terhubung dan melakukan dukungan penguatan kepada komunitas penggerak perempuan.

Di pop-up class ini, WSU menggandeng Dhanny Tantri, seorang instruktur yoga tersertifikasi untuk memandu sesi yoga dan Mila Nuh, praktisi mindfulness yang juga fasilitator di Puan Bersua(ra). Keduanya juga sudah tidak asing dalam kerja-kerja di bidang "development", termasuk berinteraksi dengan komunitas penggerak perubahan.


Yoga dan mindfulness dipilih karena di banyak studi, dua praktik ini terbukti efektif untuk mendukung self-care dan collective care. Yoga, melalui gerakan terstruktur seperti asana (postur yoga) dan pranayama (pernapasan), secara efektif merelaksasi tubuh dan menenangkan pikiran. Praktik ini membantu mengurangi stres dan mencegah burnout, masalah umum yang sering dialami penggerak/aktivis perempuan.

Sementara itu, mindfulness (kesadaran penuh), mengajak peserta untuk berlatih memusatkan perhatian dan hadir penuh pada momen saat ini, meningkatkan kesadaran akan perasaan, pikiran dan tubuh mereka. Melalui meditasi mindfulness, para penggerak dapat lebih mengenali batasan diri dan merespons kebutuhan pribadi mereka dengan empati.


Yoga memperkuat tubuh dan meningkatan fleksibitas yang penting bagi keseimbangan hidup, sangat berguna bagi para penggerak untuk tetap sehat secara fisik sehingga lebih siap menghadapi tantangan sehari-hari dan lebih tahan terhadap stress. Sedangkan mindfulness mengajarkan praktik "non-reaktivitas", melatih para penggerak untuk dapat menjaga stabilitas emosi mereka, sehingga menjadi lebih tangguh.

Kombinasi self-care dan collective care melalui yoga dan mindfulness, menciptakan keseimbangan antara individu dan komunitas, memungkinkan para penggerak perempuan untuk merawat diri sendiri (self-care) sambil tetap terhubung dalam komunitas yang peduli dan mendukung (collective care). Pendekatan holistik ini memungkinkan mereka untuk lebih hadir dan berkontribusi dalam kelompok, sekaligus memastikan keberlanjutan gerakan penggerak perempuan di era modern.

 

Penulis:
Mathilde Hutagaol
Community Engagement and Learning Specialist, WeSpeakUp.org

 

Referensi:
1. Chamberlin, L. (2020). From Self Care To Collective Care. International Journal on Human Rights 30. https://sur.conectas.org/en/from-self-care-to-collective-care/
2. Christoper, J.M., et.al. (2006). Teaching Self-Care Through Mindfulness Practices: The Application of Yoga, Meditation, and Qigong to Counsel Training. Humanistic Psychology 46(4): 494-509.
3. Sawyer, H. (2023, Feb 13). Mindfulness: Strategies to implement targeted self-care. https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9924360/?utm_source=chatgpt.com

Hari Kamis di penghujung Bulan Januari kemarin, tepatnya tanggal 23 Januari2024, berlangsung acara Bi-monthly Capacity Building yang kedua dengan Tema "Keamanan Perangkat Digital".

Kegiatan yang kami selenggarakan dua kali setiap bulannya ini mempunyai tema yang berbeda-beda, disesuaikan akan kebutuhan pesertanya yang mana adalah para Alumni Program We Create Change guna membangun kapasitas untuk para peserta serta memperkuat komunikasi dan solidaritas antar Alumni Program.

 

Pada tema kali ini, kami berharap peserta dapat mengetahui langkah-langkah preventif untuk mengamankan perangkat digital yang digunakan dan tahu langkah memitigasi risiko keamanan apabila terdapat ancaman maupun gangguan melalui perangkat digital.

 

Acara dikemas semi formal, selain materi yang disampaikan oleh narasumber, ada juga kegiatan games, tanya jawab dan sesi sharing pengalaman antar peserta dalam memanfaatkan perangkat digital di kegiatan aktivismenya.

Narasumber yang kami hadirkan pada kegiatan Bi-monthly Capacity Building ini adalah Farhanah dari Digital Defenders.

Kak Farhanah adalah fasilitator proteksi digital yang saat ini bekerja di Digital Defenders Partnership. Kak Farhanah juga menjadi bagian dari Kolektif Digisec lokal, Codayati Collective.

"I have been working at the intersection of digital technology, security, gender, and media. Currently, I am mostly working on support for digital security for human rights defenders, feminists, and journalists through accompaniment and training. In the meantime, I am also working closely with rapid responder networks and love to do research as well as writing." Terang Kak Farhanah

Di Pembuka acara Kak Farhanah, bertanya kepada peserta tentang "apa arti aman untuk kita?" Ternyata perasaan kita jadi acuan penting, tapi keamanan kita tergantung juga dengan pihak lain, seperti tanggung jawab pemerintah untuk menjaminnya.

Kak Farhanah juga membuka diskusi mengenai ancaman digital yang pernah peserta alami atau khawatirkan.

Ancaman digital terbagi ke dalam beberapa kategori seperti ancaman tidak langsung, ancaman tertarget (biasanya terdapat kepentingan politis), dan ancaman digital terhadap masyarakat sipil.

Pada masing-masing kategori ancaman di atas langkah mitigasinya juga berbeda. Mulaai dari cara mengamankan perangkat digital dengan antivirus, metode 2FA, menggunakan aplikasi yang aman, dan sekuritasnya.

 

 

Salah satu pesan yang menarik adalah “Keamanan digital itu kolektif”, tidak hanya dilakukan oleh satu orang, namun dilakukan bersama dengan dukungan kebijakan yang kuat.

Tidak terasa 2,5 jam berlangsung dengan serunya. Semua peserta kami pastikan mendapatkan insight yang diperlukan agar lebih aman berjejaring di perangkat digital.

Dua minggu ke depan kami akan melangsungkan kegiatan Bi-monthly Capacity Building yang ketiga. Teman-teman yang berminat untuk mengikuti acaranya, jangan lupa untuk selalu memantau informasi yang ada di kanal @wespeakuporg ya!

Ada satu pertanyaan reflektif yang dilontarkan Sakdiyah Ma'ruf kepada para peserta acara Puan Bersua(ra) di Yogyakarta.

"Berapa banyak sih orang yang bisa secara tulus merayakan keberhasilan yang diraih perempuan?"

Sakdiyah memimpin salah satu sesi "The Proudest Moment" di acara Puan Bersua(ra).  Ia bilang, saat perempuan mengalami kegagalan, mereka memiliki sedikit tempat untuk mengungkapkan perasaannya. Bahkan lebih sedikit lagi tempat untuk mereka berbagi kesuksesan.

Karena itu, WeSpeakUp.org mengadakan acara Puan Bersua(ra). Untuk menyediakan tempat bagi para penggerak perempuan agar saling berbagi dan merayakan pencapaian mereka.

Dilaksanakan di Yogyakarta tanggal 11-15 Desember 2024, acara Puan Bersua(ra) mempertemukan 21 pegiat perempuan lintas isu dari berbagai organisasi, usia, dan daerah di Indonesia.

Selain alumni program She Creates Change dan We Create Change, WeSpeakUp.org juga mengundang perwakilan organisasi masyarakat sipil untuk turut berpartisipasi sebagai peserta. Di antaranya Kawula17, Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial, Rifka Annisa Women Crisis Center, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).

Tujuannya, agar para peserta bisa terhubung dan berkolaborasi dengan organisasi lain, untuk mengangkat isu sosial yang mereka ingin dorong.

Melalui acara ini, WeSpeakUp.org ingin mengajak peserta untuk bersama-sama mengambil jeda, berefleksi, memperkuat kapasitas, jaringan, dan ketahanan/resiliensi. Agar dapat saling memberi dukungan dan membangun gerakan kolektif.

Ani dari Biyung yang merupakan alumni program She Creates Change (SCC) menyampaikan,

“Puan Bersua(ra) kali ini menjadi momen refleksi dan melihat kembali proses perjalanan kami sejak 2019 sampai hari ini menambah amunisi dan recharge (energi) untuk fokus pada misi. 2019 banyak membuat mimpi yang besar, ternyata dalam perjalanannya dengan ilmu yang didapat dari SCC pertama kita bisa belajar untuk membuat strategi yang baik, dan hari ini kami merasa bahwa dengan mengikuti program hari ini bisa berefleksi bahwa mimpi yang disebut dari 2019 terwujud karena strategi yang lebih tepat. Dan pilihan-pilihan yang tidak mengawang tapi justru lebih menapak dan lebih realistis."

Di acara ini, peserta diajak untuk mengapresiasi tiap momen dalam aktivisme mereka, memahami dan menerapkan mindfulness dalam rutinitas sehari-hari mereka sebagai perempuan yang memegang banyak peran. Acara ini juga mengenalkan tentang collective care, di mana peserta dapat saling mendukung untuk memperkuat gerakan mereka.

Sabine, salah satu peserta dari Rifka Annisa Women Crisis Center menyampaikan “Perasaanku campur aduk, karena perasaan kita digali sebagai person, sebagai caregiver, sebagai orang yang bekerja di suatu isu. Jadi aku memaknai pertemuan ini sebagai care of caregiver secara kolektif. Kita diajak untuk melihat kembali ke dalam diri kita, untuk melihat dan memulai untuk peduli kepada diri sendiri terlebih dahulu sebelum peduli kepada orang lain."

 

Hal yang tidak kalah seru, adalah kehadiran tim Wardah yang menjadi mitra komunitas di acara Puan Bersua(ra). Tim Wardah hadir untuk memberi dukungan bagi para peserta untuk bisa mengambil waktu untuk self care. Merawat diri menjadi salah satu hal yang bisa dilakukan peserta untuk merilis stres, juga bentuk cinta dan perayaan terhadap eksistensi diri.

Peserta juga diajak untuk menguatkan kapasitasnya dalam menyuarakan isu mereka melalui materi kampanye dan storytelling. Peserta diajak untuk memahami dasar-dasar penceritaan yang menjadi kekuatan kampanye yang berdampak yang harapannya akan dilakukan secara kolaboratif berdasarkan isu area yang ingin disuarakan.

Chaus dari WALHI Nasional, yang juga alumni She Creates Change, menyampaikan,

“Ini adalah momen penting di akhir tahun 2024 untuk mencoba membangun kolaborasi. Saya dari WALHI menyadari bahwa kerja-kerja advokasi dan kampanye untuk lingkungan hidup di Indonesia itu tidak bisa dikerjakan sendirian, jadi mesti harus berjejaring, membangun gerakan kolaboratif bersama, bersuara bersama untuk menuju perubahan yang kita harapkan, dengan adanya WeSpeakUp.org saya berharap kerja-kerja kita dalam membangun kesadaran."

Pasca-pelaksanaan Puan Bersua(ra), harapannya para pegiat perempuan dalam forum ini dapat secara kolaboratif mengimplementasikan kampanye dan gerakan-gerakan yang sudah direncanakan bersama.

WeSpeakUp.org berkomitmen untuk mendampingi rekan-rekan pegiat isu sosial untuk memperkuat kampanyenya. Ke depannya, WeSpeakUp.org juga masih terus mengupayakan forum-forum perjumpaan dan penguatan kapasitas serupa dengan kelompok yang berbeda. Untuk terus menyebarluaskan semangat aktivisme dan mengamplifikasi suara-suara kelompok yang terpinggirkan.

Apakah kamu tertarik mengikuti acara selanjutnya?

Pada Sabtu, 9 November 2024 lalu, WeSpeakUp.org bersama dengan KBR Media menyelenggarakan Talkshow #AllYouCannotEat “Orang Muda Bicara Pangan” di sekretariat Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Jakarta Selatan.

 

Acara ini adalah kelanjutan dari kampanye kami bertajuk #AllYouCannotEat, yang selama beberapa bulan ini sedang diamplifikasi oleh WeSpeakUp.org.

Kampanye ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran publik, terutama orang muda, tentang isu kedaulatan pangan yang kian hari memiliki tantangan yang makin besar. Hal ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah terhadap sistem pangan dan juga tantangan dari adanya perubahan iklim. Sehingga di masa depan, kita berpotensi tidak bisa lagi menikmati pangan-pangan lokal yang sebelumnya banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

Di acara ini, kami mengundang pembicara dari orang muda untuk berbagi pengalaman dan berbagi perspektif terkait situasi kedaulatan pangan di Indonesia saat ini. Pembicaranya di antaranya dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan KBR Media.

Rizki Cahyani Nurani salah satu narasumber perwakilan KRKP, menyampaikan bahwa salah satu fakta tentang situasi pertanian di Indonesia, bahwa 62% petani di Indonesia merupakan petani gurem. Artinya mayoritas petani di Indonesia adalah petani kecil yang kepemilikan lahannya hanya sebesar 0.2 h.a. Dengan demikian, produk pangan yang dihasilkan juga produksi skala kecil. Penguasaan lahan oleh petani sendiri masih rendah.

Di sisi lain, penggunaan-penggunaan pupuk organik yang berasal dari keanekaragaman hayati juga masih minim. Hal ini juga mengakibatkan kebergantungan petani pada pupuk non organik yang distribusinya belum merata, dan berpotensi menghambat produksi pertanian yang berkelanjutan.

Sementara Hosiana Simamora dari World Resources Institute (WRI) yang merupakan bagian dari Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) menyampaikan bahwa problem lain dari permasalahan kedaulatan pangan di Indonesia adalah tingginya angka susut dan sisa pangan (food loss dan food waste).

Menurut kajian Bappenas, nilai susut dan sisa pangan mencapai 115-184 kilogram per kapita per tahun. Angka ini menyumbang banyak kerugian dari berbagai sektor seperti ekonomi, nilai gizi yang diserap oleh masyarakat dari pangan yang mereka konsumsi, serta meningkatnya gas metana yang berpengaruh terhadap efek rumah kaca dan pemanasan global.

WRI sejauh ini bersama KSPL, Garda Pangan dan Parompong bekerja sama dengan Bappenas mencoba Menyusun standar baku untuk menghitung susut dan sisa pangan yang diadopsi dari global.

Terkait posisi orang muda dalam isu pangan ini, masih dari apa yang disampaikan Hosi dari KSPL, orang muda menurut statistik tahun 2020 menempati separuh populasi dari masyarakat Indonesia.

 

Terlepas dari tantangan yang dihadapi saat ini di berbagai lingkup isu kedaulatan pangan, orang muda juga bisa menjadi peluang penggerak perubahan di berbagai sektor. Terutama di isu pangan.

Hal-hal sederhana seperti gerakan-gerakan dari media sosial juga bisa berdampak. Misalnya seperti mengunggah foto piring bersih dari sisa makanan setelah kita makan, bisa mendorong orang lain melakukan hal serupa untuk melahap habis makanan yang ada di piringnya, sehingga gerakan untuk tidak menyisakan makanan menjadi gaya hidup dan menjadi lebih massif.

Orang muda juga bisa diajak untuk berpikir dengan sistematis, bahwa peristiwa yang muncul di hadapan kita belum tentu menjadi masalah utama seperti fenomena gunung es.

Berpikir sistematis membuat kita dapat memahami akar dari sebuah permasalahan secara terstruktur. Misalnya kita bisa melihat alasan di balik banyaknya orang yang lebih memilih membeli makanan import yang lebih mahal atau sedang menjadi trend. Faktor kualitas dan kesehatan mungkin bukan menjadi alasan utama. Tapi ada faktor lain seperti masifnya iklan dan kebijakan terkait distribusi produk pangan import itu sendiri.

Beralih ke perwakilan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Ade, menyampaikan bahwa permasalahan kepemilikan lahan bagi petani memang masalah yang krusial. KPA sendiri saat ini memiliki mitra-mitra serikat petani yang menjadi dampingan untuk menghadapi konflik agraria yang banyak dihadapi petani lokal.

KPA, melalui gerakannya, menginisiasi Desa Maju Reforma Agraria (Damara). Yang bertujuan untuk mendorong terjadinya reformasi agrarian yang berkelanjutan, dan memulihkan ketimpangan struktur agraria di level desa. Mereka menggunakan mekanisme penanganan konflik dan menjadikan desa sebagai pusat produksi dan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan. KPA memberikan pendampingan untuk memperbaiki dan mengelola proses produksi hasil pangan agar dapat memiliki nilai jual lebih dan dapat didistribusikan secara lebih luas melalui koperasi Lanusa.

Di acara "Orang Muda Bicara Pangan" ini, kami juga memamerkan produk-produk yang dijual di koperasi Lanusa, sehingga peserta dapat melihat secara langsung. Harapannya, peserta yang hadir dapat mengetahui bahwa ada banyak produksi petani lokal yang juga berkualitas namun belum terjamah oleh pasar, karena kebijakan agraria yang belum berkeadilan dan pemasaran produk pangan yang masih dikuasai perusahaan besar.

(Lihat di Ragam Produk Pangan Lokal di "#AllYouCannotEat Orang Muda Bicara Pangan")

Dari berbagai masalah dan upaya-upaya yang sudah dikemukakan terkait dengan kedaulatan pangan hingga kepemilikan lahan, dalam diskusi ini kita juga mendengar bahwa ada bentuk upaya lain untuk menyuarakan isu pangan agar lebih mudah dipahami dan disadari masyarakat. Salah satunya melalui kampanye di media.

Dalam hal ini, KBR sebagai salah satu media yang bergerak dalam berbagai format, kemudian menginisiasi terbentuknya podcast Planet Plate yang mengangkat resep-resep pangan lokal tertentu. Nafisa sebagai Assisten Produser podcast ini menyampaikan bahwa Planet Plate hadir tidak hanya untuk berbicara tentang resep pangan lokal yang jarang dikenal oleh masyarakat, namun secara eksklusif hadir dengan format yang menarik dan santai.

 

Tidak hanya sekedar berbincang, podcast ini direkam sambil memasak bersama chef. Sambil memasak, narasumber juga akan bercerita tentang sejarah maupun perjalanan makanan yang yang sedang dimasak sehingga bisa terhidang sampai di piring kita. Termasuk konflik-konflik yang terjadi di balik sejarah makanan lokal yang sedang diolah.

Dari podcast ini, Planet Plate ingin berbagi dengan pemirsanya, bahwa kisah di balik panganan yang sampai ke piring kita seringkali tidak sederhana. Planet plate juga ingin menyampaikan ke masyarakat bahwa kita di Indonesia sangat memiliki kekayaan budaya pangan sehingga kita tidak perlu mengalami krisis pangan.

Yang menjadi tugas kita bersama adalah, bagaimana menjadikan pangan lokal ini sebagai gaya hidup yang tak kalah mengakar dengan makanan-makanan internasional yang sedang menjadi tren dan lebih banyak dikenal oleh generasi yang lebih muda.
Kita harus berani berinovasi dan tidak “gatekeeping” atau membatasi resep lokal yang jika diolah justru bisa menjadi menu baru yang digemari.

Ternyata ada banyak hal dari isu pangan yang masih perlu menjadi perhatian kita bersama, tidak hanya sama-sama bersuara untuk kebijakan yang berkeadilan bagi tiap unsur yang ada dalam sistem pangan, namun juga perlu adanya keterbukaan dan kolaborasi dalam menguatkan budaya pangan lokal kita.

Sekarang, kita kembali lihat dapur dan piring kita bersama, seberapa lokal makananmu hari ini?

Si Kancil sering berhasil lolos, tapi kali ini tak lagi. Berani kukatakan begitu, karena dalam tragedi tumbangnya si Kancil, aku adalah salah satu saksi. Belakangan, Debu berdesir masuk Balai Desa, membawa berita dengan isak mengiringi. Ia mendesis, “Di tengah jalan, si Kancil tertelungkup, mati.”

Gelegak amarah berakar di kakiku, tumbuh makin lama makin tinggi. Batang-batang berdurinya membeliti sekujur tubuh. Menusuk. Mengimpit kediaman yang selalu kupertahankan sejak awal mula aku berdiri. Ujung batang emosi itu telah sampai di puncak kepalaku, mengintrusi pengendalian diri. Ia memeras pundi-pundi kesabaranku sampai tak berisi.

“Seandainya aku bisa bersaksi”

***

Jika bisa bersaksi, pasti senyum telah melintang di wajahku, kala satu telinga menyerap celotehan anak-anak menanggapi sang guru PAUD berdongeng dengan ekspresif dan ceria. Si Kancil dan Buaya, judul dongengnya.

“Setelah berhasil lolos dari kejaran Anjing piaraan Pak Tani, si Kancil tiba di tepi sungai. Sungai itu terlihat sangat, sangat dalam. Si Kancil berpikir bagaimana caranya ia bisa menyeberang.”

Ah, aku melihat jelas binar-binar berbintang di mata-mata lugu itu. Jalinan kata-kata sang guru berhasil menyeret kepala-kepala mungil itu ke adegan saat para buaya tertipu.

“Dengan lincah, dilompatinya punggung-punggung para buaya”

Beberapa anak bersorak, seolah heroisme si Kancil terpampang jelas di hadapan. Sang guru lalu melanjutkan ke bagian simpulan.

“Si Kancil memang kurus, tapi otaknya sangat cerdas.”

Ingin aku terkekeh karena geli. Sejak kapan kondisi fisik dan kecerdasan pantas untuk dijadikan kontradiksi? Setahuku, melalui pengamatan yang sering kulakukan, kondisi fisik tak bertalian dengan inteligensi. Senyumku memudar kala telingaku yang lain menjala suara derap kaki mengarah ke ruang di lain sisi. Umpatan-umpatan kasar meningkahi celotehan anak-anak yang langsung meredup dan mati.

Apa yang terjadi? Aku tak pernah tahu sampai para buaya menjelma nyata di hadapanku, dengan si Kancil terikat tali. Para buaya itu berdiri di atas dua kaki, matanya merah, dan mulutnya menggerung-gerungkan serapah.

Ketika si Kancil diseret dan diempaskan ke lantai ruangan, anak-anak dari ruang sebelah mengintip dengan raut pasi. Antisipasi bergolak di dalam kelenjarku, hingga tersekresi dalam wujud serupa ngeri. Titik-titik keringat kurasakan bersembulan di atas bibir dan dahi.

Kuperhatikan bahwa pertarungan ini tak imbang. Si Kancil sendirian dan terikat erat, sedang para buaya begitu riuh berbekal berbagai senjata, dari yang tumpul sampai tajam. Dari batu seukuran kepala, pentungan kayu, gergaji, sampai alat canggih berupa setruman. Aku tak paham, bukankah si Kancil ditakdirkan selalu lolos dari ancaman?

Bukankah si Kancil, berbekal kecerdasan, selalu berhasil menipu semua binatang? Adakah kecerdasannya mulai berkurang? Atau para buayalah yang makin banyak akal?

Otakku tercengkeram beku ketika erangan si Kancil memenuhi ruangan. Kecupan alat penyetrum merabai seluruh tubuhnya, mengejangkan otot-ototnya, dan berakhir dengan lenguh kesakitan.

Sudut mataku mengabadikan teror yang membayangi wajah-wajah yang mengintip dari luar ruangan. Tangan sang guru membekap mulut, menahan lesatan jerit ketakutan. Mungkin juga ia tak percaya bahwa si Kancil bisa terkalahkan. Ditariknya cepat-cepat anak-anak didikannya, yang beberapa sudah meraung-raung ketakutan.

Para buaya seolah tak terganggu sama sekali. Juga tak peduli, meski tahu bahwa adegan itu tak layak masuk dalam pedagogi. Apalagi dipertontonkan di depan anak-anak belia yang baru saja memuja heroisme si Kancil.

Setelah sang guru dan anak-anak PAUD itu berlari pergi, tinggal aku sendiri sebagai saksi. Kediaman nyaris membuatku transparan.

Tubuh kurus si Kancil menggelepar, mengejang, lalu terdiam. Lalu mengejang lagi ketika tersentuh setruman. Salah satu buaya mengumpat kesal saat mendapati mata si Kancil masih menantang nyalang. Lalu, tanpa sadar kutahan napas ketika untuk pertama kalinya kudengar si Kancil berbicara, suaranya bak gesekan mata celurit di muka aspal jalan.

“Heh, Boyo-boyo, aku gak wedi mbok pateni!” (*Hai, Buaya-buaya, aku tidak takut kamu bunuh!)

Selarik kalimat itu telah menyetrum saraf kesabaran para buaya. Salah satu dari mereka melompat, lalu menendang, menggampar sisi-sisi tubuhnya dengan cakar. Buaya lain menimpali, “Menengo cangkemmu!” (*Tutup mulutmu!), sembari menukik di atas leher si Kancil.

Sengatan pilu merobek-robek kelindan udara yang terjalit rumit melingkupi seisi ruangan. Gigi-gigi cakar si buaya menggores leher si Kancil, meninggalkan jejak nyeri di sekujur penglihatanku, yang terbenam pada tetesan darah yang mulai menginjak lantai. Cakarnya merobek kulit, lalu menyentuh pembuluh darah si Kancil sembari mengirimkan sinyal-sinyal pedih.

Sekali lagi, si Kancil meraung. Kudengar, ada segaris kesesakan napas yang tersendat dalam raungan itu.

Ajaib, mata si Kancil masih terbuka dan memercikkan sekilas pandangan berbau anyir padaku. Tungkainya menendang-nendang, seolah mengumumkan bahwa ia masih melakukan perlawanan. Meski napasnya bagai sehelai tali rafia yang helai-helainya telah rantas, ia tetap berjuang. Si Buaya terlihat gemas karena si Kancil tak mati jua. Dengan daging leher setengah menganga, tubuh si Kancil diseret ke luar ruangan.

Di lantai, tilas darah membekas. Tertancap dalam di sudut-sudut benak.

***

Saya mengerang, tapi tak mungkin terdengar. Berpasang ban raksasa truk nyaris tiada jeda menginjak saya, hingga remuk tulang-tulang. Pola bannya menggores-gores sekujur tubuh saya, sebelum pola ban truk lain meningkahinya dengan yang baru.

Bibir abu-abu saya tak bisa lagi tersenyum seperti sedia kala. Tak lagi, sejak cakar backhoe menikam sudut bibir saya hingga lebam, robek, dan bernanah. Tak berhenti di situ. Cakarnya mulai mencuili bibir sedikit demi sedikit, hingga saya tak berbibir lagi. Saya tak kuat membayangkan betapa menjijikkannya wajah saya!

Hari berikutnya, backhoe yang dikemudikan buaya itu kembali lagi. Kini cakarnya mengincar perut saya. Saya tak bisa lari, saya tak bisa sembunyi. Tubuh saya terpapar seluruhnya, seolah mengundang untuk digagahi. Ketika cakar itu mulai mengerat kulit perut saya, beberapa truk telah datang mengantri. Saya tahu, mereka menanti diberi asupan timbunan jeroan perut saya.

Saya mengerang, tapi tak ada suara menjelma. Cakar itu mengenai organ dalam tubuh saya, lalu mengeruk seluruhnya dalam sekali libas. Air yang sedari tadi saya tahan, akhirnya terbit di sudut-sudut mata.

Cakar itu membayang di atas saya, lalu melayang turun lagi. Sisa-sisa perut saya dikeruknya, demi mengenyangkan bak truk terbuka. Mual berbual di pangkal tenggorokan. Akhirnya muntahan tersembur dari perut saya yang terbuka. Belakangan, ketika truk-truk dan backhoe itu telah pergi, si Kancil mendapati perut dan mulut saya telah tergenang oleh air laut.

Belakangan, genangan air di lubang-lubang pada tubuh saya itu makin meluas. Lubang-lubangnya makin banyak, dan air laut mencium batas sawah. Belakangan, si Kancil datang dan mendapati padi-padinya telah membusuk terkena limpasan muntahan.

Satu-satunya sumber nafkah si Kancil kocar-kacir. Belakangan, sawah si Kancil tersingkir, digantikan tempat parkir.

Wahai, siapa peduli akan wajah saya yang telah rusak?

Lalu, belakangan, sahabat si Kancil juga mendapati wajah saya sudah terlalu bopeng untuk bisa menjadi sandaran perahunya. Ia tak bisa lagi melaut untuk mencari ikan, seperti biasa.

Wahai, siapa peduli akan lubang-lubang di tubuh saya?

***

Berbulan-bulan kemudian, bagian-bagian tubuh saya telah tercerai-berai oleh rongga-rongga berisi air. Mata saya, untunglah masih bisa melihat sekeliling, menangkap sepasukan manusia yang dipimpin si Kancil, mendatangi gerombolan buaya yang tengah mengeruk sisa-sisa tubuh saya, seperti biasa. Selembar spanduk besar diangkat tinggi-tinggi, bertuliskan “Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-awar menolak penambangan pasir ilegal”.

Harapan mulai terbit di benak saya. Mungkin mereka bisa menghentikan deruman mesin backhoe dan langkah-langkah truk yang setiap hari melindas tubuh saya. Tak kuasa saya menahan mencuatnya angan-angan, bahwa wajah saya akan bisa kembali secantik dulu. Bahwa tubuh saya akan bisa utuh seperti sebelumnya.

Seorang lelaki yang tak muda lagi, dengan kumis hitam melintang di atas bibir, berjalan mendekati si Kancil. Rupanya seperti tokoh Pak Raden dalam acara televisi Si Unyil, menurut saya. Para buaya, anak buahnya, meninggalkan pekerjaan mereka dan mengikuti langkah Pak Raden dengan ekor bergoyang-goyang.

“Ono opo iki, rame-rame?” (*Ada apa ini, ramai-ramai?) ujar Pak Raden, dengan suara berat yang dibuat-buat agar terdengar berwibawa.

“Tambang pasir ilegal iki wis ngrusak sawah warga Selok! Nelayan-nelayan yo podo gak iso nggolek iwak, mergo aktivitas Panjenengan lan boyo-boyo kuwi!” (*Tambang pasir ilegal ini sudah merusak sawah warga Selok! Nelayan-nelayan juga tidak bisa mencari ikan, karena aktivitasmu dan para buaya itu!) tuntut si Kancil, yang memang terkenal paling vokal.

“Kami menuntut agar penambangan ini dihentikan!” sambung yang lain.

“Tidakkah Panjenengan sadar, Watu Pecak wis rusak!”

Pak Raden terkekeh arogan. “Hei, bukankah sudah kubilang, bahwa ini adalah proyek wisata Pantai Watu Pecak? Ini demi kesejahteraan kalian semua!”

Jika bisa, pasti saya sudah menebaskan tangan ke wajah Pak Raden. Proyek wisata seharusnya memperindah, bukan malah merusak tubuh saya! Saya tak akan lupa akan apa yang telah saya lihat di hari-hari sebelumnya. Para buaya itu menyetorkan uang pada Pak Raden setiap kembali dari membawa truk berisi penuh dengan jeroan, daging, dan tulang saya.

Kata-kata isapan jempol Pak Raden ditanggapi dengan hujatan-hujatan dari pasukan si Kancil. Saat itulah, salah satu buaya maju sambil mengacungkan sebilah celurit, yang entah dari mana asalnya.

“Balik, ambil celuritmu, Kancil!” tantangnya pongah.

Si Kancil bergeming. Rautnya mengeras. “Saya tidak hendak main kekerasan, Buaya! Kekerasan hanya dilakukan oleh mereka yang berpikiran sempit dan picik.”

Dari arah belakang pasukan si Kancil, dua orang manusia berseragam datang dan melerai. Untuk sementara, pertarungan ditangguhkan. Saya mencibir nyinyir. Setelah si Kancil dan kawan-kawannya pergi, dua orang manusia berseragam itu menerima setumpuk uang dari Pak Raden sambil tersenyum lebar. Lebar sekali, melebihi lebarnya bibir saya sebelum direnggut oleh backhoe itu.

***

Selama dua minggu kemudian, truk-truk dan backhoe beroperasi seperti biasa. Kecemasan saya bergejolak, hingga menerbangkan jutaan debu dari yang awalnya melekat di sekujur tubuh saya.

Bagaimana kelanjutan perlawanan si Kancil? Mengapa para buaya tetap leluasa mengganyang potongan-potongan tubuh saya?

Hari itu, segerombolan debu kembali ke pelukan saya, dari berkelana ke penjuru desa.

“Di tengah jalan, si Kancil tertelungkup, mati,” bisik mereka.

Tubuh saya mengejang, debu-debu makin berempasan.

Mereka melanjutkan, “Pohon-pohon menjadi saksi, betapa tubuh si Kancil dirajam sepanjang jalan.”

“Pun si Dinding ruang Balai Desa menceritakan betapa si Kancil sangat kuat, bertahan hingga penghabisan,” lanjut mereka.

Wahai, Debu, saya ingin ikut berjuang sampai penghabisan seperti si Kancil. Namun, apa yang bisa saya lakukan? Saya hanyalah pasir abu-abu berbijih besi yang dulu indah menghampar di sepanjang tepi Pantai Watu Pecak. Dulu, dulu sekali.

 

Cerpen dibuat oleh:

Frida Kurniawati, Associate Campaigner WeSpeakUp.org

Selamat datang di Talkshow “#AllYouCannotEat: Orang Muda Bicara Pangan”, kudapanmu hari ini kita pilih sepenuh hati dan secara istimewa hadir ke piringmu. Yuk kenali isi piring kudapanmu hari ini!

 

  1. Ondol

Ini dia “bintang tamu” piring kudapanmu hari ini. Perkenalkan, namanya Ondol, jauh-jauh kami undang dari Banjarnegara, Jawa Tengah. Kudapan ini berbahan dasar singkong, dan pas sekali dimakan dengan cocolan aneka sambal.

Di Banjarnegara sendiri, kudapan ini ternyata sudah mulai langka. Jadi, hari ini special sekali kita hadirkan ke piring kudapanmu. Kalau kamu mau coba buat di rumah dan ingin tahu lebih jauh tentang Ondol, kamu bisa ke tautan ini untuk membaca resep dan cara mengolahnya: Resep Ondol Banjarnegara

 

  1. Ubi Jalar (Ipomoea batatas)

Ubi jalar adalah salah satu tanaman umbi-umbian yang mudah ditemui dan bisa diolah jadi beragam makanan. Dan yang perlu kamu tahu, ubi jalar masuk ke kategori pangan superfood loh.

Ubi jalar mengandung banyak nutrisi yang diperlukan tubuh seperti antioksidan, vitamin dan mineral. Lebih jauh, dikutip dari USDA dalam secangkir atau sekitar 130 gram ubi jalar  mengandung kalori: 112, Lemak: 0,1g Sodium: 71mg Karbohidrat: 26g Serat: 3,9g Gula: 5.4g Protein: 2g. Mengganti sumber karbohidrat dengan ubi jalar untuk program dietmu cocok banget loh.

Di Indonesia, wilayah yang paling banyak menghasilkan ubi jalar adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Papua, dan Jawa Tengah. Ubi jalar juga dijual dengan harga yang sangat terjangkau.

 

  1. Talas (Colocasia esculenta)

Kamu suka minuman rasa taro? Kalo iya, taro yang kamu minum itu adalah nama lain dari Talas. Iya, sebetulnya minuman gurih manis warna ungu rasa taro itu… Ya … rasa talas. Kalau kamu tinggal di wilayah Jabodetabek, mungkin kamu pernah dengar kalau talas sudah melekat banget namanya sama wilayah Bogor. Tapi sebetulnya, talas juga ditemukan di banyak wilayah lain di Indonesia loh. Di wilayah lain, talas punya banyak nama lokal seperti bolang atau taleus (Sunda), kladi, tales, candung (Bali), dan uju bima (Flores).

Kandungan gizinya? Wah jangan ditanya lagi. Talas punya segudang manfaat seperti antioksidan, vitamin A, C, B. Termasuk juga mineral seperti tembaga, mangan, seng, magnesium, kalsium, besi, selenium, potasium, beta-karoten dan cryptoxsantin yang bisa memperlambat penuaan.

 

  1. Labu Parang (Cucurbita moschata)

Buah yang identik sama perayaan Halloween ini biasanya diolah buat berbagai macam makanan loh, bisa untuk lauk, pengganti nasi, jadi bahan makanan untuk kue, juga bahan makanan yang bagus untuk bayi yang sudah memasuki proses MPASI.

Labu parang memiliki banyak sekali kandungan vitamin dan mineral yang bermanfaaat buat tubuh kita. Salah satu unggulannya, labu memiliki kandungan beta karoten yang bisa mencegah rabun. Buat kita yang dalam kesehariannya sering banget terpapar gadget dan punya screentime yang Panjang, makan labu jadi salah satu cara jitu buat menjaga mata lebih sehat (tapi screen-timenya juga harus dikurangi ya).

 

Nah itu dia hidangan special kita hari ini, selamat menikmati! Jangan lupa isi perutmu sebelum mengikuti bincang-bincang seru tentang pangan lokal kita!

Selamat datang di Talkshow “#AllYouCannotEat: Orang Muda Bicara Pangan”, di sini kalian akan berkenalan dengan sebagian bahan makanan hasil pertanian serikat tani mitra dampingan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Sebagian produk bisa jadi sudah tidak asing bagi teman-teman, sebagian lagi mungkin baru teman-teman temui di sini.

Yang lebih Istimewa, produk-produk ini bukan hasil dari pertanian atau perkebunan biasa, namun dari berbagai wilayah yang menjadi korban dari konflik agraria. Produk ini hadir ke hadapan teman-teman dengan melalui berbagai proses advokasi terhadap konflik agraria yang terjadi, juga hasil pemberdayaan para petani, serta solidaritas masyarakat agar bisa memiliki ketahanan pangan dan resisten dalam berhadapan dengan konflik dan tantangan lain untuk keberlanjutan sistem masyarakat dan pertaniannya.

 

  1. Padi Huma

Padi ini bukan padi yang ditanam di sawah biasa. Jika kamu terpikir bahwa medium tanam padi hanya sawah yang berair, padi huma memiliki medium berbeda dalam proses penanamannya, padi huma ditanam di tanah kering. Padi ini jadi salah satu komoditas sumber perekonomian Suku Baduy di wilayah Lebak, Banten.

 

  1. Hiris

Jika dilihat sekilas, hiris mirip dengan kacang hijau. Hiris adalah biji-bijian yang didapat dari tanaman perdu “Gude”, di Pulau Jawa sendiri tanaman ini sudah tidak banyak dibudidayakan, namun bagi masyarakat sunda, hiris menjadi salah satu biji-bijian favorit untuk diolah menjadi pangan lokal.

 

  1. Kapulaga

Kapulaga ini merupakan salah satu produk pertanian dari Serikat Petani Pasundan. Kapulaga merupakan sejenis rempah yang berbentuk mirip dengan kacang polong berwarna kuning dengan rasa pedas yang hangat. Ternyata meski bentuknya mirip seperti kacang, kapulaga justru rempah yang berasal dari keluarga “jahe-jahean” loh. Itu mengapa kapulaga punya tipikal rasa yang pedas mirip dengan jahe. Kapulaga ini seringkali kita temui menjadi bahan rempah masakan Asia Selatan dan Timur Tengah. Kalau makanan lokal Indonesia, kira-kira menu apa ya yang menggunakan kapulaga?

 

  1. Green Bean

Buat kamu penggemar kopi tapi belum pernah tahu proses biji kopi bisa hadir ke cangkirmu tiap hari, kamu bisa lihat green bean ini. Sebelum menjadi biji kopi hitam, biji kopi memiliki warna hijau pucat yang kemudian akan melalui proses roasting atau proses sangrai untuk mengubah kandungan kimianya yang berpengaruh pada tingkat keasaman kopi dan kandungan protein yang berpengaruh pada rasa kopi di akhir.

 

Sementara untuk mencari tahu tentang produk lainnya, kamu bisa berkunjung ke laman website koperasi Lanusa yang menjadi distributor produk-produk serikat tani dampingan KPA. Kamu juga bisa juga bertanya kepada rekan-rekan KPA secara langsung untuk mengenal produk lebih jauh dan membelinya.

Yuk kita dukung produk petani lokal, dengan kualitas yang bagus, harga yang terjangkau, dan dijamin sehat, dengan membeli produk ini kamu juga mendukung ketahanan pangan dan keberlanjutan system petani lokal.

Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan popok sekali pakai dan popok kain telah menjadi topik penting dalam diskusi perawatan bayi dan dampak lingkungan, khususnya di antara para orangtua dengan balita. Selain ingin memastikan kenyamanan dan keamanan anak-anaknya, mereka juga dihadapkan pada persoalan efisiensi atau kepraktisan dan dampak lingkungan.

Popok sekali pakai atau diapers, menurut riset World Bank (2017), telah menjadi penyumbang kontributor sampah kedua terbesar yang mencemari lautan setelah sampah organik. Di Indonesia, studi dari Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) (2017) mencatat setidaknya 3 juta popok bayi bekas pakai mencemari Sungai Brantas, Jawa Timur, setiap harinya. Kondisi pencemaran akibat popok bayi ini juga terjadi di sungai-sungai lain di Indonesia.

Dilema ini yang membawa Viedela, ibu dari seorang anak berusia 3 tahun, memulai kampanye tentang pengurangan popok sekali pakai (pospak). Untuk mendukung kampanyenya, Viedela, yang juga alumni Program We Create Change Vol.2 ini ingin menggali lebih jauh bagaimana preferensi para ibu dalam memilih popok, serta apa hambatan yang mereka hadapi untuk beralih ke popok kain. Upaya mendapatkan informasi ini ia lakukan dengan menggelar sebuah polling atau jajak pendapat secara daring.

Viedela - Alumni Program We Create Change Vol.2

Jajak pendapat ini disebarkan lewat media sosial selama lebih kurang 1 bulan dan diikuti oleh 254 orang, mayoritas berdomisili di 6 provinsi di Pulau Jawa. Peserta survei mayoritas adalah ibu rumah tangga termasuk para ibu pekerja, berusia antara 20-30 tahun, yang sehari-hari terkait langsung dengan penggunaan popok pada balita.

WeSpeakUp.org mendukung Viedela dalam mengolah data polling ini dan menyajikannya dalam konten-konten edukasi publik.

Polling atau jajak pendapat ini bertujuan memberi gambaran singkat atau "snapshot" terkait preferensi publik (dalam hal ini pengguna media sosial) dalam memilih popok dan hambatan yang mereka hadapi untuk beralih ke popok kain. Karena sampel data yang terbatas dan masih berfokus pada pengguna media sosial di pulau Jawa, maka hasil polling ini bisa jadi bias opini warga (urban) pulau Jawa. Polling ini semata-mata untuk tujuan edukasi. Kedepannya kami berharap akan ada kajian yang lebih komprehensif lagi terkait masalah sampah popok ini.

 

Apa saja temuan dari polling ini?

Jajak pendapat ini menemukan mayoritas responden lebih memilih menggunakan popok sekali pakai (pospak). Alasan utamanya adalah faktor praktis dan kemudahan dalam pembuangan. Selain itu, kebiasaan, ketersediaan di pasaran, dan harga yang terjangkau juga menjadi pertimbangan penting bagi para orang tua dalam memilih pospak. Sedangkan yang memilih popok kain, menganggap popok kain lebih ramah lingkungan dan bisa digunakan berulang kali. Popok kain juga dianggap lebih aman untuk kulit bayi serta membantu dalam proses latihan buang air.

 

“Kami sebagai ibu itu lelah banget dengan semua pekerjaan domestik, popok sekali pakai membantu kami mengurangi pekerjaan domestik, dalam hal ini mencuci terlalu banyak. Capek bun. Mungkin beda kalau ibunya dari keluarga kaya pasti pake popok kain karena ada yang nyuciin”.

Staf Organisasi Nirlaba, Banten

 

Hasil polling ini juga menemukan fakta menarik bahwa selain alasan kepraktisan seperti tidak perlu usaha ekstra dalam mencuci, pengguna pospak berpendapat menggunakan pospak membantu kesehatan mental terutama bagi ibu pekerja dan ibu yang memiliki anak lebih dari satu. Sedangkan bagi para pengguna popok kain, meskipun memerlukan lebih banyak usaha, popok kain dapat mengurangi jumlah sampah plastik dan lebih ekonomis dalam jangka panjang karena dapat digunakan berulang kali.

 

Dampak Lingkungan dan Kesehatan

Salah satu temuan penting dari jajak pendapat ini adalah mayoritas responden menyadari penuh dampak negatif pada lingkungan dari penggunaan pospak. Mereka mengetahui pasti potensi timbulan sampah dari pemakaian pospak, karena mayoritas menggunakan antara 1 hingga 5 pospak dalam sehari, bahkan ada juga yang menggunakan hingga 8 popok per hari.Hal ini menunjukan adanya penggunaan pospak yang cukup tinggi dan berpotensi menghasilkan jumlah sampah yang signifikan setiap harinya.


Ketika para ibu pengguna pospak ditanya apakah mereka tahu cara membuang pospak bekas pakai, ternyata hampir separuh responden pengguna pospak belum mengetahui cara yang benar. Meski mayoritas pengguna pospak membuang limbah pospaknya ke penampungan sampah, namun masih banyak yang membuang tanpa membersihkannya terlebih dahulu. Sedangkan sisanya memilih untuk membakar, mengubur limbah pospak dalam tanah dan membuang ke sungai. Terkait pilihan terakhir ini, berdasarkan hasil penelitian dari UMSIDA, di beberapa daerah masih ditemukan mitos-mitos yang dipercaya jika para ibu membakar pospak bekas pakai, maka akan membuat kulit bayi iritasi, sehingga mereka memilih untuk membuang sampah pospak ke sungai.


Selain dampak lingkungan, aspek kesehatan juga menjadi perhatian utama. Lebih dari setengah responden pengguna pospak menyadari bahwa pemakaian pospak dapat menyebabkan iritasi kulit, infeksi jamur, dan alergi pada bayi. Kandungan bahan kimia dalam pospak menjadi faktor yang memicu terjadinya masalah kulit pada bayi. Hasil kajian dari Ecoton menyebutkan bahwa pospak mengandung 100 persen bahan berbahaya dan beracun (B3), karena di dalamnya mengandung Super Absorben Polimer (SAP) dengan senyawa kimia sodium polyacrylate microplastic, microbeads. Jika dibuang ke sungai, bahan-bahan ini akan pecah dan hanyut menjadi mikroplastik. Belum lagi jika kotoran di pospak tidak dibersihin terlebih dahulu sebelum dibuang, dapat dipastikan kotoran dari pospak dapat mencemari tanah dan sumber air minum dari bakteri E-coli yang dihasilkan.

Meskipun dari hasil polling, terlihat bahwa kesadaran responden akan dampak negatif pospak cukup tinggi, namun masih ada kesenjangan antara pengetahuan dan tindakan yang diambil. Penggunaan pospak tetap tinggi karena faktor kepraktisan dan harga yang masih terjangkau. Namun, mayoritas responden mengaku sangat ingin beralih ke popok kain walaupun masih dihadapkan pada sejumlah tantangan. Hampir separuh dari responden mengaku masih dihadapkan pada dilema akan usaha dan waktu ekstra yang diperlukan jika menggunakan popok kain. Disisi lain mereka juga ingin berkontribusi dalam mengurangi sampah pospak.

 

Mengubah perilaku pengguna pospak menjadi pengguna popok kain bukan lah hal yang mudah, tetapi bukan juga hal yang mustahil untuk dilakukan. Perlu usaha bersama untuk terus-menerus melakukan kampanye edukasi akan dampak lingkungan dari pospak, dan juga untuk memperkenalkan solusi alternatif seperti memperkenalkan popok kain berkualitas dan layanan cuci popok kain.

Selain itu perlu keterlibatan dari pihak produsen popok sekali pakai dan pemerintah (baik pusat maupun daerah) dalam mengembangkan inovasi pengelolaan sampah popok sekali pakai dan menciptakan insentif penggunaan popok guna ulang atau popok kain.

Kalau kamu ingin membantu kampanye untuk kurangi sampah popok sekali pakai, kamu bisa share konten blog ini atau dukung kampanye yang digalang oleh Viedela di: change.org/gantidenganpopokkain

 

Penulis: Mathilde Hutagaol, Event and Community Engagement Specialist, di WeSpeakUp.org

Sumber gambar: BBC Indonesia, EPA

Semak belukar menghutan di antara puing-puing bangunan. Jalan beraspal mulus mengular di tengahnya. Lalu-lalang kendaraan ramai melintas.

Hampir tak lagi tampak bekas-bekas likuefaksi 28 September 2018 lalu di wilayah Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah. Seperti menghilangnya bekas-bekas bencana, jangan-jangan ingatan kita tentang bencana yang lalu juga sudah memudar.

Tanggal 26 April 2024 nanti, kita akan memperingati Hari Kesiapsiagaan Bencana. Dengan momentum ini, kita diingatkan kembali dengan memori kebencanaan di kawasan Balaroa. Juga pentingnya kita menjaga memori sejarah kebencanaan. Agar kita bisa terus belajar bagaimana bersikap jika bencana terjadi.

 

Balaroa di Masa Lalu
Sebelum bencana Gempa Bumi, Tsunami dan Likuifaksi yang melanda wilayah Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong, hampir enam tahun lalu, kawasan Balaroa dihuni oleh ribuan orang yang menetap di Perumnas Balaroa, yang dibangun pada dekade 1980-an.

Tidak ada yang menyangka, kawasan perumahan padat penduduk ini akan menjadi kuburan massal bagi ribuan korban likuefaksi.

Bencana 28 September 2018 membuka beragam kisah tentang kawasan Balaroa, juga asal-usul kawasan tersebut. Kawasan Balaroa ternyata memiliki sejarah panjang kebencanaan, yang memorinya tak terwariskan, akibat budaya tutur yang tergerus jaman.

Kita mulai dari penamaan Balaroa itu sendiri. Nama Balaroa sendiri merupakan sebutan lokal bagi sebuah tanaman dengan nama latin Kleinhovia hospita. Balaroa juga dikenal dengan nama Katimaha.

Tumbuhan kayu berukuran kecil hingga sedang ini tumbuh banyak di sekitar wilayah sungai. Daun dan kulit batangnya sering digunakan untuk pengobatan tradisional, misalnya untuk membunuh kutu rambut dan penyakit dalam.

Penamaan Balaroa sendiri, mengindikasikan kawasan Balaroa merupakan kawasan yang berada di dekat daerah aliran sungai (DAS).

Iksam, seorang arkeolog yang kini menjabat Kepala Bidang di Dinas Kebudayaan Provinsi Sulteng mengatakan, pada sebuah peta tua Sulawesi Tengah yang dibuat oleh etnolog Albert C Kruyt pada tahun 1916, wilayah-wilayah yang terdampak likuefaksi pada 28 September 2018 lalu, dulunya merupakan wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS).

Dalam peta itu, wilayah Petobo yang terbenam lumpur saat ini adalah bekas DAS Kapopo, atau yang dikenal dengan nama lain yakni Sungai Nggia. Wilayah lainnya yang dilanda likuifaksi seperti Jono Oge dan Balaroa, dulunya adalah DAS Sungai Paneki dann DAS Sungai Uwe Numpu.

Sebelum berubah menjadi kawasan perumahan, Balaroa juga dikenal merupakan kawasan rawa serta kebun sagu. Kawasan ini dulu dikenal dengan sebutan Lonjo.

Donna Evans, dalam Kamus Kaili Ledo -Indonesia – Inggris yang diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Tengah pada tahun 2003, mengartikan Lonjo dengan tenggelam dalam lumpur atau air yang dalam. Kemudian, Subainda, warga sekitar Perumnas Balaroa, sebagaimana dikutip Mohammad Herianto dalam Jejak Nama Tanah berlumpur di Balaroa menyebut, dalam Bahasa Kaili, Lonjo berarti tanah berlumpur.

Subainda menyebut, dahulu Lonjo bukan tempat pemukiman, karena struktur tanahnya yang berlumpur. Bahkan kata dia, para pedagang yang akan berjualan di Pasar Tua Bambaru, harus jauh memutar menghindari daerah Lonjo. Mereka lebih memilih lewat Kampung Duyu dan Pengawu yang berada di sebelah selatan Balaroa, meski jaraknya lebih jauh.

Sebagian besar warga dari wilayah Marawola Barat yang berada di pegunungan di sebelah barat Balaroa, tidak mau mengambil risiko dengan melewati Lonjo karena takut terbenam.

Selain dikenal dengan sebutan Lonjo, masyarakat setempat sering pula menyebutnya dengan istilah Tonggo Magau. Mohammad Herianto mengutip Alm. Andi Alimuddin Rauf, salah seorang tokoh masyarakat di Kota Palu mengatakan, sebutan itu lahir, karena di kawasan tersebut banyak kubangan kerbau milik Raja Palu.

Kemudian di arah timur Lonjo, terdapat nama Puse Ntasi yang dalam bahasa Kaili berarti pusat laut. Sebutan itu bermula dari adanya sumur yang airnya asin. Sumur itu diyakini terhubung dengan pantai Teluk Palu. Keyakinan itu bermula saat hilangnya kerbau Raja Palu yang jatuh ke dalam sumur tersebut. Setelah beberapa hari, bangkai ternak itu justru ditemukan di pesisir Teluk Palu.

 

Memori Kebencanaan Balaroa

Cerita serupa juga diceritakan Mama Padja atau Nenek Ratna, tokoh utama dalam film Turun Ke Atas garapan sutradara Rizki Syafaat Urip dan Nemu Buku, yang menjadi salah satu film dalam projek Hidup Dengan Bencana, yang diinisiasi Sinekoci.

Dalam film berdurasi 15 menit tersebut, Mama Padja menceritakan bagaimana leluhurnya mewariskan memori kebencanaan tentang Balaroa. Ceritanya sama persis dengan cerita yang dituturkan oleh Subainda dan Alm. Andi Alimuddin Rauf.

Kisah tentang memori kebencanaan kawasan Balaroa di atas, merupakan salah satu bukti, masyarakat Palu, khususnya masyarakat Suku Kaili, telah mengenal konsep kesiapsiagaan bencana, salah satunya dengan penamaan tempat, sesuai dengan karakteristiknya.

Masyarakat Suku Kaili menamakan sebuah tempat atau kawasan, mengacu pada tiga aspek. Pertama, flora dan fauna setempat. Kedua, peristiwa alam atau peristiwa sejarah. Ketiga, nama tokoh. Bencana 28 September 2018 membuka mata khalayak, juga masyarakat setempat, tentang bagaimana toponimi menjadi penanda bagi masyarakat terhadap kawasan yang dinilai memiliki risiko terdampak bencana.

 

Hari Kesiapsiagaan Bencana
Melihat kenyataan di atas, tidaklah berlebihan jika di momen Hari Kesiapsiagaan Bencana kali ini, pengetahuan-pengetahuan lokal terkait kebencanaan yang ada di Kota Palu, diwariskan kepada generasi berikutnya, dengan memasukkan pengetahuan tersebut ke dalam kurikulum pembelajaran di satuan pendidikan yang ada di Kota Palu.

Pemerintah Kota Palu lewat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan telah melakukan langkah strategis pada 2019 lalu, dengan menggagas hadirnya sebuah Panduan dan Bahan Pembelajaran Mitigasi Bencana Alam Berbasis Kearifan Terintegrasi dalam Kurikulum 2013. Sayangnya, bahan ajar tersebut tidak lagi ditindaklanjuti dengan penerapan di satuan pendidikan.

Banyak cara yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Kota Palu untuk menerapkan pendidikan mitigasi kebencanaan berbasis kearifan lokal dalam kurikulum di satuan pembelajaran. Pemerintah Kota Palu misalnya dapat menyinkronkan pembelajaran mitigasi bencana berbasis kearifan lokal, dengan Program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB).

Itu adalah upaya pencegahan dan penanggulangan dampak bencana pada satuan pendidikan. Penyelenggaraan program SPAB diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program SPAB.

Selain itu, Pemerintah Kota Palu juga dapat memasukkan pembelajaran mitigasi bencana berbasis kearifan lokal ke dalam kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah. Berdasarkan UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 79/2014 tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013, kearifan lokal dan keunikan budaya yang dimiliki setiap daerah memungkinkan daerah mengembangkan kurikulum mulok bagi sekolah-sekolah di daerahnya.

Pemerintah Kota Palu sudah punya bahan ajar pembelajaran mitigasi bencana berbasis kearifan lokal. Kini kita tinggal menunggu komitmen pemerintah untuk menerapkannya dalam pembelajaran di satuan pendidikan. Hal ini adalah sebuah keniscayaan. Tinggal bagaimana komitmen pemerintah untuk mewujudkannya, dengan semangat “Siap Untuk Selamat” menuju "Palu Tangguh, Palu Hebat".

 

Tentang Penulis
Jefrianto adalah jurnalis dan penulis buku tentang sejarah kebencanaan di Palu yang berjudul “Tak Ada yang Kebetulan: Kehidupan di Atas Sesar Palu Koro”. Ia juga adalah Alumni We Create Change Vol.3 yang diselenggarakan WeSpeakUp.org

Di sebuah rumah bambu di Desa Kalisalak, kami belajar bercerita. Karena cerita mampu menggugah dan menginspirasi. Cerita juga membuat kita berubah dan bergerak.

Lewat tulisan singkat ini saya ingin berbagi cerita tentang “Storytelling Retreat” yang kami selenggarakan akhir tahun lalu, tepatnya antara tanggal 14 sd 17 Desember 2023. Kegiatan ini adalah kerjasama antara WeSpeakUp.org dengan Fatimah Bamboo House dan komunitas Our Voice Comedy for Change yang dibina oleh komika Sakdiyah Ma’ruf.

Storytelling atau bercerita adalah keterampilan yang sudah ada sejak dulu. Jauh sebelum ada internet dan media sosial, nenek moyang kita sudah menggunakan kekuatan cerita dongeng untuk menyampaikan pesan dan nilai-nilai kepada anak cucunya. Sayangnya bercerita bukanlah perkara mudah, tidak semua orang bisa bercerita dengan baik.

Storytelling Retreat ini adalah upaya kami untuk memberikan bekal kepada para Penggerak Muda (Changemakers) yang datang dari berbagai kota di Indonesia agar bisa menyuarakan cerita yang kuat, narasi yang menggerakkan, dan berdampak kepada masyarakat. Sesuai namanya, “retreat” ini diadakan di lokasi yang tenang dekat dengan alam, jauh dari keramaian, agar peserta dapat berefleksi dan jeda sejenak dari rutinitas sehari-hari.

Kegiatan ini diikuti oleh penggerak muda terpilih dari program We Create Change Vol.2 antara lain yang berasal dari Kalimantan Barat, Aceh, Riau, NTT dan Jawa Tengah.

 

Ada 3 kegiatan utama yang dilakukan oleh para Changemakers yaitu:
1️. Kegiatan di dalam ruang kelas untuk merumuskan dan merefleksikan gerakan masing-masing. Peserta diajak berbagi dan merefleksikan panggilan hidupnya dengan metode River of Life atau sungai kehidupan.

2️. Berinteraksi langsung dengan kelompok masyarakat untuk berlatih menarasikan kisah perjalanan aktivisme dan gerakannya. Antara lain bercerita di kelompok ibu-ibu, bapak-bapak dan anak-anak di desa terdekat, sekalian latihan menghadapi audiens yang beragam

3️. Jalan-jalan, menikmati alam, dan jeda sejenak sebagai bagian dari refleksi dan self care. Kami percaya bahwa joy is an act of resistance, kegembiraan adalah bagian dari perlawanan. Jadi perjuangan dan aktivisme harus digerakkan dengan gembira.

Semoga cerita ini bisa menginspirasi kamu, kamu, dan kamu untuk berani menyuarakan panggilanmu!

Kunjungi youtube kami untuk menonton cerita selengkapnya di sini: Storytelling Retreat - We Create Change Vol.2

 

Tertarik untuk bergabung? Tunggu program storytelling kami berikutnya dan ikuti kami di media sosial @WeSpeakUporg

 

Penulis:
Desmarita Murni, Executive Director WeSpeakUp.org

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram