Cerpen: Dinding, Debu, dan Pasir yang Merintih

Si Kancil sering berhasil lolos, tapi kali ini tak lagi. Berani kukatakan begitu, karena dalam tragedi tumbangnya si Kancil, aku adalah salah satu saksi. Belakangan, Debu berdesir masuk Balai Desa, membawa berita dengan isak mengiringi. Ia mendesis, “Di tengah jalan, si Kancil tertelungkup, mati.”

Gelegak amarah berakar di kakiku, tumbuh makin lama makin tinggi. Batang-batang berdurinya membeliti sekujur tubuh. Menusuk. Mengimpit kediaman yang selalu kupertahankan sejak awal mula aku berdiri. Ujung batang emosi itu telah sampai di puncak kepalaku, mengintrusi pengendalian diri. Ia memeras pundi-pundi kesabaranku sampai tak berisi.

“Seandainya aku bisa bersaksi”

***

Jika bisa bersaksi, pasti senyum telah melintang di wajahku, kala satu telinga menyerap celotehan anak-anak menanggapi sang guru PAUD berdongeng dengan ekspresif dan ceria. Si Kancil dan Buaya, judul dongengnya.

“Setelah berhasil lolos dari kejaran Anjing piaraan Pak Tani, si Kancil tiba di tepi sungai. Sungai itu terlihat sangat, sangat dalam. Si Kancil berpikir bagaimana caranya ia bisa menyeberang.”

Ah, aku melihat jelas binar-binar berbintang di mata-mata lugu itu. Jalinan kata-kata sang guru berhasil menyeret kepala-kepala mungil itu ke adegan saat para buaya tertipu.

“Dengan lincah, dilompatinya punggung-punggung para buaya”

Beberapa anak bersorak, seolah heroisme si Kancil terpampang jelas di hadapan. Sang guru lalu melanjutkan ke bagian simpulan.

“Si Kancil memang kurus, tapi otaknya sangat cerdas.”

Ingin aku terkekeh karena geli. Sejak kapan kondisi fisik dan kecerdasan pantas untuk dijadikan kontradiksi? Setahuku, melalui pengamatan yang sering kulakukan, kondisi fisik tak bertalian dengan inteligensi. Senyumku memudar kala telingaku yang lain menjala suara derap kaki mengarah ke ruang di lain sisi. Umpatan-umpatan kasar meningkahi celotehan anak-anak yang langsung meredup dan mati.

Apa yang terjadi? Aku tak pernah tahu sampai para buaya menjelma nyata di hadapanku, dengan si Kancil terikat tali. Para buaya itu berdiri di atas dua kaki, matanya merah, dan mulutnya menggerung-gerungkan serapah.

Ketika si Kancil diseret dan diempaskan ke lantai ruangan, anak-anak dari ruang sebelah mengintip dengan raut pasi. Antisipasi bergolak di dalam kelenjarku, hingga tersekresi dalam wujud serupa ngeri. Titik-titik keringat kurasakan bersembulan di atas bibir dan dahi.

Kuperhatikan bahwa pertarungan ini tak imbang. Si Kancil sendirian dan terikat erat, sedang para buaya begitu riuh berbekal berbagai senjata, dari yang tumpul sampai tajam. Dari batu seukuran kepala, pentungan kayu, gergaji, sampai alat canggih berupa setruman. Aku tak paham, bukankah si Kancil ditakdirkan selalu lolos dari ancaman?

Bukankah si Kancil, berbekal kecerdasan, selalu berhasil menipu semua binatang? Adakah kecerdasannya mulai berkurang? Atau para buayalah yang makin banyak akal?

Otakku tercengkeram beku ketika erangan si Kancil memenuhi ruangan. Kecupan alat penyetrum merabai seluruh tubuhnya, mengejangkan otot-ototnya, dan berakhir dengan lenguh kesakitan.

Sudut mataku mengabadikan teror yang membayangi wajah-wajah yang mengintip dari luar ruangan. Tangan sang guru membekap mulut, menahan lesatan jerit ketakutan. Mungkin juga ia tak percaya bahwa si Kancil bisa terkalahkan. Ditariknya cepat-cepat anak-anak didikannya, yang beberapa sudah meraung-raung ketakutan.

Para buaya seolah tak terganggu sama sekali. Juga tak peduli, meski tahu bahwa adegan itu tak layak masuk dalam pedagogi. Apalagi dipertontonkan di depan anak-anak belia yang baru saja memuja heroisme si Kancil.

Setelah sang guru dan anak-anak PAUD itu berlari pergi, tinggal aku sendiri sebagai saksi. Kediaman nyaris membuatku transparan.

Tubuh kurus si Kancil menggelepar, mengejang, lalu terdiam. Lalu mengejang lagi ketika tersentuh setruman. Salah satu buaya mengumpat kesal saat mendapati mata si Kancil masih menantang nyalang. Lalu, tanpa sadar kutahan napas ketika untuk pertama kalinya kudengar si Kancil berbicara, suaranya bak gesekan mata celurit di muka aspal jalan.

“Heh, Boyo-boyo, aku gak wedi mbok pateni!” (*Hai, Buaya-buaya, aku tidak takut kamu bunuh!)

Selarik kalimat itu telah menyetrum saraf kesabaran para buaya. Salah satu dari mereka melompat, lalu menendang, menggampar sisi-sisi tubuhnya dengan cakar. Buaya lain menimpali, “Menengo cangkemmu!” (*Tutup mulutmu!), sembari menukik di atas leher si Kancil.

Sengatan pilu merobek-robek kelindan udara yang terjalit rumit melingkupi seisi ruangan. Gigi-gigi cakar si buaya menggores leher si Kancil, meninggalkan jejak nyeri di sekujur penglihatanku, yang terbenam pada tetesan darah yang mulai menginjak lantai. Cakarnya merobek kulit, lalu menyentuh pembuluh darah si Kancil sembari mengirimkan sinyal-sinyal pedih.

Sekali lagi, si Kancil meraung. Kudengar, ada segaris kesesakan napas yang tersendat dalam raungan itu.

Ajaib, mata si Kancil masih terbuka dan memercikkan sekilas pandangan berbau anyir padaku. Tungkainya menendang-nendang, seolah mengumumkan bahwa ia masih melakukan perlawanan. Meski napasnya bagai sehelai tali rafia yang helai-helainya telah rantas, ia tetap berjuang. Si Buaya terlihat gemas karena si Kancil tak mati jua. Dengan daging leher setengah menganga, tubuh si Kancil diseret ke luar ruangan.

Di lantai, tilas darah membekas. Tertancap dalam di sudut-sudut benak.

***

Saya mengerang, tapi tak mungkin terdengar. Berpasang ban raksasa truk nyaris tiada jeda menginjak saya, hingga remuk tulang-tulang. Pola bannya menggores-gores sekujur tubuh saya, sebelum pola ban truk lain meningkahinya dengan yang baru.

Bibir abu-abu saya tak bisa lagi tersenyum seperti sedia kala. Tak lagi, sejak cakar backhoe menikam sudut bibir saya hingga lebam, robek, dan bernanah. Tak berhenti di situ. Cakarnya mulai mencuili bibir sedikit demi sedikit, hingga saya tak berbibir lagi. Saya tak kuat membayangkan betapa menjijikkannya wajah saya!

Hari berikutnya, backhoe yang dikemudikan buaya itu kembali lagi. Kini cakarnya mengincar perut saya. Saya tak bisa lari, saya tak bisa sembunyi. Tubuh saya terpapar seluruhnya, seolah mengundang untuk digagahi. Ketika cakar itu mulai mengerat kulit perut saya, beberapa truk telah datang mengantri. Saya tahu, mereka menanti diberi asupan timbunan jeroan perut saya.

Saya mengerang, tapi tak ada suara menjelma. Cakar itu mengenai organ dalam tubuh saya, lalu mengeruk seluruhnya dalam sekali libas. Air yang sedari tadi saya tahan, akhirnya terbit di sudut-sudut mata.

Cakar itu membayang di atas saya, lalu melayang turun lagi. Sisa-sisa perut saya dikeruknya, demi mengenyangkan bak truk terbuka. Mual berbual di pangkal tenggorokan. Akhirnya muntahan tersembur dari perut saya yang terbuka. Belakangan, ketika truk-truk dan backhoe itu telah pergi, si Kancil mendapati perut dan mulut saya telah tergenang oleh air laut.

Belakangan, genangan air di lubang-lubang pada tubuh saya itu makin meluas. Lubang-lubangnya makin banyak, dan air laut mencium batas sawah. Belakangan, si Kancil datang dan mendapati padi-padinya telah membusuk terkena limpasan muntahan.

Satu-satunya sumber nafkah si Kancil kocar-kacir. Belakangan, sawah si Kancil tersingkir, digantikan tempat parkir.

Wahai, siapa peduli akan wajah saya yang telah rusak?

Lalu, belakangan, sahabat si Kancil juga mendapati wajah saya sudah terlalu bopeng untuk bisa menjadi sandaran perahunya. Ia tak bisa lagi melaut untuk mencari ikan, seperti biasa.

Wahai, siapa peduli akan lubang-lubang di tubuh saya?

***

Berbulan-bulan kemudian, bagian-bagian tubuh saya telah tercerai-berai oleh rongga-rongga berisi air. Mata saya, untunglah masih bisa melihat sekeliling, menangkap sepasukan manusia yang dipimpin si Kancil, mendatangi gerombolan buaya yang tengah mengeruk sisa-sisa tubuh saya, seperti biasa. Selembar spanduk besar diangkat tinggi-tinggi, bertuliskan “Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-awar menolak penambangan pasir ilegal”.

Harapan mulai terbit di benak saya. Mungkin mereka bisa menghentikan deruman mesin backhoe dan langkah-langkah truk yang setiap hari melindas tubuh saya. Tak kuasa saya menahan mencuatnya angan-angan, bahwa wajah saya akan bisa kembali secantik dulu. Bahwa tubuh saya akan bisa utuh seperti sebelumnya.

Seorang lelaki yang tak muda lagi, dengan kumis hitam melintang di atas bibir, berjalan mendekati si Kancil. Rupanya seperti tokoh Pak Raden dalam acara televisi Si Unyil, menurut saya. Para buaya, anak buahnya, meninggalkan pekerjaan mereka dan mengikuti langkah Pak Raden dengan ekor bergoyang-goyang.

“Ono opo iki, rame-rame?” (*Ada apa ini, ramai-ramai?) ujar Pak Raden, dengan suara berat yang dibuat-buat agar terdengar berwibawa.

“Tambang pasir ilegal iki wis ngrusak sawah warga Selok! Nelayan-nelayan yo podo gak iso nggolek iwak, mergo aktivitas Panjenengan lan boyo-boyo kuwi!” (*Tambang pasir ilegal ini sudah merusak sawah warga Selok! Nelayan-nelayan juga tidak bisa mencari ikan, karena aktivitasmu dan para buaya itu!) tuntut si Kancil, yang memang terkenal paling vokal.

“Kami menuntut agar penambangan ini dihentikan!” sambung yang lain.

“Tidakkah Panjenengan sadar, Watu Pecak wis rusak!”

Pak Raden terkekeh arogan. “Hei, bukankah sudah kubilang, bahwa ini adalah proyek wisata Pantai Watu Pecak? Ini demi kesejahteraan kalian semua!”

Jika bisa, pasti saya sudah menebaskan tangan ke wajah Pak Raden. Proyek wisata seharusnya memperindah, bukan malah merusak tubuh saya! Saya tak akan lupa akan apa yang telah saya lihat di hari-hari sebelumnya. Para buaya itu menyetorkan uang pada Pak Raden setiap kembali dari membawa truk berisi penuh dengan jeroan, daging, dan tulang saya.

Kata-kata isapan jempol Pak Raden ditanggapi dengan hujatan-hujatan dari pasukan si Kancil. Saat itulah, salah satu buaya maju sambil mengacungkan sebilah celurit, yang entah dari mana asalnya.

“Balik, ambil celuritmu, Kancil!” tantangnya pongah.

Si Kancil bergeming. Rautnya mengeras. “Saya tidak hendak main kekerasan, Buaya! Kekerasan hanya dilakukan oleh mereka yang berpikiran sempit dan picik.”

Dari arah belakang pasukan si Kancil, dua orang manusia berseragam datang dan melerai. Untuk sementara, pertarungan ditangguhkan. Saya mencibir nyinyir. Setelah si Kancil dan kawan-kawannya pergi, dua orang manusia berseragam itu menerima setumpuk uang dari Pak Raden sambil tersenyum lebar. Lebar sekali, melebihi lebarnya bibir saya sebelum direnggut oleh backhoe itu.

***

Selama dua minggu kemudian, truk-truk dan backhoe beroperasi seperti biasa. Kecemasan saya bergejolak, hingga menerbangkan jutaan debu dari yang awalnya melekat di sekujur tubuh saya.

Bagaimana kelanjutan perlawanan si Kancil? Mengapa para buaya tetap leluasa mengganyang potongan-potongan tubuh saya?

Hari itu, segerombolan debu kembali ke pelukan saya, dari berkelana ke penjuru desa.

“Di tengah jalan, si Kancil tertelungkup, mati,” bisik mereka.

Tubuh saya mengejang, debu-debu makin berempasan.

Mereka melanjutkan, “Pohon-pohon menjadi saksi, betapa tubuh si Kancil dirajam sepanjang jalan.”

“Pun si Dinding ruang Balai Desa menceritakan betapa si Kancil sangat kuat, bertahan hingga penghabisan,” lanjut mereka.

Wahai, Debu, saya ingin ikut berjuang sampai penghabisan seperti si Kancil. Namun, apa yang bisa saya lakukan? Saya hanyalah pasir abu-abu berbijih besi yang dulu indah menghampar di sepanjang tepi Pantai Watu Pecak. Dulu, dulu sekali.

 

Cerpen dibuat oleh:

Frida Kurniawati, Associate Campaigner WeSpeakUp.org

Lihat artikel lainnya

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram