Sang Ibu Negara

Ibu negara adalah julukan yang diberikan oleh keluarga pada Stevi karena kesibukannya di luar rumah. Selain itu, Stevi juga paling sulit dibantah kalau bicara, menurut orang-orang yang suka menuduhnya sok sibuk. Padahal memang sibuk betulan.

Sejak duduk di bangku kuliah di Universitas Tadulako, dari tahun 2012, Stevi memang menghabiskan banyak waktunya untuk berorganisasi, berdiskusi, belajar filsafat, dan ikut aksi di Yayasan Tanah Merdeka. Keterlibatan Stevi di Tanah Merdeka sendiri sudah dimulai sejak SMA.

Awalnya Stevi dan kawan-kawan SMA-nya sering nongkrong di kantor yayasan tersebut karena wi-fi yang cepat dan tak terbatas. Dari sana lah perlahan-lahan mereka dilibatkan dalam berbagai aktivitas, termasuk aksi bagi-bagi bunga ke ibu pedagang pasar, turun ke komunitas, ikut beberapa aksi yang pernah berakhir keos, dan berbagai kegiatan lain.

Keterlibatannya sebagai relawan ketika menangani konflik, membuat mata Stevi menjadi lebih terbuka. Salah satu wilayah yang pertama didatanginya adalah di Morowali Utara. Waktu itu masyarakat sedang berkonflik terkait lahan sawit. Menghadapi satu konflik lahan ke konflik berikutnya, membuat Stevi semakin memantapkan langkahnya membersamai perjuangan masyarakat mempertahankan tanah dan ruang hidup mereka.

Julukan sebagai Ibu Negara di rumah semakin lengkap pula sekarang, setelah resmi menjadi staf Yayasan Tanah Merdeka. Saat ini Stevi lebih banyak tinggal di Kabupaten Morowali Utara, yang harus ditempuh selama 12 jam berkendara dari Palu. Sebulan 1-2 kali Stevi melintasi jarak tersebut, untuk berkoordinasi dengan kantor Yayasan Tanah Merdeka di Kota Palu.

 

Perempuan Desa Towara dan Kerusakan Lingkungan

Desa Towara terletak di Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Di desa ini satu-satunya sumber mata air adalah dari Sungai Putemata. Desa Towara terletak sedikit lebih rendah dari sungai tersebut. Sayangnya, sungai tersebut saat ini sudah tidak lagi dapat diandalkan sebagai sumber air bersih bagi warga.

Beberapa perusahaan penambangan nikel tumpang tindih izinnya beroperasi di desa tersebut. Mereka menambang di wilayah desa yang letaknya lebih tinggi dari Sungai Putemata. Mereka adalah PT Bumanik dan PT Keinz Ventura. Dua perusahaan ini menjadi penyedia ore nikel di Proyek Strategis Negara Stardust Estate Investment (PSN PT. SEI).

Sampai hari ini AMDAL dari PT Bumanik belum pernah diperlihatkan ke masyarakat. Sementara kedua perusahaan ini baru menunjukkan setelah warga melakukan aksi. Itupun masyarakat tidak pernah mendapat sosialisasi ketika proses pembuatan AMDAL dilakukan.

Perusahaan-perusahaan ini sendiri sebetulnya sudah masuk sejak tahun 2014 dan melakukan pengeboran sebagai langkah awal dalam eksplorasi pertambangan nikel. PT Keinz Ventura resmi memulai operasi tahun 2021, tetapi warga pada saat itu tidak melakukan protes karena masih sangat awam soal pertambangan dan dampak buruknya. Selain itu, dengan embel-embel proyek pemerintah, maka masyarakat dibuat jadi harus tunduk, karena kalau melawan, berarti dianggap melawan Pemerintah.

Masyarakat terpaksa menjual lahan, sementara tidak sedikit yang tanahnya dirampas begitu saja karena tidak berdaya melakukan perlawanan.

Lima tahun berlalu sejak PT. SEI beroperasi, dampak buruknya sudah sangat menyengsarakan masyarakat terutama perempuan.

Dengan tercemarnya sumber mata air, masyarakat terpaksa membeli air untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya. Ibu Nurliani salah satunya. Dia pernah bercerita kalau terpaksa membeli air per tandon seharga 80 ribu sepanjang tahun 2023 sampai sekarang. Air satu tandon itu hanya bisa dipakai paling lama dua hari. Bu Nurliani tidak sendiri, banyak perempuan lain juga melakukan hal yang sama.

Pada saat kondisi Sungai Putemata masih baik, para perempuan biasanya mendapat penghasilan tambahan dari menjual kerang meti di sungai, tapi sekarang sudah tidak bisa lagi. Kerang meti yang tersisa, jika dibuka sudah lapuk isinya. Tidak bisa dikonsumsi lagi.

Kerja-kerja produktif lain pada umumnya juga membutuhkan air bersih, seperti membuat kue, nasi kuning dan minuman dingin, para perempuan juga tidak bisa lagi melakukannya. Sementara itu perempuan harus terus dipaksa untuk memenuhi kebutuhan ekonomi di rumah. Maka solusi jangka pendek yang diambil adalah berhutang.

Karena sumber penghasilan yang memang sudah tidak ada, maka biasanya tagihan hutang akan dibayar dengan menghutang pada sumber yang lain. Terus menerus seperti itu, hingga koperasi banyak yang terpaksa mengambil barang berharga penghutang, sebagai ganti dari pembayaran.

Ketika kondisi ini disampaikan oleh Yayasan Tanah Merdeka pada pemerintah Desa Towara, mereka tidak percaya. Padahal untuk membuktikan ini, sesederhana melakukan audiensi dengan koperasi, maka kondisi utang warga Desa Towara akan dengan mudah didapatkan. Pemdes sepertinya memang tidak berpihak pada rakyat.

Di sisi lain, polusi yang dihasilkan dari PSN tersebut sudah di tahap sangat mengganggu kesehatan. Udara tidak segar bukan hanya dirasakan oleh Desa Towara saja. Satu kabupaten ikut merasakannya. “Saya sendiri sudah batuk tiada henti di Morowali Utara ini. Setiap pulang ke Palu, keluarga selalu menegur kenapa batuk terus,” kata Stevi menuturkan kondisi kesehatannya.

“Yang terparah adalah debunya. Anak-anak sampai dilarang bermain di luar rumah oleh orang tuanya. Rumah selalu ditutup sampai ke ventilasi, supaya debu tidak masuk,” tambah Stevi. Hal ini tentu bukan hanya melanggar hak warga untuk hidup di lingkungan yang sehat, tetapi juga melanggar hak anak untuk bermain dan menikmati udara sehat di luar rumah.

 

Kesadaran dan Perlawanan

Dalam kasus-kasus masyarakat melawan perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam, hal yang hampir sama seringkali terjadi, dimana kesadaran masyarakat muncul terakhir, ketika kondisi sudah makin buruk. Masyarakat sengaja dibuat tidak tahu dan tidak berdaya di awal, agar perusahaan segera berdiri dan melakukan eksplorasi.

Pemerintah juga sering kali justru berpihak pada perusahaan dan melupakan tugasnya sebagai pelindung rakyat. Begitu juga di Desa Towara.

Ketika masyarakat melawan, biasanya perusahaan telah menyiapkan diri dengan upaya-upaya membalikkan keadaan dan mengkriminalisasi masyarakat. Juni 2023 masyarakat pertama kali melakukan perlawanan dengan memblokir jalan yang dipakai untuk perusahaan lalu lalang mengangkut materi hasil tambang.

Partikel dari ore nikel yang ikut beterbangan di udara membuat jalanan licin. Meskipun perusahaan mengklaim jika sudah menyiram jalanan, tetapi pada kenyataannya, jalanan yang disiram segera kering karena cuaca panas. Belum lagi air yang menjadi sangat kotor.

Salah seorang warga yang sangat marah karena dia pulang kerja dan terpaksa mencuci muka dengan air kotor, melempar salah satu mobil perusahaan yang sedang melintas. Hal ini yang kemudian dilaporkan sebagai tindakan kekerasan.

Salah satu tugas Yayasan Tanah Merdeka adalah memberikan pelatihan SOP keamanan pada komunitas. Beberapa bulan setelah kejadian itu, kemudian warga dimediasi oleh pihak Polres dan perusahaan terkait kasus kriminalisasi yang terjadi pada warga. Salah satu tuntutan warga pada Polres ketika itu adalah untuk tidak menahan yang bersangkutan.

Laporan ke Pemda terkait kondisi air tidak pernah ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan serius. Masyarakat dibiarkan berjuang sendiri.

Warga awalnya takut melakukan perlawanan. Ini terjadi karena pada saat pertama kali akan melakukan aksi, rencana ini terendus oleh pihak perusahaan. Stevi dan kawan-kawan di Desa Towara diintimidasi. Selama dua jam mereka mengintimidasi agar warga tidak melakukan aksi. Tetapi hal ini tidak menyurutkan semangat warga.

Puncaknya adalah ketika terjadi longsor di bulan September 2024. Selain mengakibatkan luka tubuh pada seorang lansia perempuan, rumah warga terendam lumpur coklat dan pipa serta kayu-kayu gelondongan besar terhanyut dari hulu ke arah desa. Sumber mata air rusak, setelah sebelumnya PT. Keinz Ventura memindahkan pipa yang membuat debit air surut. Ini adalah pelanggaran karena mereka melakukannya tanpa seizin warga.
(kalo ada foto-foto kayu & pipa yang pada hanyut boleh nih)

Warga sekarang mandi tiga hari sekali di sungai yang sudah cokelat airnya tersebut. Selebihnya air di rumah hanya untuk cuci muka dan gosok gigi. “Bayangkan saja, hidup di lingkungan berdebu dan hanya bisa mandi tiga hari sekali,” Stevi mengajak kita ikut merasakan penderitaan warga Towara.

Selain berada di lapangan berjuang bersama warga, tahun 2023 Stevi dan Yayasan Tanah Merdeka meluncurkan sebuah petisi online untuk meminta dukungan masyarakat agar mendorong Bupati Morowali Utara agar meninjau kembali perizinan tambang nikel di Desa Towara.
(ini nanti kasih link ke petisi yaaa… biar banyak yang dukung, kulihat masih sedikit sekali dukungan petisinya)

 

Perjuangan Mengembalikan Titipan Anak Cucu

Menghadapi perjuangan warga melawan perusahaan tambang, Stevi merasa bahwa ini adalah dampak dari UU Omnibus Cipta Lapangan Kerja. Semua keputusan diambil di pusat, mereka tidak paham kondisi lingkungan di mana penambangan akan dilakukan, atau sengaja tidak mau tahu dan peduli.

Mata air, kondisi tanah, hutan, masyarakat, budaya, semua tidak dilihat. Pemerintah terlalu, jika tidak dapat dikatakan hanya, berpihak pada pengusaha dan pemilik modal. Masyarakat dianggap tidak ada. Tidak pernah dilibatkan di dalam diskusi yang menyangkut ruang hidup mereka.

“Seharusnya perencanaan tata ruang melibatkan masyarakat. Bukan hanya tentang lingkungan fisiknya saja, tetapi juga ada peninggalan kebudayaan yang harus kita jaga,” tutur Stevi menegaskan. Morowali Utara memiliki banyak gua yang harus dilindungi karena masuk dalam cagar budaya. Tetapi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tidak juga diajak berdiskusi tentang potensi rusaknya cagar budaya tersebut.

Masuknya investasi itu, entah disadari atau tidak oleh pemerintah, juga merusak budaya setempat. Hubungan antar orang di dalam rumah terganggu, potensi kekerasan dalam rumah tangga menjadi ancaman serius, dan anak kehilangan kesempatan bersosialisasi dengan lingkungannya.

Stevi mengingatkan bahwa perusahaan lah yang seharusnya tunduk pada pemerintah, dan pemerintah menjadi pelindung warga, bukan sebaliknya. Saat ini warga banyak yang melakukan aksi spontanitas karena tidak tahu lagi harus mengadu kemana.

Pemerintah yang seharusnya menjadi tempat masyarakat berlindung dan mengadu, justru melindungi perusahaan yang jelas-jelas menyengsarakan kehidupan warga.

“Rasanya sering pengen menyerah,” Stevi menyampaikan perasaannya yang memang sangat bisa dimengerti. “Tapi saya selalu ingat lagi kata teman-teman di Torobulu, yang juga sedang berjuang melawan perusahaan penambang nikel. Mereka selalu mengingatkan kalau kita ini hanya meminjam tanah dari anak cucu. Kalau kita menyerah, apa lagi yang akan kita tinggalkan ke mereka?"

"Diam berarti membiarkan kerusakan yang lebih masif lagi terjadi.” Ini yang selalu menjadi penguat perjuangan Stevi dan Yayasan Tanah Merdeka selama menemani warga berjuang.

Stevi sendiri, terpaksa hidup jauh dari Rhea, anak semata wayangnya. Karena mustahil baginya mengambil risiko, membiarkan Rhea yang baru berusia delapan tahun itu, hidup di lingkungan berpolusi. Maka semakin kuatlah niatnya untuk berjuang.

Dia tidak menyebut terpisahnya dari anak sebagai pengorbanan. “Ini adalah kehormatan. Kelak Rhea akan tahu kalau setiap kerinduan yang kami rasakan, adalah upaya untuk mengembalikan pinjaman tanah dalam keadaan yang baik padanya dan generasi berikutnya,” kata Stevi.

Perempuan yang menyukai laut ini kemudian menambahkan di akhir diskusi kami, “Namaku Stevi Rasinta, yang artinya adalah keberuntungan. Aku berharap seberuntung itu juga dalam membantu memperjuangkan warga Towara memenangkan kembali hak mereka atas hidup yang sehat dan alam yang lestari.”

 

Tentang Penulis:
Dian Purnomo adalah seorang penulis dan periset yang memiliki perhatian khusus pada isu-isu sosial dan lingkungan. Klik untuk melihat profil lengkap Dian Purnomo.

Raafi vs Raffi

Pernah mendengar petisi yang menolak pembangunan resort Raffi Ahmad di Gunung Kidul? Muhammad Raafi adalah orang yang ada di belakangnya.

Sama-sama Ra(af)fi tapi beda banget arah hidupnya. Yang satu adalah selebrita yang sepertinya tidak memiliki kepedulian terhadap kondisi lingkungan, serta mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk diri sendiri. Satunya lagi adalah mahasiswa yang memiliki kepedulian dan kecintaan pada lingkungan dan menjejakkan kakinya di atas kebenaran.

Muhammad Raafi lahir tahun 2004 dan dibesarkan di Cilegon, sebuah kota industri yang sarat polusi. Ingatan tentang kota tersebut tidak jauh-jauh dari langit kelabu dan cuaca yang gerah.

Sampai tahun 2021, setidaknya ada 88 perusahaan industri besar dan menengah, termasuk diantaranya Krakatau Steel. PLTU Suralaya yang memasok listrik se-Jawa dan Bali juga berlokasi di Cilegon.

“Saya memang tidak pernah ingat Cilegon bebas polusi, tapi semakin ke sini semakin parah,” tuturnya. “Ruang terbuka hijau semakin berkurang, gedung perkantoran dan mall justru bertambah.”

Ada lima Mall di kota sekecil Cilegon saat ini. Sementara taman-taman bermain terbuka tidak terawat, kalau hujan rembes, rumputnya pun sintetis dan mengelupas. Di jalanan tidak ada lagi pohon. Tiang-tiang listrik dan lampu hias jalanan menancap menggantikan posisi pohon, yang tentu saja tidak bisa memerankan tugas menyerap CO2 dan meneduhkan orang yang lalu lalang di bawahnya.

Kesadaran Raafi pada kondisi lingkungannya yang rusak sudah muncul sejak SMP dan semakin menguat ketika masa pandemi. Ketika terpapar informasi di media sosial tentang bagaimana pandemi, berkurangnya kendaraan yang lewat di jalanan, menjadi berkah bagi beberapa kota. Ada yang memamerkan langit biru kotanya dengan bangga. Sementara itu, di balik jendela kamarnya, Raafi berusaha mencari pemandangan yang sama, tapi hasilnya nol.

 

Peran Keluarga

Sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, Raafi mendapatkan banyak pengaruh dari kakak dan ayahnya. Ayahnya adalah seorang buruh di salah satu perusahaan di Cilegon. Dia juga aktif di dalam gerakan buruh lokal untuk memperjuangkan upah, kesejahteraan pekerja, dan isu-isu ketenagakerjaan lain.

Ketika masih SMP dan sudah mulai masuk dalam grup WhatsApp keluarga, Raafi mulai terpapar oleh apa yang dikerjakan oleh ayahnya. Sang Ayah sering membagikan berita-berita dan cerita terkait perjuangan yang sedang dilakukannya. Ada demo ini, ada perjuangan itu, ada aksi ini, ada aksi itu, begitu beberapa berita yang dibagikan sang ayah di grup.

Berita-berita ini semakin bertambah ketika kakaknya sudah lebih dewasa dan mulai bergabung dalam gerakan-gerakan perjuangan penegakan keadilan, salah satunya adalah Kamisan.

 

Setiap hari Kamis, Kakak Raafi berangkat ke Serang, karena di Cilegon tidak ada Aksi Kamisan. Beberapa kali Raafi menyaksikan Ayah dan Kakaknya pulang dalam keadaan luka-luka atau setidaknya membawa cerita tentang bentrok yang terjadi ketika sedang aksi.

 

“Perusahaan suka pakai preman untuk membuat demonstran pada mundur,” demikian kata Raafi menirukan apa yang disampaikan ayahnya.

Baju robek, muka lebam, adalah hal yang sering dilihatnya, tapi Raafi yang kala itu masih duduk di bangku SMP sedang berusaha mencerna apa yang terjadi.

Ketika memasuki bangku SMA, pengetahuannya tentang ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan mulai tumbuh lebih dari sekedar pengetahuan tentang buang sampah di tempatnya atau membawa tempat makan dan minum sendiri ketika bepergian.

Salah satu kelas kegiatan belajar yang diikutinya adalah Kelas Malam, yang diinisiasi oleh Blok Politik Pelajar, berisi koalisi pelajar yang bersama-sama belajar soal HAM, korupsi, feminisme, lingkungan, demo aman, dan sebagainya.

Di sinilah Raafi mendapatkan asupan ilmu dari orang-orang yang mumpuni di bidangnya. Kelas Malam inilah yang membuka mata Raafi lebih luas dari kesadaran sumbangan individu terhadap kerusakan lingkungan, sampai mengenal adanya sebuah sistem besar yang secara masif dan terstruktur menciptakan kerusakan lingkungan dan mereka harus dihentikan.

Satu hal yang Raafi syukuri dibesarkan sebagai keluarga demonstran adalah, dia jadi terbiasa melihat orang-orang terdekatnya memperjuangkan hal yang benar. Sementara dia tahu, ada banyak teman yang oleh keluarga mereka didoktrin bahwa demonstran adalah para perusuh yang merusak fasilitas umum, menyusahkan, dan sebagainya.

Sampai sekarang ketika Raafi akan mengikuti demo, karena tinggal jauh dari rumah, dia selalu memberi tahu seisi rumah di dalam grup keluarga.

“Cara Ibu mendukung itu khas ibu-ibu hari gini banget, dia pasang status di WA dengan tambahan kalimat, “semangat anakku!” gitu, Kak,” kata Raafi sambil tertawa.

 

Climate Rangers

Tahun 2022 Raafi meninggalkan Cilegon untuk kuliah di UGM, Yogyakarta. Jurusan Hubungan Internasional dipilihnya dengan alasan sederhana, agar lebih mudah mencari kerja di perusahaan internasional. Tapi rupanya semakin ke sini, Raafi tidak lagi punya keinginan bekerja di perusahaan profit. Dia lebih tertarik pada kerja-kerja kemanusiaan, khususnya di bidang lingkungan.

Di kampus, Raafi mengikuti kegiatan Indonesia Climate Change Initiative (ICCI) di divisi riset. Di sana dia kenal dengan berbagai komunitas, hingga akhirnya bergabung dengan Climate Rangers (CR) Jogja.

“Sebetulnya di ICCI juga seru, tapi karena dia di bawah bendera kampus kan, jadi memang ada banyak gerakan kita yang terbatas. Ada kepatuhan-kepatuhan yang harus dilaksanakan yang membuat ruang gerak kita kurang leluasa dalam memperjuangkan keadilan iklim,” kata Raafi menjelaskan kenapa dia akhirnya bergabung di CR.

Meskipun CR sendiri saat itu sedang dalam tahapan restrukturisasi karena banyak anggota yang pindah ke luar kota, dan Raafi sempat ragu apakah masuk ke komunitas ini adalah langkah yang tepat, tapi dia tetap nekad.

Dan benar saja, dua minggu setelah bergabung dengan komunitas yang bertujuan mendorong transisi energi yang adil dan tanpa penindasan ini, Raafi langsung diminta untuk bergabung ke Bali dalam program pelatihan Climate Rangers Camp.

Pengalaman mendapatkan pelatihan di Bali ini membuka perspektif Raafi tentang masalah struktural, separah apa kerusakan iklim yang sekarang sedang terjadi, bagaimana kita bisa memperjuangkannya, dan seterusnya. Uniknya, di Bali juga untuk pertama kalinya Raafi bertemu secara langsung dengan teman-teman CR Yogya lainnya.

“Pulang dari Bali kayak kebakar gitu energinya. Semakin punya landasan dan keyakinan untuk bergerak,” kata Raafi semangat.

Berjejaring dengan kawan-kawan dari berbagai wilayah, bersama-sama memetakan isu-isu lokal dan nasional membuat Raafi membuka mata lebih lebar. Karena sedang menjadi penghuni Yogyakarta, maka dia juga jadi melihat lebih dalam isu wisata di kota ini dari kacamata orang yang memiliki kepedulian lingkungan.

 

Membayangkan wisata yang menggunakan energi baru terbarukan, pasti keren sekali.

 

Dari sinilah Raafi kemudian ikut menengok ketika di Gunung Kidul ada sebuah rencana pembangunan resort yang mengancam kelestarian lingkungan di sana.

Petisi yang diinisiasinya didukung oleh lebih dari 74 ribu orang. Raafi kemudian juga mendapat ajakan berkoalisi dari teman-teman Gunung Kidul Melawan, WeSpeakUp.org dan 350. Ajakan ini tentu Raafi terima dengan penuh semangat.

Dengan semakin banyak pihak yang memberikan perhatian, petisi ini akhirnya mendapat respon dari Raffi Ahmad dan Bupati Gunung Kidul, Sunaryanto. Meskipun kedua orang yang menjadi target utama ini merespon dengan mengatakan bahwa Raffi tidak lagi terlibat dalam pembangunan resort tersebut, sementara Bupati mengatakan kalau proyek tersebut dihentikan, tapi di lapangan proyek yang berpotensi merusak lingkungan lainnya, terus dilanjutkan.

 

Panjang Umur Perjuangan

Perjuangan yang dilakukan Raafi dan kawan-kawan koalisi Gunung Kidul Melawan tampaknya belum akan berhenti dengan akhir bahagia, dengan di-notice-nya petisi mereka oleh Raffi Ahmad & Bupati.

 

Menyadari bahwa Gunung Kidul belum benar-benar merdeka dari kemungkinan perusakan lingkungan, membuat mereka harus mengubah strategi perjuangan.

 

Ada banyak sekali perusahaan yang mengincar Gunung Kidul sebagai lahan membangun proyek-proyek untuk mengeruk keuntungan. Jika menargetkan satu persatu perusahaan tersebut, maka energi yang dibutuhkan akan luar biasa besar.

Salah satu cara untuk mengupayakan terjaganya kelestarian Gunung Kidul adalah dengan membuat regulasi yang menjaga dan memastikan siapapun yang akan mendirikan usaha di kabupaten ini, harus taat pada aturan-aturan yang berlaku.

Saat ini Jevi Adhi, salah seorang penggerak Gunungkidul Melawan telah menuliskan sebuah buku untuk mendokumentasikan kerusakan di sana. Jevi memotret bagaimana perubahan yang terjadi di Gunungkidul sejak dia lahir hingga saat ini.

Jevi dan kawan-kawan Gunungkidul Melawan selain akan menggunakan buku ini sebagai salah satu sarana mendokumentasikan perubahan, juga agar memiliki alat advokasi supaya kerusakan tersebut dihentikan.

Raafi tahu perjuangannya masih panjang. Gunungkidul adalah salah satu titik awal “sekolah” perlawanan yang diikutinya.

Ujiannya mungkin akan bertubi-tubi, tapi kurikulumnya jelas, memperjuangkan kebenaran, kelestarian lingkungan, dan satu lagi, secara pribadi dia bisa dengan bangga mengatakan pada siapapun bahwa Ayah dan keluarganya telah memberikan contoh yang baik baginya.

Panjang umur perjuangan!

 

Tentang Penulis:
Dian Purnomo adalah seorang penulis dan periset yang memiliki perhatian khusus pada isu-isu sosial dan lingkungan. Klik untuk melihat profil lengkap Dian Purnomo.

Apakah kamu bersedia menerima update kegiatan WeSpeakUp.org?(Required)

DAFTAR HADIR

pilih opsi gender
Please enter a number greater than or equal to 1.

EVALUASI

masukan teman-teman sangat berarti buat kami
Please enter a number greater than or equal to 0.
Opsional
Pilih opsi gender
Please enter a number from 1 to 100.
Apakah kamu bersedia menerima update terkait program atau kegiatan WeSpeakUp.org ?(Required)
Please enter a number greater than or equal to 0.
Opsional
Pilih opsi gender
Please enter a number from 1 to 100.
Apakah kamu bersedia menerima update terkait program atau kegiatan WeSpeakUp.org ?(Required)
Opsional
Opsional
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram