Roni Otpah terlahir sebagai anak laki-laki pertama yang sangat dinantikan oleh keluarga. Sebagai wujud syukur, Sang Ayah bernazar akan mempersembahkan anak ini di jalan Tuhan. Nazar ini terus dipegang oleh sang ayah dan semua orang di lingkungan terdekat keluarganya mengetahui hal tersebut. Banyak yang berpikir dan berharap bahwa Roni kelak akan menjadi tokoh agama, tapi ternyata...
Tumbuh besar di lingkungan yang penuh kasih sayang, ketika akhirnya menyelesaikan SMA, Roni memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tingginya di jurusan teologi, tepat seperti nazar sayang ayah. Akan tetapi Roni melakukan hal ini bukan karena nazar.
Pilihan ini diambilnya dengan kesadaran penuh. Dia melihat bahwa hidupnya diliputi oleh terlalu banyak privilese. Tinggal di Kota Kupang dikelilingi kawan dari berbagai latar belakang, dia merasa sangat diberkati Tuhan.
Ayahnya seorang PNS, ibu seorang guru. Keluarga besarnya sangat mendukung setiap langkah yang diambil Roni. Maka dia merasa harus meneruskan dan mengembalikan semua kebaikan Tuhan pada makhluk lain.
Dua tahun pertama masa kuliahnya dihabiskan di dalam asrama. Disiplin, komitmen, kejujuran, dan ketekunan dipelajarinya di sini.
“Kami seperti hidup di rumah kaca. Semua orang bisa melihat apa yang kami lakukan,” kata Roni memberikan perumpamaan hidupnya di asrama.
Terbiasa dengan kondisi ini, membuat Roni benar-benar menjalani hidup dengan hati-hati, karena prinsip hidupnya, memang tidak ada hal yang akan dilewatkan oleh Tuhan. Hidup tidak cukup hanya berani, tetapi kita harus selalu berhati-hati, demikian prinsip hidupnya.
Children See Children Do
Tahun 2019 Roni pertama kali memasuki dunia kerelawanan. Setelah bergabung di beberapa kegiatan kerelawanan seperti menjadi pengajar anak, remaja dan taruna di gereja, Roni memutuskan untuk membentuk komunitasnya sendiri yaitu Children See Children Do (CSCD). Komunitas ini bergerak di bidang pendidikan bahasa Inggris gratis untuk anak dari mulai TK sampai SMP di Kupang.
Semua pengajarnya murni relawan. Hal ini berangkat dari keprihatinan Roni melihat ketertinggalan anak-anak di Kupang dalam mata pelajaran Bahasa Inggris. Roni sendiri mengaku tidak terlalu mahir berbahasa Inggris. Justru karena itulah dia tidak ingin adik-adik lain yang bergabung dalam CSCD mengalaminya.
“Beta sendiri juga tidak terlalu mahir berbahasa Inggris, tapi beta bisa mengelola dan mengumpulkan mereka yang lebih ahli, supaya mengajarkan ke adik-adik,” paparnya. Semangat ini yang ingin Roni tawarkan ke kawan-kawan relawan mudanya.
Keterbatasan seharusnya tidak menghentikan kita untuk berkarya. Tidak mahir berbahasa Inggris bukan hambatan, karena dia mampu menggerakkan dan mengelola orang lain yang mampu berbahasa Inggris untuk mengajar ke adik-adik yang memerlukannya.
Saat ini CSCD telah memiliki 31 orang siswa aktif dan jumlah ini akan terus bertambah. Berangkat dari les gratis, CSCD perlahan-lahan mulai memberikan peningkatan kapasitas di bidang lain. Seni berbicara di depan publik adalah salah satunya, kemudian beranjak ke isu kesehatan, lingkungan, kekerasan terhadap anak, dan berbagai kegiatan lain.
Klik untuk melihat kegiatan CSCD lainnya
Dana untuk menjalankan kegiatan di CSCD murni didapatkan dari usaha kreatif para relawannya. Berjual suvenir, menjadi reseller bekerja sama dengan UMKM lain, termasuk diantaranya melakukan penggalangan dana dengan menjual baju preloved.
Lama untukmu, Baru untukku
Lama belajar di kelas-kelas teologi, mengajarkan Roni tentang hidup sederhana. Selama ini menurutnya manusia terlalu banyak memiliki hal-hal lebih dari yang dibutuhkan. Orang hidup dengan ambisi-ambisi kepemilikan melebihi kebutuhan. Para biksu dan biksuni adalah contoh kesederhanaan yang sering kali dicontohkan oleh para dosennya di bangku kuliah. Mereka memakai pakaian serupa seumur hidup dan tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Biksu dan biksuni juga makan makanan seadanya. Hal-hal tersebut terpatri di benak Roni dan menjadi kompas hidupnya.
Roni mulai memperhatikan bagaimana orang memiliki kecenderungan berbelanja bukan yang dibutuhkan, tetapi diinginkan. Tidak ada yang salah ketika kondisi bumi ini sudah seimbang, tidak ada lagi orang yang membeli kebutuhan pokok saja tidak sanggup. Tidak adil saja rasanya kalau kita hidup berlebihan, sementara di sekeliling kita masih ada yang berkekurangan.
Suatu hari Roni dan kawan-kawannya pernah melakukan aksi di Pantai Nunsui di Kupang dan di sana dia melihat ada begitu banyak baju bekas berserakan di sepanjang pasirnya. Pemandangan tersebut menyayat hatinya. Alangkah ironis, sementara masih banyak orang yang berjuang untuk bisa memakai pakaian yang layak, tetapi sebaliknya, ada orang-orang yang berkelebihan dan mencampakkan begitu saja pakaian yang sudah tidak terpakai. Bahkan mungkin di dalam lemari-lemari pakaian mereka juga ada puluhan bahkan ratusan tumpukan pakaian yang tidak terpakai.
Kenangan akan serakan sampah tekstil di pantai tersebut memicu Roni untuk memulai kampanye pengurangan sampah pakaiannya. Program pertama yang dilakukan Roni adalah membuat proyek tukar pakaian. Lama dan baru adalah perspektif saja menurutnya. Hal-hal yang kita sebut lama mungkin karena kita terlalu sering melihatnya berada disekitar kita. Benda-benda lama bisa saja menjadi baru bagi orang lain yang belum pernah melihat dan memakainya. Bahkan bisa jadi seseorang menginginkan benda yang kita anggap lama dan akan dicampakkan.
Batukar Baju Natal adalah salah satu programnya di tahun 2023. Di Kupang yang mayoritas dihuni oleh masyarakat beragama Kristen dan Katolik, daya belanja pakaian menjelang Natal memang terbilang tinggi. Orang berbondong-bondong ke toko pakaian, mencari baju baru untuk dipakai di hari Natal. Kebiasaan menjelang Natal ini yang oleh Roni diincarnya sebagai awal gerakan perubahan. Selain dapat menghemat pengeluaran, bertukar pakaian juga membantu menyelamatkan lingkungan, menurut Roni.
Batukar Baju Natal ini dilakukan di Kupang untuk mengajak masyarakat mengurangi pembelian baju baru dan memilih untuk menukar baju mereka dengan orang lain. Tujuan program ini adalah untuk menghindari penumpukan baju yang mungkin hanya akan dipakai oleh seseorang satu kali setahun. Limbah tekstil ini akan menjadi masalah yang serius untuk kota Kupang, menurut Roni.
Selain itu, kegiatan lain yang dilakukan oleh Roni dan kawan-kawannya adalah Bongkar Pasang. Relawan di CSCD dan masyarakat diajak untuk menyumbangkan pakaian pantas pakai. Pakaian tersebut, kemudian disortir oleh tim dan dijual di salah satu pasar lokal di Kupang. Uang sebesar kurang lebih dua juta rupiah yang diperoleh dari kegiatan tersebut sepenuhnya digunakan untuk membiayai operasional CSCD.
Jangan sampai ketinggalan event Bongkar Pasang selanjutnya, klik akun Kampanye #BongkarPasang
Bergerak Bersama Wujudkan Cita
Meskipun mendapatkan dukungan penuh dari keluarganya, tetapi Roni sadar bahwa gerakannya akan sangat lambat jika dilakukan sendirian. Maka perlahan-lahan dia merekrut kawan-kawan terdekatnya untuk ikut bergabung. Berawal dari halaman rumah ayahnya, Roni dan kawan-kawan bergerak mencari titik-titik lain untuk membuka kegiatan ‘batukar pakaian’ dan donasi pakaian preloved.
Saat ini, berkembang dari membuka lapak baju preloved sebagai ruang untuk mencari dana agar dapat mendanai kegiatan di CSCD, Roni juga mulai menggunakan titik-titik kegiatannya sebagai perpustakaan terbuka. Setiap kali beracara di manapun, mereka membawa buku yang bisa diakses secara gratis oleh siapapun.
Salah satu mimpi penggemar berat Theresia Rumte dan Felix Nesi ini adalah memiliki pendanaan yang lebih ajeg agar bisa membuka sekolah non formal seperti Sekolah Salam di Yogyakarta. Laki-laki yang memang senang berkegiatan sosial sejak kecil ini ingin membuat sekolah dengan kurikulum merdeka yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak di NTT, khususnya Kupang.
Tentang Penulis:
Dian Purnomo adalah seorang penulis dan periset yang memiliki perhatian khusus pada isu-isu sosial dan lingkungan. Klik untuk melihat profil lengkap Dian Purnomo.
Kehilangan sesuatu yang bermakna dalam hidup kita selalu terasa menyakitkan. Tapi kehilangan juga mempertemukan kita pada hal baru. Meski kadang butuh waktu lama untuk menyadari dan menikmatinya. Cerita ini adalah tentang Farida Dwi yang lebih karib disapa Wiwi, seorang perempuan asal Banjarnegara, pemilik Lady Farmer Coffee.
Lady Farmer Coffee tak cuma dibuat untuk memproduksi kopi yang enak. Tapi juga memberdayakan petani kopi perempuan. Mereka dibatasi ruang belajar untuk mengolah kopi dengan baik, dipersulit ketika mencari pupuk, yang membuat kopinya tidak tumbuh dengan baik sehingga biji kopinya dibeli dengan harga murah.
Kejadian serupa juga terjadi di banyak negara penghasil kopi lain di dunia. Ketidakadilan gender bahkan sampai di ruang-ruang pertanian kopi.
Wiwi berharap Lady Farmer Coffee yang mengedepankan keramahan lingkungan, memberikan harapan pada petani kopi perempuan di Banjarnegara, bisa punya ruang belajar lebih luas, mengembangkan bisnis di industri kopi, dan mampu bersaing dengan pengusaha kopi lainnya.
Cerita Wiwi mungkin juga cerita kita semua, yang sedang berusaha tidak terjatuh ketika sedang kehilangan, tapi justru membidas dan terbang lebih tinggi lagi.
Mereka yang Hilang
Kehilangan adalah hal yang paling ditakuti Wiwi. Dia takut kehilangan orang-orang tersayang yang memiliki pengaruh besar dalam hidupnya. Mereka adalah Ibu, Nenek, dan Pacarnya. Sayangnya dari daftar orang-orang tersebut, saat ini hanya satu yang Wiwi masih bisa sentuh dan peluk.
Neneknya meninggal karena kanker hati di awal tahun 2020. Bagi Wiwi, Uti, begitu dia biasa memanggil sang nenek, adalah orang terdekat dalam hidupnya. Dia yang mengenalkan Wiwi pada dunia kecil yang kaya di desanya. Memetik kopi, memancing, berkebun, berdagang, semua adalah pelajaran berharga yang diajarkan Uti padanya.
Dengan semua pelajaran dari Uti, Wiwi kecil sudah memiliki tekad bulan menjadi petani. Sang Nenek dengan cara yang sederhana dan menyenangkan membuat bertani tampak seperti sesuatu yang agung dan indah.
Uti juga yang mengenalkannya pada suara tonggeret yang terdengar seperti alarm menjelang kemarau. Sekarang suara tonggeret sudah tidak didengarnya lagi di kampungnya. Keheningan ini terasa menakutkan buat Wiwi.
Teriakan tonggeret yang nyaring adalah kawan masa kecilnya. Ingatannya yang indah tentang kampungnya, berisi suara tonggeret di dalam daftar keindahan tersebut. Entah karena mereka lelah berteriak, atau tonggeret sendiri bingung kenapa kemarau begitu lama dan musim hujan hanya singgah sesaat saja, sehingga dia memutuskan untuk diam, takut salah memberi informasi.
Bersama Uti, Wiwi kecil menghabiskan banyak waktu menyusuri kebun di belakang rumahnya tanpa membawa bekal apapun. Alam menyediakan minum air bersih yang rasanya manis dari sebuah mata air di kampungnya. Konon menurut Wiwi, bahkan rasanya lebih manis dari air mineral yang mengaku ada manis-manisnya.
Singkong di kebunnya juga paling istimewa. Ketika baru dicabut, lemparkan saja ke nyala api, maka sesaat aroma nikmat singkong bakar akan segera menggoda hidung dan mengirimkan sinyal lapar ke perut. Air manis dan singkong legit itu, sekarang juga hilang.
Air dari mata air itu bahkan sudah tak ada yang berani meminumnya karena warga desa tahu mungkin tanah dimana air tersebut berasal sudah tercemar pestisida, sementara singkong, entah bagaimana menjelaskannya, tapi rasanya tak selegit ketika dia masih kanak-kanak dulu.
Belum selesai mengobati kehilangannya akan Uti, Wiwi kembali harus kehilangan sang kekasih. Pandemi Covid-19 merenggut pacarnya, delapan bulan menjelang pernikahan mereka. Rencana pernikahan selamanya akan terus menjadi rencana.
Hanya tinggal ibunya sekarang, yang tinggal agak jauh dari rumahnya.
Menghadapi kehilangan demi kehilangan tersebut, Wiwi menjadi lebih sensitif menggunakan inderanya untuk mengendus hal-hal yang selama ini terlewat begitu saja darinya. Setelah menyelesaikan kuliah dan kembali ke kampung halamannya di dusun Karangkobar, Banjarnegara.
Di desanya, Wiwi menyadari bahwa ada lebih banyak yang hilang dibanding yang dia pikirkan selama ini.
Kelekatannya dengan kopi membuat Wiwi bisa membedakan rasa kopi yang dulu dan sekarang. Kopi yang ada di dalam memori masa kecilnya begitu nikmat dan gurih. Tapi kopi yang sekarang dijual rasanya tidak sama. Karena berasal dari biji kopi terus menerus dipaksa berbuah demi memenuhi standar angka pencapaian panen. Bukan rasa.
Yang Hilang dan Datang
Cerita-cerita tentang kehilangan sering kali juga berarti cerita tentang hal baru yang datang dalam hidup kita. Sayangnya hal-hal baru tidak selalu lebih baik atau bahkan setidaknya menggantikan yang lama seperti sebelumnya. Itu yang Wiwi lihat belakangan ini terjadi di kampungnya.
Sepanjang ingatan Wiwi, dia mengingat kalau di masa kecilnya ada orang-orang tua hanya mengeluhkan penyakit pinggang karena kebanyakan bekerja di kebun. Atau sakit dada karena rokok tak putus di tangan. Tapi sekarang ini, penyakit-penyakit yang dulu dianggap sebagai penyakit orang kota, penyakit orang kaya, penyakit yang jauh dari jangkauan, perlahan mendekat memasuki rumah-rumah di kampungnya.
Seseorang terkena asam urat, kolesterol, tumor, hingga kanker, mulai menjadi berita yang jamak didengar. Termasuk nenek Wiwi sendiri. Semua penyakit tersebut masuk dalam klasifikasi penyakit tidak menular, artinya tidak ada yang bisa disalahkan karena telah menularkan.
Tetapi kebiasaan yang berubah, gaya hidup yang berbeda, pola makan, serta asupan yang masuk ke dalam perut lah yang kemudian oleh Wiwi dari bacaan yang diperolehnya, disangkakan menjadi penyebab penyakit yang berdatangan tersebut.
Wiwi tentu masih harus menjalani serangkaian penelitian yang lebih mendalam jika ingin menuduh pestisida atau racun-racun lain yang digunakan di dunia pertanian di kampungnya sebagai penyebab utama atau bahkan satu-satunya. Dan tuduhan-tuduhan kecil tersebut menimbulkan ketakutan pada hal-hal yang dulu tidak pernah terlintas di benaknya.
Dulu Wiwi kecil makan sayur dengan lahap. Tetapi setelah melalui sepetak luas kebun kol yang sedang disemprot pestisida untuk menghilangkan hama pengganggu, Wiwi kehilangan selera makan atas kol dan sayur lain. Bukan hanya kehilangan, dia bahkan takut makan sayur. Rasa kopi yang berubah pun, Wiwi beranggapan bahwa ada kontribusi pestisida di dalamnya.
Yang Hilang Berganti
Meratapi kehilangan adalah sesuatu yang tidak dilakukan oleh Wiwi. Kesedihannya menjadi energi yang membuatnya terus berkarya. Dia tidak tahu apakah tonggeret suatu saat akan nyaring berbunyi lagi di desanya, apakah air dari mata air yang manis itu akan kembali manis, singkong menjadi legit kembali, dia tidak tahu.
Yang dia tahu pasti, jika hanya diam, meratap, dan tidak melakukan apapun, maka akan semakin banyak kehilangan yang akan ditemuinya. Dengan keyakinan tersebut, Wiwi memutuskan memulai perjuangannya.
Ijazah sarjana hukum yang dimilikinya menjadi bekal yang mungkin suatu saat akan digunakan. Tetapi yang pasti dia akan gunakan saat ini adalah kecintaannya pada kampungnya, kerinduan pada alam yang bersih lestari, segala yang indah, baik, dan enak, semua yang dikenalkannya oleh Uti, dan pengetahuannya yang masih terbatas soal pertanian.
Bersama sepupunya, tempat dia mencurahkan segala perasaan, Wiwi memulai dari pekarangan rumahnya sendiri. Kopi adalah tanaman pertama yang digarapnya.
Wiwi menyadari bahwa menjadi petani bukan hal mudah. Kehidupan pertanian sering kali berlabuh dan bersandar pada hal-hal di luar kuasa manusia. Musim dan cuaca adalah diantaranya. Musim yang berubah, hujan dan panas yang tidak bisa diterka kapan datangnya, menjadi tantangan utama bertani saat ini.
Pada masyarakat yang cenderung melihat keberhasilan dari materi, tekanan lain menghimpitnya kiri kanan. "Mana hasilmu?" tanya orang-orang ketika tak kunjung melihat adanya perubahan pada rumah Wiwi.
Di desa sudah menjadi kebiasaan jika setelah panen petani akan membeli sesuatu seperti kendaraan, atau peralatan rumah tangga mewah lain, untuk menjadi kenang-kenangan keberhasilan musim panen tersebut. Sedangkan Wiwi memang tidak berorientasi ke arah sana. Maka kemudian dipertanyakan lah keberhasilannya.
Sempat Wiwi menyerah. Berbekal uang saku yang dia pikir cukup untuk tinggal beberapa hari di ibukota, Wiwi merantau mencari pekerjaan. Tetapi tiga malam menginap di bilangan Blok M, Jakarta, kepalanya pusing luar biasa. Melihat kendaraan lalu lalang menghamburkan karbon ke udara, dia merasa jeri.
Belum lagi ketika uang saku yang dipikirnya cukup, rupanya sangat tak bermakna di Jakarta, karena semua harga berkali-kali lipat lebih mahal dari yang diperkirakannya, membuat dia harus pulang lebih cepat. Kali ini Wiwi pulang dengan keyakinan untuk menjadi petani yang berhasil dengan tetap mempraktikkan cara-cara baik yang tidak mengotori alam.
Salah satu kenangan yang ditinggalkan oleh Uti adalah tentang bagaimana sang nenek selalu menggunakan kotoran sapi dan kambing sebagai pupuk. Rabuk, demikian Uti menyebutnya.
Bahkan di kala itu pun Uti sudah mengatakan, kalau sebetulnya alam sudah menyediakan semua yang dibutuhkan manusia. Memakai pupuk kimia mungkin memang dapat mengusir hama lebih cepat, tetapi di saat yang sama, dia menyongsong kematian manusia dengan lebih cepat.
Pernah Wiwi merasa sangat putus asa. Ketika dengan susah payah upayanya merabuk tanaman dengan kotoran hewan kemudian berbuah kesia-siaan. Hama tetangga yang diusir dengan pupuk kimia, tentu saja menganggap kotoran hewan sebagai hal yang sepele. Maka ke kebun Wiwi lah mereka semua berlari.
Hasil panennya gagal. Buah bit yang ditanamnya dimakan tikus, bunga kopinya rusak, dan daun-daun juga dimakan ulat.
Pengalaman tersebut membuat Wiwi mencoba mendekati petani lain, berusaha meyakinkan mereka untuk mengikuti upaya yang dilakukannya. Karena bekerja sendiri saja, tentu sangat berat di tengah kepungan petani yang memakai zat kimia.
Sebetulnya di masa kecil Wiwi, ketika Utinya sering mengajak berjalan keliling kampung, dia ingat hampir semua orang menggunakan pupuk dari kotoran hewan. Ingatan masa lalu itu yang Wiwi sedang coba bangkitkan kembali di kampungnya.
Langkahnya tidak pernah mudah. Tetapi memang tidak ada yang menjanjikan kemudahan bagi mereka yang memulai perubahan. Tapi Wiwi tidak mudah menyerah.
Dia “merayu” petani lain dengan membuat konten-konten berkebun. Cara menanam sayuran rumahan seperti pokcoy, labu botol, bunga telang, buah beet, lobak, dan sebagainya. Dia juga membuat konten cara membuat makanan yang aneh-aneh seperti selai bunga mawar, untuk membuat orang tertarik pada apa yang dikerjakannya.
Wiwi yakin perlahan-lahan orang akan melihat perbedaan Satu hal yang dia yakini, dia berada di jalan yang benar. Lady Farmer Coffee yang menjadi brand miliknya dan sepupunya, akan membuktikan hal tersebut. Perjuangan Wiwi, telah dilirik oleh beberapa media yang mendukungnya. Klik untuk melihat produk Lady Farmer Coffee. Saat ini Wiwi sangat berharap perlahan-lahan petani di sekitar dusunnya yang kembali ke cara-cara alami untuk merawat tanaman.
Kerusakan alam yang terjadi, berpengaruh besar pada berubahnya rasa makanan, minuman yang dinikmati manusia. Alam tidak pernah tidur. Dia mengembalikan apa yang manusia berikan padanya. Maka memberikan yang terbaik bagi alam, sebetulnya sama seperti memberikan kebaikan untuk diri kita sendiri.
Tentang Penulis:
Dian Purnomo adalah seorang penulis dan periset yang memiliki perhatian khusus pada isu-isu sosial dan lingkungan. Klik untuk melihat profil lengkap Dian Purnomo.