"Saya Adam, orang pertama di bumi," demikian Fachrul Adam seringkali memperkenalkan diri pada acara yang dihadirinya, membuat semua orang tersenyum, lalu disusulnya dengan tertawa, "Bukan, saya bukan nabi," lalu baru memperkenalkan nama yang sesungguhnya dan apa yang sedang dikerjakannya. Banyak senyum dan penuh dengan ide-ide segar, itulah kesan yang tertangkap setelah beberapa waktu berinteraksi dengannya.
Orang berdarah Minang dilahirkan untuk menjadi pedagang, demikian banyak orang berpendapat. Rasanya memang tidak terlalu meleset pendapat itu. Demikian pula dengan Adam yang terlahir bersuku Minang. Bedanya, dia tidak hanya menjadi pebisnis yang sukses di usia muda, tetapi juga pejuang lingkungan yang cukup bijak dan militan.
Adam, Sang Pengusaha
Adam kecil lahir di Payakumbuh tahun 1997. Dari tempatnya tinggal, Gunung Sago adalah pemandangan keseharian di depan rumah. Tapi sekalipun Adam tidak pernah mendakinya. Selain Gunung Sago, Payakumbuh juga menawarkan banyak air terjun dan alam yang bersih indah.
Kebanyakan orang dewasa di kotanya bekerja sebagai petani dan pengusaha, pengusaha telur ayam yang paling banyak ditemui. Sayur-sayur dari wilayahnya juga terkenal segar dan dipasok ke banyak daerah lain di Sumatera Barat. Bagi Adam, Payakumbuh adalah sumber ketenangannya. Bahkan bencana yang berseliweran terjadi di negara ini, sepertinya enggan singgah di kota kecil itu.
Sayangnya, bencana pertama justru datang dari dalam rumah Adam sendiri. Usianya masih enam tahun ketika orang tuanya berpisah. Kelima anak yang ditinggalkan ayahnya ini, hidup bersama sang Ibu. Pengalaman melihat Ibu yang begitu mandiri, menumbuhkan semangat yang sama pada anak-anaknya. Adam dan saudara-saudaranya sudah mulai belajar berdagang sejak masih duduk di bangku sekolah.
Tahun 2015 Adam diterima kuliah di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Jurusan Agroteknologi. Jurusan ini dipilihnya karena kecintaannya pada bunga dan tanaman. Tetapi di kampus tersebut, dia justru sibuk berdagang. Dari mulai jualan makanan online, tiket seminar, bahkan sampai peralatan elektronik. Selain mengembangkan bisnis, Adam juga lebih banyak menghabiskan waktunya untuk beraktivitas di kelompok mahasiswa pecinta alam kampus.
Tahun berikutnya, karena tertarik mengembangkan bisnis, juga agar punya lebih banyak waktu bersantai – menurutnya kuliah manajemen itu mudah – dan melihat pangsa pasar yang lebih besar, Adam mengikuti tes masuk Universitas Riau, jurusan manajemen. Dan diterima. Sembari menjalani kuliah, dari satu bisnis ke bisnis yang lain terus ditekuninya.
Hingga saat ini Adam sudah memiliki berbagai cabang usaha, salah satunya adalah rental kendaraan untuk berbagai kepentingan. Dari mulai mobil biasa sampai mobil setara minibus disewakannya. Di usia yang terbilang masih sangat muda, Adam bisa dengan bangga mengatakan bahwa dia sudah tidak merepotkan ibunya lagi dalam hal kebutuhan finansial, sejak duduk di bangku kuliah.
Namun sayangnya, semua keuntungan yang didapatkannya itu masih membuatnya merasa ada yang kurang. Maka di Humendala (Hubungan Mahasiswa Ekonomi Dengan Alam) sebuah kelompok pecinta alam mahasiswa FEB UNRI, dia mencoba mengisi kekosongan itu.
Gelas Kosong
Mendaki gunung pada awalnya bukanlah kegiatan yang disukai Adam - dia bahkan tidak tertarik mendaki Gunung Sago yang setiap hari dilihatnya di depan rumah, tempatnya dilahirkan. Tetapi setelah bergabung di Humendala, dia merasa bahwa ada banyak hal yang dia dapatkan di perkumpulan tersebut. "Mendaki gunung itu rasanya bukan sekedar olahraga saja, tetapi ada persaudaraan di dalamnya," papar Adam sembari menerawang, mengingat perjalanan-perjalan pendakiannya.
Dari mendaki gunung, anak ke-4 dari lima bersaudara ini kemudian merambah ke dunia kerelawanan. Tahun 2018 dia banyak berkegiatan dengan Jikalahari, salah satunya bekerja sama dengan WWF, dalam program Peatland, lalu gabung di beberapa kegiatan seperti Earth Hour, water saring, canal blocking, dan kegiatan-kegiatan lain.
Dari stempel sebagai mahasiswa yang pengusaha, perlahan-lahan dosen dan kawan-kawannya lebih mengenal Adam sebagai aktivis. Jika ada masalah, demo, dan sebagainya, yang pertama dicari oleh dosen-dosen adalah Adam.
Dengan energinya yang berlebih, Adam sudah mulai bekerja sebelum kuliahnya tuntas. Dia bekerja di Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Riau. Sayangnya, setelah waktu yang dilaluinya di BPN Riau, dia merasa bahwa menjadi aparatur sipil negara bukanlah panggilan jiwanya.
Maka berpindahlah dia ke dunia LSM. Tahun 2018 – 2021 dia bergabung dengan Jikalahari sebagai Dewan Pertimbangan Kode Etik. Setelah itu, Adam bergabung di perkumpulan Elang, di Badan Otonom Elang, lalu Badan Eksekutif Perkumpulan sebagai community organizer.
Perkumpulan Elang adalah LSM di Riau yang awalnya bekerja untuk menangani isu sumber daya air. Perkumpulan Elang bekerja bersama kelompok masyarakat lain untuk menyebarkan informasi dan membangun kesadaran penyelamatan lingkungan serta memengaruhi perubahan kebijakan di tingkat lokal dan nasional.
Di Perkumpulan Elang, Adam sering melakukan pendampingan ke desa-desa. Selama pendampingan tersebut dia mendengarkan apa yang disampaikan warga, keluhan-keluhan mereka, bertukar pengalaman, keahlian, dan banyak hal lagi. Di sini Adam mulai merasa bahwa mungkin inilah yang dicarinya selama ini.
Perkumpulan Elang melakukan intervensi di dua lanskap yaitu Semenanjung Kampar dan Kerumutan. Dua lanskap ini meliputi empat kabupaten, yaitu Siak, Pelalawan, Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir, dengan dua taman nasional di dalamnya, yaitu Taman Nasional Kerumutan dan Zamrud. Dengan semakin seringnya berdiskusi dengan warga, melakukan advokasi, sosialisasi, pendampingan, Adam merasa semakin dekat dengan alam dan gelasnya yang kosong mulai terisi.
"Ngobrol sama masyarakat di desa itu yang rupanya selama ini aku butuhkan. Dari mendampingi warga, sering kali bukan mereka yang dapat sesuatu, tapi kami yang malah belajar lebih banyak," Adam memaparkan mengapa dia merasa kekosongannya mulai terisi, dengan mengerjakan kerja-kerja pendampingan.
Dari mendampingi beberapa kampung ini juga, Adam semakin menyadari bahwa kondisi alam di sekitarnya sedang tidak baik-baik saja. Bahkan dalam kondisi terancam sesungguhnya.
Alam Lestari, Gelas Terisi
Taman Nasional Zamrud dan Kerumutan dalam kondisi tidak baik-baik saja, demikian salah satu hal yang dapat disimpulkan oleh Adam selama proses pendampingannya ke masyarakat. Saat ini hutan alam yang tersisa hanya tinggal 900 ribu hektar, selebihnya sudah rusak. Di Indragiri Hilir sendiri, ribuan hektar pohon kelapa terendam dan mati. Jebolnya tanggul yang menyebabkan air menggenang dan merendam pohon kelapa tersebut.
Sementara itu hutan-hutan di taman nasional ini sudah dikelilingi oleh perusahaan-perusahaan kertas dan sawit. Jika mereka sampai merangsek dan menghabisi pohon-pohon yang ada, maka selesai dan hilang sudah solusi iklim untuk Riau.
Gerakan yang saat ini dilakukan adalah mencegah agar tidak ada lagi perusahaan yang masuk dan merusak hutan. Areal hutan yang masih tersisa harus dijaga. Sayangnya, seperti lagu lama di semua wilayah yang harus berhadapan dengan perusahaan yang didukung oleh penguasa, maka proses ini tidak pernah mudah.
Pertentangan antara warga dan perusahaan yang didukung oleh penguasa sering kali terjadi. Masyarakat berada di posisi yang paling dirugikan dan terdampak karena kerusakan lingkungan akibat ulah perusahaan.
Melihat proses tersebut, Elang mencoba terlibat lebih dalam dengan mendampingi dua desa yang berkonflik dengan PT. Asia Pulp and Paper (APP) sejak 1998. Demo besar-besaran, upaya menghadang alat besar perusahaan, semua dilakukan masyarakat demi menyelamatkan tanah mereka. Namun titik temu tidak kunjung didapatkan.
Setelah berbagai diskusi panjang dilakukan untuk menggali potensi kemitraan antara perusahaan dan masyarakat dilakukan dengan difasilitasi oleh Elang, maka mulai terbuka jalan tengah. Saat ini masyarakat telah memegang izin kemitraan kehutanan dengan luasan 1.130 hektar. Ini adalah kemitraan pertama dengan konsesi. Sekitar 350 hektar dipakai untuk zona lindung dan wisata. Ada Danau Nagasakti dan peternakan sapi terintegrasi yang dibangun di sana.
Desa Dayun telah didampingi oleh Elang sejak terdampak kebakaran besar di tahun 2014-2015, serta ketika terdampak asap di tahun 2018. Elang memfasilitasi dengan membangun demplot, untuk mempertahankan gambut tetap basah, membuat kanal bloking supaya tinggi muka air tetap membasahi gambut. Hasilnya, sekitar 2 hektar demplot dibangun di lokasi penyangga Taman Nasional Zamrud.
Belajar dari kerusakan yang terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo, dimana 75% areanya sudah digunakan untuk perkebunan kelapa sawit, maka Elang bersama warga desa berupaya sekuat tenaga agar hal tersebut tidak sampai terjadi.
Saat ini Elang sedang mendampingi warga di zona penyangga TN Zamrud yang berada di lanskap Semenanjung Kampar untuk menyelamatkan wilayah tersebut dengan menghidupkan Perhutanan Sosial (PS). Kampung Rawa Mekar Jaya adalah salah satunya. Kampung tersebut merupakan salah satu akses lewat sungai yang bisa masuk ke TN Zamrud.
Awalnya Elang mengusulkan 2.108 hektar, tetapi yang disetujui dan mendapatkan SK hanya 983 hektar, dengan skema hutan kemasyarakatan.
Perhutanan Sosial ini adalah skema yang saat ini memungkinkan masyarakat lebih mandiri dan mendukung upaya pelestarian lingkungan. Skema ini juga memungkinkan masyarakat dapat memiliki hak atas pengelolaan hutan. Di wilayah tersebut rencananya akan bertanam sagu, untuk mendukung perekonomian rakyat. Sagu tumbuh dengan baik di Siak.
Belajar Tanpa Akhir
Ada kepuasan tersendiri yang tidak dapat dikonversi dalam bentuk uang ketika bekerja bersama masyarakat, demikian yang dirasakan Adam. Ada kesenangan karena bisa membantu orang menyelesaikan masalah, sembari belajar hal baru. Hal yang paling berkesan ketika berinteraksi langsung dengan masyarakat adalah karena setiap wilayah memiliki tantangan yang berbeda.
Kampung Rawa Mekar Jaya misalnya, sejak awal tantangan yang harus dihadapi adalah fisik. Untuk sampai ke kampung tersebut, harus ditempuh dengan sampan selama 2-3 jam.
Lalu berhadapan dengan masyarakat yang selama ini memiliki pemikiran bahwa hanya sawit saja yang dapat membawa keuntungan ekonomi yang mereka butuhkan, menjadi lebih terbuka terhadap alternatif lain, adalah tantangan berikutnya.
Belum lagi ketika mulai mengajak diskusi para petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang kemudian bersama-sama menjalankan PS di satu wilayah, juga tidak mudah. Para petani yang terbiasa bekerja secara individu, ketika diajak untuk bekerja bersama, memikirkan keberhasilan bersama, juga perlu waktu.
Dari proses yang dilaluinya bersama Elang, Adam menemukan bahwa di dalam kerja-kerja pengorganisiran maka membuka diri bahwa semua orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah, dan setiap buku adalah ilmu, sangat penting.
"Kita belajar dari masyarakat, sama-sama belajar. Kita mulai dari apa yang mereka mau dan butuhkan, bukan apa yang Elang mau," kata Adam merefleksikan pembelajaran yang diperolehnya selama ini.
"Tanpa masyarakat ini kita bukan siapa-siapa," kata Adam, "jadi ketika ada kesalahpahaman, kita terima saja dulu. Luruskan kembali, dan bekerja lagi esok hari." Demikian paparnya di akhir obrolan, yang menunjukkan bahwa gelas kosongnya memang sudah terisi.
Tentang Penulis:
Dian Purnomo adalah seorang penulis dan periset yang memiliki perhatian khusus pada isu-isu sosial dan lingkungan. Klik untuk melihat profil lengkap Dian Purnomo.