Lahir dan besar di Kampung Malaka, Menggamat, Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh Selatan, membuat Irvandi begitu karib dengan suara aliran air Sungai Menggamat dan semua yang melekat padanya. Ingatannya selalu kembali pada masa bermain ketika kecil, di mana setiap dahaga datang, maka Irvan dan kawan-kawannya akan melubangi tanah di pinggir sungai dengan tangan kosong, untuk mendapatkan air bersih yang siap minum tanpa dimasak dulu.
Selain air yang jernih, Sungai Menggamat juga melimpahi orang yang hidup di sekitar alirannya dengan ikan kerling. "Dulu ibaratnya orang dianggap belum sampai ke Menggamat kalau belum makan ikan kerling," kenang Irvandi tentang keberadaan dan kebanggaan orang akan ikan kerling di sana.
Ikan khas Sungai Menggamat ini menjadi salah satu ciri khas kampungnya. Sungai Menggamat juga penuh kenangan akan ayahnya yang sering mengajak memancing ketika Irwan masih anak hingga beranjak remaja.
Sayangnya semua kenangan indahnya tentang sungai yang mengalir di sepanjang kampungnya perlahan menghilang terbawa arus dan berubah menjadi sebuah pemandangan yang sama sekali berbeda. Sungai Menggamat menjadi keruh dan dangkal, ikan kerling pun menyingkir entah ke mana.
Tambang Datang Ikan Menghilang
Masyarakat yang hidup di Desa Menggamat mengalami sendiri perubahan alam dari waktu ke waktu. Sayangnya perubahan itu bukan menuju ke arah yang lebih baik, melainkan sebaliknya. Sungai Menggamat yang dulu menjadi sumber kehidupan dengan limpahan air bersihnya, perlahan-lahan airnya berubah menjadi semakin keruh dan kotor. Debit air juga jauh lebih menurun dibanding sepuluh tahun sebelumnya.
Ada banyak tambang yang beroperasi di Menggamat. Pinang Sejati Utama (PT. PSU) yang menambang bijih besi, sekarang dia berganti nama menjadi Koperasi Serba Usaha (KSU) Tiga Manggis, Beri Mineral Utama (BMU) yang izinnya melakukan penambangan bijih besi tetapi di lapangan melakukan penambangan emas, dan masih ada beberapa nama perusahaan tambang lain.
Maraknya praktik penambangan ini yang sedang menjadi perhatian utama Irvandi dan kawan-kawannya dari Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH). Perusahaan-perusahaan yang umumnya mulai beroperasi di tahun 2009 ini, sudah ditolak warga karena aktivitas tambangnya melewati perkampungan dan menyebabkan pencemaran. Namun demikian, penambang-penambang lain bergantian datang.
Perusahaan sudah menghentikan aktivitas tambangnya dua tahun kemudian, yaitu di tahun 2011. Protes warga ini berawal dari kekesalan mereka karena pekerja tambang yang tidak menghargai warga kampung. Kendaraan berat bukan hanya merusak jalanan dan menyebabkan polusi, tapi juga kerap kali melindas hewan peliharaan warga. Selain itu, operasional tambang yang 24 jam tanpa henti, sangat mengganggu waktu istirahat warga.
Irvan menjadi saksi maraknya demo di saat dia masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Orang tuanya mengizinkan dia untuk ikut memperjuangkan hak warga ketika itu. Dengan pemahaman yang minim tentang kenapa orang berteriak-teriak di dalam demo, Irvandi menikmati saja perannya sebagai anak muda penuh semangat yang ikut berteriak-teriak. Dia baru paham tentang apa yang terjadi di Menggamat setelah kuliah.
Jurusan Pendidikan Kimia yang diambilnya di bangku kuliah membuat dia belajar banyak hal terkait zat-zat kimia yang mungkin merusak alam. Sementara ilmu-ilmu pelestarian lain dia mendapat banyak pengaruh dari Bang Sutrisno, seorang tokoh muda Kluet Tengah. Bang Sutrisno selalu konsen dalam menyuarakan penolakan tambang yang ada di wilayah tersebut dan memberikan penjelasan rinci mengapa penambangan harus ditolak.
Keterlibatan Irvan dengan para aktivis di P2LH membuatnya semakin kuat hati berada di jalan perlawanan ini. Aksi tolak tambang adalah yang paling sering digaungkan di komunitasnya saat ini.
Patah Kayuh di Tanah Menggamat
Patah kayuh adalah istilah yang kerap digunakan di Aceh untuk menggambarkan perahu yang kehilangan dayung atau pengayuhnya. Menurut Irvan dan kawan-kawannya, jika diibaratkan sebagai perahu, maka Menggamat ini sudah kehilangan kayuh. Tanah yang dulu subur makmur, menjanjikan kesejahteraan untuk orang yang tinggal di dalamnya, sekarang tidak lagi demikian keadaannya.
Kemukiman Menggamat adalah wilayah yang cukup luas, terdiri dari 13 desa yang terbagi ke dua mukim. Menggamat dapat dikelilingi bukit-bukit yang berada di kaki Gunung Leuser. Masyarakatnya selain dikenal sebagai orang-orang yang sangat hormat pada adat istiadat dan hidup rukun berdampingan dengan alam.
"Masyarakat di Menggamat itu menerapkan aturan yang ketat tentang lingkungan, terutama penangkapan ikan." Irvandi menceritakan bagaimana masyarakat menjaga budaya di kampungnya. "Orang yang kedapatan meracun ikan, maka mereka akan didenda membayar satu ekor kambing. Begitu juga dengan menjaring ikan. Dulu orang berseloroh, menjaring dan meracun ikan itu sangat rugi, belum tentu ikan satu ember didapatkan, tapi sudah pasti kehilangan satu ekor kambing yang harganya jelas lebih mahal," imbuhnya.
Aturan tersebut masih berlaku hingga sekarang. Hukum adat menerapkan hal tersebut untuk memastikan bahwa tidak ada yang semena-mena menangkap ikan, terutama ikan-ikan kecil yang bisa tertangkap jala atau mati keracunan, karena masih bisa berkembang dan bertelur lagi. Namun ironisnya, hukum adat yang sama tidak dapat diberlakukan pada perusahaan yang menambang di sepanjang aliran sungai tersebut.
Meskipun bentuknya bukan jala dan racun ikan seperti yang telah diatur oleh hukum adat, tetapi racun-racun yang digunakan untuk keperluan tambang jelas membunuh ikan bahkan sampai ke yang kecil sekalipun. Belum lagi kenyataan bahwa seluruh aliran sungai akan rusak. Irvan menceritakan bahwa masa kecil di mana dia dan teman-temannya bisa minum langsung dari air tanah yang ada di pinggir sungai, akan hanya tinggal cerita.
Selain taat adat, para petani Menggamat dulu dikenal tekun dan hidup makmur dari hasil pertanian. Sayangnya kondisi itu berubah. Selain makin sempitnya lahan pertanian, hasil-hasil bumi seperti padi nilai jualnya kerap menurun. Sementara itu makin banyak masyarakat yang tergoda untuk melakukan penambangan liar karena hasil yang lebih menggiurkan, tanpa memperhatikan dampak terhadap lingkungan.
Kerusakan lingkungan yang terjadi makin hari semakin buruk. Banjir di beberapa wilayah, adalah hal baru yang di masa Irvan kecil tidak pernah dialaminya. Yang lebih sedih adalah ketika kerinduan untuk berenang di sungai tidak pernah bisa terobati lagi. Dulu kedalaman paling pendek Sungai Menggamat adalah setinggi lutut orang dewasa, dan kedalaman paling dalam adalah sekitar dua meter, sekarang ini bahkan anak kecil berdiri di air sungai itu, tidak akan tergenang mata kakinya, demikian orang-orang kampungnya mengistilahkan. Dengan kondisi tersebut, tentu saja ikan kerling tidak akan bisa hidup.
Inilah yang kemudian diibaratkan oleh Irvan dan kawan-kawan di P2LH sebagai patah kayuhnya Menggamat. Perahu yang patah kayuhnya tentu akan sulit bergerak maju. Masih baik jika dia hanya berhenti di tempat atau berhasil menepi. Bagaimana jika akhirnya karam? Ini yang paling ditakutkan oleh mereka. Menggamat yang sekarat karena perbuatan para penambang yang merusak lingkungan.
Patah Kayuh Karena Pengkhianatan Panglima Tibang
Permasalahan yang dihadapi oleh Menggamat ini seperti tidak ada akhirnya. Masyarakat, seperti halnya di banyak tempat lain yang sedang mengalami konflik lingkungan melawan korporasi, selalu berada di posisi yang paling tidak menguntungkan. Perusahaan sangat licik dengan menggunakan orang-orang yang di masa lalu sangat disegani masyarakat, membayar mereka untuk menjadi backing guna mengamankan operasional tambang. Demikian pula dengan penyelenggara negara dan aparat. Mereka hampir selalu berpihak pada pengusaha.
Masyarakat menyebut orang-orang yang tidak berpihak pada rakyat dan lingkungan ini, yang hanya mementingkan urusan perut mereka sendiri sebagai Panglima Tibang. Di dalam sejarah perlawanan Aceh terhadap Belanda, seorang Panglima bernama Muhammad Tibang yang dipercaya melakukan negosiasi dengan Belanda justru berbalik melawan Aceh. Sebutan ini rasanya yang paling tepat untuk digunakan sebagai julukan bagi para pengkhianat bangsa ini.
Kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan dan orang-orang yang berada di belakangnya sudah sangat jelas. Tanah bekas galian PT. BMU pernah dibuang ke badan sungai hingga air keruh berwarna coklat, akan tetapi ketika petugas dari Dinas ESDM melakukan pengecekan dengan mengambil sampel air, mereka tidak mengatakan apa pun tentang kondisi air tersebut. Sementara warga sudah mengupayakan aturan adat dengan memberlakukan denda bagi peracun dan penjala ikan, ini perusak yang lebih besar, yang bukan hanya mematikan sekelompok ikan, tetapi meracuni seluruh aliran sungai, justru dibiarkan.
Irvandi yang memiliki latar belakang pendidikan kimia tentu saja tidak tinggal diam. Bersama dengan teman-temannya dari P2LH mengambil sampel air permukaan di tiga titik Sungai Menggamat dan melakukan pengujian lingkungan. Rupanya seperti yang telah dikhawatirkan oleh warga selama ini, air sungai tersebut telah tercemar sianida dan merkuri dalam kadar yang berbeda-beda. Di salah satu titik tersebut ada yang kadar merkurinya bahkan telah tujuh kali lipat melebihi baku mutu.
Para Panglima Tibang ini telah terang-terangan mengkhianati kepercayaan rakyat. Masyarakat ditempatkan pada posisi sulit. Di satu sisi orang-orang tersebut adalah perwakilan negara yang seharusnya hadir membela mereka, tetapi justru menjadi pelaku utamanya, karena jika dikatakan bahwa mereka adalah oknum, maka terlalu banyak yang menjadi oknumnya.
Sementara terkait para backing yang bukan dari penyelenggara negara, masyarakat juga serba tidak nyaman. Bagaimanapun orang-orang ini pada umumnya adalah orang yang dituakan, orang yang dianggap berjasa di dalam sejarah perjuangan di Aceh. Mereka semua memiliki rasa segan pada orang-orang tersebut. Sulit tentunya untuk secara terbuka melawan mereka. Tetapi jika diam saja, maka masyarakat tahu bahwa mereka akan tenggelam di air penuh racun, bahkan mungkin perlahan-lahan mati karena menyantap segala sesuatu yang tumbuh di tanah yang juga sudah penuh racun.
Krue Seumangat untuk Bumi Aceh
Saat ini Irvandi dan P2LH harus bergerak dengan penuh kehati-hatian. Pada salah satu demo yang mereka lakukan, beberapa kawan sempat ditangkap dan nyaris dikriminalisasi. Pejuang lain harus menghindari hal tersebut terjadi. Karena kehadiran setiap pejuang lingkungan sangat berarti. Mereka tidak mau ada yang sampai dipenjara untuk kesalahan yang tidak dilakukan. Perjuangan masih sangat panjang. Upaya menyelamatkan lingkungan harus terus dilakukan, tetapi cara-cara cerdas harus menjadi pilihan utamanya.
Bersama kawan-kawannya di P2LH, Irvandi sedang mengupayakan perjuangan lingkungan dengan berbagai cara, baik jalur hukum, maupun melalui cara-cara ilmiah, yaitu serangkaian penelitian. Bujukan berupa 20 mayam untuk para pejuang agar membungkam mulut, sudah mereka tolak mentah-mentah. Apa artinya puluhan bahkan ratusan juta saat ini, jika Menggamat dan Aceh tidak bisa ditempati lagi. Lagi pula, menjadi Panglima Tibang adalah aib dan dosa besar yang akan mereka hindari.
Irvandi dan kawan-kawannya tidak ingin perampasan atas ruang hidup yang bersih terjadi di tanah kelahiran mereka. Mereka tidak akan membiarkan penjajah yang dibantu Panglima Tibang kembali memenangkan Aceh seperti dulu. Kali ini masyarakat Aceh harus memenangkan kembali wilayahnya agar tetap terpelihara bersih dan tidak tercemar. Hak hidup sehat itulah yang menjadi semangat Irvandi dan kawan-kawannya untuk terus berjuang. Ibarat perahu, Menggamat harus terus melaju.
Tentang Penulis:
Dian Purnomo adalah seorang penulis dan periset yang memiliki perhatian khusus pada isu-isu sosial dan lingkungan. Klik untuk melihat profil lengkap Dian Purnomo.