"Saya Adam, orang pertama di bumi," demikian Fachrul Adam seringkali memperkenalkan diri pada acara yang dihadirinya, membuat semua orang tersenyum, lalu disusulnya dengan tertawa, "Bukan, saya bukan nabi," lalu baru memperkenalkan nama yang sesungguhnya dan apa yang sedang dikerjakannya. Banyak senyum dan penuh dengan ide-ide segar, itulah kesan yang tertangkap setelah beberapa waktu berinteraksi dengannya.

Orang berdarah Minang dilahirkan untuk menjadi pedagang, demikian banyak orang berpendapat. Rasanya memang tidak terlalu meleset pendapat itu. Demikian pula dengan Adam yang terlahir bersuku Minang. Bedanya, dia tidak hanya menjadi pebisnis yang sukses di usia muda, tetapi juga pejuang lingkungan yang cukup bijak dan militan.

 

Adam, Sang Pengusaha

Adam kecil lahir di Payakumbuh tahun 1997. Dari tempatnya tinggal, Gunung Sago adalah pemandangan keseharian di depan rumah. Tapi sekalipun Adam tidak pernah mendakinya. Selain Gunung Sago, Payakumbuh juga menawarkan banyak air terjun dan alam yang bersih indah.

Kebanyakan orang dewasa di kotanya bekerja sebagai petani dan pengusaha, pengusaha telur ayam yang paling banyak ditemui. Sayur-sayur dari wilayahnya juga terkenal segar dan dipasok ke banyak daerah lain di Sumatera Barat. Bagi Adam, Payakumbuh adalah sumber ketenangannya. Bahkan bencana yang berseliweran terjadi di negara ini, sepertinya enggan singgah di kota kecil itu.

Sayangnya, bencana pertama justru datang dari dalam rumah Adam sendiri. Usianya masih enam tahun ketika orang tuanya berpisah. Kelima anak yang ditinggalkan ayahnya ini, hidup bersama sang Ibu. Pengalaman melihat Ibu yang begitu mandiri, menumbuhkan semangat yang sama pada anak-anaknya. Adam dan saudara-saudaranya sudah mulai belajar berdagang sejak masih duduk di bangku sekolah.

Tahun 2015 Adam diterima kuliah di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Jurusan Agroteknologi. Jurusan ini dipilihnya karena kecintaannya pada bunga dan tanaman. Tetapi di kampus tersebut, dia justru sibuk berdagang. Dari mulai jualan makanan online, tiket seminar, bahkan sampai peralatan elektronik. Selain mengembangkan bisnis, Adam juga lebih banyak menghabiskan waktunya untuk beraktivitas di kelompok mahasiswa pecinta alam kampus.

 

Tahun berikutnya, karena tertarik mengembangkan bisnis, juga agar punya lebih banyak waktu bersantai – menurutnya kuliah manajemen itu mudah – dan melihat pangsa pasar yang lebih besar, Adam mengikuti tes masuk Universitas Riau, jurusan manajemen. Dan diterima. Sembari menjalani kuliah, dari satu bisnis ke bisnis yang lain terus ditekuninya.

Hingga saat ini Adam sudah memiliki berbagai cabang usaha, salah satunya adalah rental kendaraan untuk berbagai kepentingan. Dari mulai mobil biasa sampai mobil setara minibus disewakannya. Di usia yang terbilang masih sangat muda, Adam bisa dengan bangga mengatakan bahwa dia sudah tidak merepotkan ibunya lagi dalam hal kebutuhan finansial, sejak duduk di bangku kuliah.

Namun sayangnya, semua keuntungan yang didapatkannya itu masih membuatnya merasa ada yang kurang. Maka di Humendala (Hubungan Mahasiswa Ekonomi Dengan Alam) sebuah kelompok pecinta alam mahasiswa FEB UNRI, dia mencoba mengisi kekosongan itu.

 

Gelas Kosong

Mendaki gunung pada awalnya bukanlah kegiatan yang disukai Adam - dia bahkan tidak tertarik mendaki Gunung Sago yang setiap hari dilihatnya di depan rumah, tempatnya dilahirkan. Tetapi setelah bergabung di Humendala, dia merasa bahwa ada banyak hal yang dia dapatkan di perkumpulan tersebut. "Mendaki gunung itu rasanya bukan sekedar olahraga saja, tetapi ada persaudaraan di dalamnya," papar Adam sembari menerawang, mengingat perjalanan-perjalan pendakiannya.

Dari mendaki gunung, anak ke-4 dari lima bersaudara ini kemudian merambah ke dunia kerelawanan. Tahun 2018 dia banyak berkegiatan dengan Jikalahari, salah satunya bekerja sama dengan WWF, dalam program Peatland, lalu gabung di beberapa kegiatan seperti Earth Hour, water saring, canal blocking, dan kegiatan-kegiatan lain.

Dari stempel sebagai mahasiswa yang pengusaha, perlahan-lahan dosen dan kawan-kawannya lebih mengenal Adam sebagai aktivis. Jika ada masalah, demo, dan sebagainya, yang pertama dicari oleh dosen-dosen adalah Adam.

Dengan energinya yang berlebih, Adam sudah mulai bekerja sebelum kuliahnya tuntas. Dia bekerja di Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Riau. Sayangnya, setelah waktu yang dilaluinya di BPN Riau, dia merasa bahwa menjadi aparatur sipil negara bukanlah panggilan jiwanya.

Maka berpindahlah dia ke dunia LSM. Tahun 2018 – 2021 dia bergabung dengan Jikalahari sebagai Dewan Pertimbangan Kode Etik. Setelah itu, Adam bergabung di perkumpulan Elang, di Badan Otonom Elang, lalu Badan Eksekutif Perkumpulan sebagai community organizer.

 

Perkumpulan Elang adalah LSM di Riau yang awalnya bekerja untuk menangani isu sumber daya air. Perkumpulan Elang bekerja bersama kelompok masyarakat lain untuk menyebarkan informasi dan membangun kesadaran penyelamatan lingkungan serta memengaruhi perubahan kebijakan di tingkat lokal dan nasional.

Di Perkumpulan Elang, Adam sering melakukan pendampingan ke desa-desa. Selama pendampingan tersebut dia mendengarkan apa yang disampaikan warga, keluhan-keluhan mereka, bertukar pengalaman, keahlian, dan banyak hal lagi. Di sini Adam mulai merasa bahwa mungkin inilah yang dicarinya selama ini.

Perkumpulan Elang melakukan intervensi di dua lanskap yaitu Semenanjung Kampar dan Kerumutan. Dua lanskap ini meliputi empat kabupaten, yaitu Siak, Pelalawan, Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir, dengan dua taman nasional di dalamnya, yaitu Taman Nasional Kerumutan dan Zamrud. Dengan semakin seringnya berdiskusi dengan warga, melakukan advokasi, sosialisasi, pendampingan, Adam merasa semakin dekat dengan alam dan gelasnya yang kosong mulai terisi.

"Ngobrol sama masyarakat di desa itu yang rupanya selama ini aku butuhkan. Dari mendampingi warga, sering kali bukan mereka yang dapat sesuatu, tapi kami yang malah belajar lebih banyak," Adam memaparkan mengapa dia merasa kekosongannya mulai terisi, dengan mengerjakan kerja-kerja pendampingan.

Dari mendampingi beberapa kampung ini juga, Adam semakin menyadari bahwa kondisi alam di sekitarnya sedang tidak baik-baik saja. Bahkan dalam kondisi terancam sesungguhnya.

 

Alam Lestari, Gelas Terisi

Taman Nasional Zamrud dan Kerumutan dalam kondisi tidak baik-baik saja, demikian salah satu hal yang dapat disimpulkan oleh Adam selama proses pendampingannya ke masyarakat. Saat ini hutan alam yang tersisa hanya tinggal 900 ribu hektar, selebihnya sudah rusak. Di Indragiri Hilir sendiri, ribuan hektar pohon kelapa terendam dan mati. Jebolnya tanggul yang menyebabkan air menggenang dan merendam pohon kelapa tersebut.

Sementara itu hutan-hutan di taman nasional ini sudah dikelilingi oleh perusahaan-perusahaan kertas dan sawit. Jika mereka sampai merangsek dan menghabisi pohon-pohon yang ada, maka selesai dan hilang sudah solusi iklim untuk Riau.

Gerakan yang saat ini dilakukan adalah mencegah agar tidak ada lagi perusahaan yang masuk dan merusak hutan. Areal hutan yang masih tersisa harus dijaga. Sayangnya, seperti lagu lama di semua wilayah yang harus berhadapan dengan perusahaan yang didukung oleh penguasa, maka proses ini tidak pernah mudah.

Pertentangan antara warga dan perusahaan yang didukung oleh penguasa sering kali terjadi. Masyarakat berada di posisi yang paling dirugikan dan terdampak karena kerusakan lingkungan akibat ulah perusahaan.

Melihat proses tersebut, Elang mencoba terlibat lebih dalam dengan mendampingi dua desa yang berkonflik dengan PT. Asia Pulp and Paper (APP) sejak 1998. Demo besar-besaran, upaya menghadang alat besar perusahaan, semua dilakukan masyarakat demi menyelamatkan tanah mereka. Namun titik temu tidak kunjung didapatkan.

Setelah berbagai diskusi panjang dilakukan untuk menggali potensi kemitraan antara perusahaan dan masyarakat dilakukan dengan difasilitasi oleh Elang, maka mulai terbuka jalan tengah. Saat ini masyarakat telah memegang izin kemitraan kehutanan dengan luasan 1.130 hektar. Ini adalah kemitraan pertama dengan konsesi. Sekitar 350 hektar dipakai untuk zona lindung dan wisata. Ada Danau Nagasakti dan peternakan sapi terintegrasi yang dibangun di sana.

 

Desa Dayun telah didampingi oleh Elang sejak terdampak kebakaran besar di tahun 2014-2015, serta ketika terdampak asap di tahun 2018. Elang memfasilitasi dengan membangun demplot, untuk mempertahankan gambut tetap basah, membuat kanal bloking supaya tinggi muka air tetap membasahi gambut. Hasilnya, sekitar 2 hektar demplot dibangun di lokasi penyangga Taman Nasional Zamrud.

 

Belajar dari kerusakan yang terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo, dimana 75% areanya sudah digunakan untuk perkebunan kelapa sawit, maka Elang bersama warga desa berupaya sekuat tenaga agar hal tersebut tidak sampai terjadi.

Saat ini Elang sedang mendampingi warga di zona penyangga TN Zamrud yang berada di lanskap Semenanjung Kampar untuk menyelamatkan wilayah tersebut dengan menghidupkan Perhutanan Sosial (PS). Kampung Rawa Mekar Jaya adalah salah satunya. Kampung tersebut merupakan salah satu akses lewat sungai yang bisa masuk ke TN Zamrud.

Awalnya Elang mengusulkan 2.108 hektar, tetapi yang disetujui dan mendapatkan SK hanya 983 hektar, dengan skema hutan kemasyarakatan.

Perhutanan Sosial ini adalah skema yang saat ini memungkinkan masyarakat lebih mandiri dan mendukung upaya pelestarian lingkungan. Skema ini juga memungkinkan masyarakat dapat memiliki hak atas pengelolaan hutan. Di wilayah tersebut rencananya akan bertanam sagu, untuk mendukung perekonomian rakyat. Sagu tumbuh dengan baik di Siak.

 

Belajar Tanpa Akhir

Ada kepuasan tersendiri yang tidak dapat dikonversi dalam bentuk uang ketika bekerja bersama masyarakat, demikian yang dirasakan Adam. Ada kesenangan karena bisa membantu orang menyelesaikan masalah, sembari belajar hal baru. Hal yang paling berkesan ketika berinteraksi langsung dengan masyarakat adalah karena setiap wilayah memiliki tantangan yang berbeda.

Kampung Rawa Mekar Jaya misalnya, sejak awal tantangan yang harus dihadapi adalah fisik. Untuk sampai ke kampung tersebut, harus ditempuh dengan sampan selama 2-3 jam.

Lalu berhadapan dengan masyarakat yang selama ini memiliki pemikiran bahwa hanya sawit saja yang dapat membawa keuntungan ekonomi yang mereka butuhkan, menjadi lebih terbuka terhadap alternatif lain, adalah tantangan berikutnya.

Belum lagi ketika mulai mengajak diskusi para petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang kemudian bersama-sama menjalankan PS di satu wilayah, juga tidak mudah. Para petani yang terbiasa bekerja secara individu, ketika diajak untuk bekerja bersama, memikirkan keberhasilan bersama, juga perlu waktu.

Dari proses yang dilaluinya bersama Elang, Adam menemukan bahwa di dalam kerja-kerja pengorganisiran maka membuka diri bahwa semua orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah, dan setiap buku adalah ilmu, sangat penting.

 

"Kita belajar dari masyarakat, sama-sama belajar. Kita mulai dari apa yang mereka mau dan butuhkan, bukan apa yang Elang mau," kata Adam merefleksikan pembelajaran yang diperolehnya selama ini.

"Tanpa masyarakat ini kita bukan siapa-siapa," kata Adam, "jadi ketika ada kesalahpahaman, kita terima saja dulu. Luruskan kembali, dan bekerja lagi esok hari." Demikian paparnya di akhir obrolan, yang menunjukkan bahwa gelas kosongnya memang sudah terisi.

 

Tentang Penulis:
Dian Purnomo adalah seorang penulis dan periset yang memiliki perhatian khusus pada isu-isu sosial dan lingkungan. Klik untuk melihat profil lengkap Dian Purnomo.

Lahir dan besar di Kampung Malaka, Menggamat, Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh Selatan, membuat Irvandi begitu karib dengan suara aliran air Sungai Menggamat dan semua yang melekat padanya. Ingatannya selalu kembali pada masa bermain ketika kecil, di mana setiap dahaga datang, maka Irvan dan kawan-kawannya akan melubangi tanah di pinggir sungai dengan tangan kosong, untuk mendapatkan air bersih yang siap minum tanpa dimasak dulu.

Selain air yang jernih, Sungai Menggamat juga melimpahi orang yang hidup di sekitar alirannya dengan ikan kerling. "Dulu ibaratnya orang dianggap belum sampai ke Menggamat kalau belum makan ikan kerling," kenang Irvandi tentang keberadaan dan kebanggaan orang akan ikan kerling di sana.

Ikan khas Sungai Menggamat ini menjadi salah satu ciri khas kampungnya. Sungai Menggamat juga penuh kenangan akan ayahnya yang sering mengajak memancing ketika Irwan masih anak hingga beranjak remaja.

 

Sayangnya semua kenangan indahnya tentang sungai yang mengalir di sepanjang kampungnya perlahan menghilang terbawa arus dan berubah menjadi sebuah pemandangan yang sama sekali berbeda. Sungai Menggamat menjadi keruh dan dangkal, ikan kerling pun menyingkir entah ke mana.

 

Tambang Datang Ikan Menghilang

Masyarakat yang hidup di Desa Menggamat mengalami sendiri perubahan alam dari waktu ke waktu. Sayangnya perubahan itu bukan menuju ke arah yang lebih baik, melainkan sebaliknya. Sungai Menggamat yang dulu menjadi sumber kehidupan dengan limpahan air bersihnya, perlahan-lahan airnya berubah menjadi semakin keruh dan kotor. Debit air juga jauh lebih menurun dibanding sepuluh tahun sebelumnya.

Ada banyak tambang yang beroperasi di Menggamat. Pinang Sejati Utama (PT. PSU) yang menambang bijih besi, sekarang dia berganti nama menjadi Koperasi Serba Usaha (KSU) Tiga Manggis, Beri Mineral Utama (BMU) yang izinnya melakukan penambangan bijih besi tetapi di lapangan melakukan penambangan emas, dan masih ada beberapa nama perusahaan tambang lain.

Maraknya praktik penambangan ini yang sedang menjadi perhatian utama Irvandi dan kawan-kawannya dari Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH). Perusahaan-perusahaan yang umumnya mulai beroperasi di tahun 2009 ini, sudah ditolak warga karena aktivitas tambangnya melewati perkampungan dan menyebabkan pencemaran. Namun demikian, penambang-penambang lain bergantian datang.

Perusahaan sudah menghentikan aktivitas tambangnya dua tahun kemudian, yaitu di tahun 2011. Protes warga ini berawal dari kekesalan mereka karena pekerja tambang yang tidak menghargai warga kampung. Kendaraan berat bukan hanya merusak jalanan dan menyebabkan polusi, tapi juga kerap kali melindas hewan peliharaan warga. Selain itu, operasional tambang yang 24 jam tanpa henti, sangat mengganggu waktu istirahat warga.

Irvan menjadi saksi maraknya demo di saat dia masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Orang tuanya mengizinkan dia untuk ikut memperjuangkan hak warga ketika itu. Dengan pemahaman yang minim tentang kenapa orang berteriak-teriak di dalam demo, Irvandi menikmati saja perannya sebagai anak muda penuh semangat yang ikut berteriak-teriak. Dia baru paham tentang apa yang terjadi di Menggamat setelah kuliah.

Jurusan Pendidikan Kimia yang diambilnya di bangku kuliah membuat dia belajar banyak hal terkait zat-zat kimia yang mungkin merusak alam. Sementara ilmu-ilmu pelestarian lain dia mendapat banyak pengaruh dari Bang Sutrisno, seorang tokoh muda Kluet Tengah. Bang Sutrisno selalu konsen dalam menyuarakan penolakan tambang yang ada di wilayah tersebut dan memberikan penjelasan rinci mengapa penambangan harus ditolak.

Keterlibatan Irvan dengan para aktivis di P2LH membuatnya semakin kuat hati berada di jalan perlawanan  ini. Aksi tolak tambang adalah yang paling sering digaungkan di komunitasnya saat ini.

 

Patah Kayuh di Tanah Menggamat

Patah kayuh adalah istilah yang kerap digunakan di Aceh untuk menggambarkan perahu yang kehilangan dayung atau pengayuhnya. Menurut Irvan dan kawan-kawannya, jika diibaratkan sebagai perahu, maka Menggamat ini sudah kehilangan kayuh. Tanah yang dulu subur makmur, menjanjikan kesejahteraan untuk orang yang tinggal di dalamnya, sekarang tidak lagi demikian keadaannya.

Kemukiman Menggamat adalah wilayah yang cukup luas, terdiri dari 13 desa yang terbagi ke dua mukim. Menggamat dapat dikelilingi bukit-bukit yang berada di kaki Gunung Leuser. Masyarakatnya selain dikenal sebagai orang-orang yang sangat hormat pada adat istiadat dan hidup rukun berdampingan dengan alam.

"Masyarakat di Menggamat itu menerapkan aturan yang ketat tentang lingkungan, terutama penangkapan ikan." Irvandi menceritakan bagaimana masyarakat menjaga budaya di kampungnya. "Orang yang kedapatan meracun ikan, maka mereka akan didenda membayar satu ekor kambing. Begitu juga dengan menjaring ikan. Dulu orang berseloroh, menjaring dan meracun ikan itu sangat rugi, belum tentu ikan satu ember didapatkan, tapi sudah pasti kehilangan satu ekor kambing yang harganya jelas lebih mahal," imbuhnya.

Aturan tersebut masih berlaku hingga sekarang. Hukum adat menerapkan hal tersebut untuk memastikan bahwa tidak ada yang semena-mena menangkap ikan, terutama ikan-ikan kecil yang bisa tertangkap jala atau mati keracunan, karena masih bisa berkembang dan bertelur lagi. Namun ironisnya, hukum adat yang sama tidak dapat diberlakukan pada perusahaan yang menambang di sepanjang aliran sungai tersebut.

Meskipun bentuknya bukan jala dan racun ikan seperti yang telah diatur oleh hukum adat, tetapi racun-racun yang digunakan untuk keperluan tambang jelas membunuh ikan bahkan sampai ke yang kecil sekalipun. Belum lagi kenyataan bahwa seluruh aliran sungai akan rusak. Irvan menceritakan bahwa masa kecil di mana dia dan teman-temannya bisa minum langsung dari air tanah yang ada di pinggir sungai, akan hanya tinggal cerita.

Selain taat adat, para petani Menggamat dulu dikenal tekun dan hidup makmur dari hasil pertanian. Sayangnya kondisi itu berubah. Selain makin sempitnya lahan pertanian, hasil-hasil bumi seperti padi nilai jualnya kerap menurun. Sementara itu makin banyak masyarakat yang tergoda untuk melakukan penambangan liar karena hasil yang lebih menggiurkan, tanpa memperhatikan dampak terhadap lingkungan.

Kerusakan lingkungan yang terjadi makin hari semakin buruk. Banjir di beberapa wilayah, adalah hal baru yang di masa Irvan kecil tidak pernah dialaminya. Yang lebih sedih adalah ketika kerinduan untuk berenang di sungai tidak pernah bisa terobati lagi. Dulu kedalaman paling pendek Sungai Menggamat adalah setinggi lutut orang dewasa, dan kedalaman paling dalam adalah sekitar dua meter, sekarang ini bahkan anak kecil berdiri di air sungai itu, tidak akan tergenang mata kakinya, demikian orang-orang kampungnya mengistilahkan. Dengan kondisi tersebut, tentu saja ikan kerling tidak akan bisa hidup.

 

Inilah yang kemudian diibaratkan oleh Irvan dan kawan-kawan di P2LH sebagai patah kayuhnya Menggamat. Perahu yang patah kayuhnya tentu akan sulit bergerak maju. Masih baik jika dia hanya berhenti di tempat atau berhasil menepi. Bagaimana jika akhirnya karam? Ini yang paling ditakutkan oleh mereka. Menggamat yang sekarat karena perbuatan para penambang yang merusak lingkungan.

 

Patah Kayuh Karena Pengkhianatan Panglima Tibang

Permasalahan yang dihadapi oleh Menggamat ini seperti tidak ada akhirnya. Masyarakat, seperti halnya di banyak tempat lain yang sedang mengalami konflik lingkungan melawan korporasi, selalu berada di posisi yang paling tidak menguntungkan. Perusahaan sangat licik dengan menggunakan orang-orang yang di masa lalu sangat disegani masyarakat, membayar mereka untuk menjadi backing guna mengamankan operasional tambang. Demikian pula dengan penyelenggara negara dan aparat. Mereka hampir selalu berpihak pada pengusaha.

Masyarakat menyebut orang-orang yang tidak berpihak pada rakyat dan lingkungan ini, yang hanya mementingkan urusan perut mereka sendiri sebagai Panglima Tibang. Di dalam sejarah perlawanan Aceh terhadap Belanda, seorang Panglima bernama Muhammad Tibang yang dipercaya melakukan negosiasi dengan Belanda justru berbalik melawan Aceh. Sebutan ini rasanya yang paling tepat untuk digunakan sebagai julukan bagi para pengkhianat bangsa ini.

Kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan dan orang-orang yang berada di belakangnya sudah sangat jelas. Tanah bekas galian PT. BMU pernah dibuang ke badan sungai hingga air keruh berwarna coklat, akan tetapi ketika petugas dari Dinas ESDM melakukan pengecekan dengan mengambil sampel air, mereka tidak mengatakan apa pun tentang kondisi air tersebut. Sementara warga sudah mengupayakan aturan adat dengan memberlakukan denda bagi peracun dan penjala ikan, ini perusak yang lebih besar, yang bukan hanya mematikan sekelompok ikan, tetapi meracuni seluruh aliran sungai, justru dibiarkan.

 

Irvandi yang memiliki latar belakang pendidikan kimia tentu saja tidak tinggal diam. Bersama dengan teman-temannya dari P2LH mengambil sampel air permukaan di tiga titik Sungai Menggamat dan melakukan pengujian lingkungan. Rupanya seperti yang telah dikhawatirkan oleh warga selama ini, air sungai tersebut telah tercemar sianida dan merkuri dalam kadar yang berbeda-beda. Di salah satu titik tersebut ada yang kadar merkurinya bahkan telah tujuh kali lipat melebihi baku mutu.

Para Panglima Tibang ini telah terang-terangan mengkhianati kepercayaan rakyat. Masyarakat ditempatkan pada posisi sulit. Di satu sisi orang-orang tersebut adalah perwakilan negara yang seharusnya hadir membela mereka, tetapi justru menjadi pelaku utamanya, karena jika dikatakan bahwa mereka adalah oknum, maka terlalu banyak yang menjadi oknumnya.

Sementara terkait para backing yang bukan dari penyelenggara negara, masyarakat juga serba tidak nyaman. Bagaimanapun orang-orang ini pada umumnya adalah orang yang dituakan, orang yang dianggap berjasa di dalam sejarah perjuangan di Aceh. Mereka semua memiliki rasa segan pada orang-orang tersebut. Sulit tentunya untuk secara terbuka melawan mereka. Tetapi jika diam saja, maka masyarakat tahu bahwa mereka akan tenggelam di air penuh racun, bahkan mungkin perlahan-lahan mati karena menyantap segala sesuatu yang tumbuh di tanah yang juga sudah penuh racun.

 

Krue Seumangat untuk Bumi Aceh

 

Saat ini Irvandi dan P2LH harus bergerak dengan penuh kehati-hatian. Pada salah satu demo yang mereka lakukan, beberapa kawan sempat ditangkap dan nyaris dikriminalisasi. Pejuang lain harus menghindari hal tersebut terjadi. Karena kehadiran setiap pejuang lingkungan sangat berarti. Mereka tidak mau ada yang sampai dipenjara untuk kesalahan yang tidak dilakukan. Perjuangan masih sangat panjang. Upaya menyelamatkan lingkungan harus terus dilakukan, tetapi cara-cara cerdas harus menjadi pilihan utamanya.

Bersama kawan-kawannya di P2LH, Irvandi sedang mengupayakan perjuangan lingkungan dengan berbagai cara, baik jalur hukum, maupun melalui cara-cara ilmiah, yaitu serangkaian penelitian. Bujukan berupa 20 mayam untuk para pejuang agar membungkam mulut, sudah mereka tolak mentah-mentah. Apa artinya puluhan bahkan ratusan juta saat ini, jika Menggamat dan Aceh tidak bisa ditempati lagi. Lagi pula, menjadi Panglima Tibang adalah aib dan dosa besar yang akan mereka hindari.

Irvandi dan kawan-kawannya tidak ingin perampasan atas ruang hidup yang bersih terjadi di tanah kelahiran mereka. Mereka tidak akan membiarkan penjajah yang dibantu Panglima Tibang kembali memenangkan Aceh seperti dulu. Kali ini masyarakat Aceh harus memenangkan kembali wilayahnya agar tetap terpelihara bersih dan tidak tercemar. Hak hidup sehat itulah yang menjadi semangat Irvandi dan kawan-kawannya untuk terus berjuang. Ibarat perahu, Menggamat harus terus melaju.

 

Tentang Penulis:
Dian Purnomo adalah seorang penulis dan periset yang memiliki perhatian khusus pada isu-isu sosial dan lingkungan. Klik untuk melihat profil lengkap Dian Purnomo.

Jiwa Pejuang yang Mengalir dalam Darah

Jika ada yang mengatakan bahwa setiap manusia terlahir putih, dan keluarga adalah coretan pertama di dalamnya, maka sosok Hafijal digambar dengan sangat indah dan kuat oleh keluarga dan komunitas di mana dia tumbuh. Laki-laki yang biasa dipanggil Hapi dan telah tiga kali ganti nama di masa kecilnya ini, lahir dan besar di lingkungan keluarga pejuang. Ayah dan kakak-kakaknya adalah aktivis gerakan perlawanan dan pembebasan yang berhadap-hadapan langsung dengan negara. Cap sebagai orang-orang yang makar sering disematkan pada keluarganya. Bahkan oleh aparat rumahnya disematkan tanda silang merah menggunakan cat semprot.

Sementara itu, ibunya berjuang dengan cara berbeda. Dia memberi ruang pada seluruh keluarganya untuk memperjuangkan keadilan, sementara peran-peran sebagai pencari nafkah dan mengurus keluarga dia emban sendiri, ketika ayahnya sedang tidak ada. “Ibu sampai harus panjat-panjat pohon pala dan terkadang jadi buruh tani untuk menafkahi anak-anaknya,” kenang Hapi akan perjuangan ibunya. Sekalipun dia tidak pernah mendengar ibunya mengeluh.

Awalnya Hapi tidak melihat contoh-contoh yang diberikan keluarganya ini sebagai akar yang membentuknya menjadi seperti saat ini dan penyebab memilih jalan sunyi untuk berjuang. Dia berpikir bahwa demikianlah kehidupan menjadi mahasiswa, aktivisme adalah bagian yang tak terpisahkan darinya.

Tapi rupanya, ketika melihat sekeliling, dan tidak semua kawan menjadi aktivis, selain itu, juga tidak semua tergerak untuk menyuarakan keluhan rakyat, sementara sebagian lebih memilih menjadi aktivis event organizer, yang hanya disibukkan dengan kegiatan-kegiatan seremonial belaka. Ada juga yang menjadi aktivis karena agenda pribadi di belakangnya, untuk meraih kesuksesan karir baik di dunia politik, pemerintahan maupun swasta, maka penggemar tim sepak bola Real Madrid ini baru berpikir ulang.

Butuh waktu bagi Hapi untuk menyadari bahwa dia berbeda dan sedikit keras kepala.

“Kita tahu lah Kak, banyak anak BEM ini yang didekati oleh partai-partai, banyak kakak senior dari berbagai partai yang sepertinya mau menjadikan BEM sebagai alat untuk kaderisasi. Buat beberapa orang, hal itu dianggap biasa. Tapi aku nggak bisa, Kak. Justru ketika di BEM inilah harusnya kita punya kebebasan. Jangan justru mau diperalat sama partai,” tuturnya dengan penuh semangat.

Hapi sendiri awalnya agak terkejut dengan responnya terhadap bujukan-bujukan partai untuk menjadi kader mereka. Dia tidak tahu mengapa dia sekeras kepala itu. Sementara ada banyak kawannya yang memilih untuk mengikuti jalur kaderisasi partai, meskipun secara ideologi tidak lagi sejalan dengan semangat organisasi di awal.

Pertemuan dengan para Changemakers di Batang, Jawa Tengah, dalam sebuah acara Storytelling Camp membuat matanya terbuka untuk menyusuri perjalanan ceritanya sendiri. Sakdiyah Ma’ruf yang ketika itu memfasilitasi program, mengajak semua peserta untuk berkali-kali menengok ke dalam diri, melihat sejarah, untuk mencari tahu akar mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan saat ini. Karena Sakdiyah percaya bahwa semua hal pastilah ada penyebabnya.

Setelah melalui perenungan singkat dengan membuat sungai kehidupan, anak ke-6 dari tujuh bersaudara ini akhirnya sadar bahwa pilihan jalan hidup seperti sekarang ini, adalah karena andil besar ayah, ibu, dan kakak-kakaknya yang telah melukis di atas kertas kosongnya.

Kegiatan aktivisme yang dilakukan oleh keluarganya dengan taruhan nyawa dalam melawan Pemerintah yang memperlakukan masyarakat secara tidak adil, terus menerus memperlebar kesenjangan, membuat masyarakat tenggelam dalam kemiskinan yang cukup serius di Aceh, menimbulkan kemarahan tersebut.

Dulu Hapi berpikir bahwa hidup itu memang demikian, setiap keluarga selalu ada garis takdirnya, tanpa tahu dengan detail apa yang dilakukan oleh keluarganya. Setelah refleksinya tentang sejarah hidup yang dia lalui, penggemar Kopi Sanger ini mulai berpikir berbeda dan menemukan alasan kenapa memilih jalan gerakan ini dan sedikit sulit diajak berkompromi.

 

Aktivis Tanpa Kompromi

Hapi menempuh pendidikan tingginya di Banda Aceh. Sekitar delapan jam berkendara dari kampung kelahirannya di Aceh Barat Daya. Jauh dari rumah, ia tidak bisa meninggalkan akar di tempatnya yang baru tersebut. Di Banda Aceh Hapi aktif di berbagai kegiatan kampus, termasuk di antaranya menjadi ketua BEM FISIP di kampus, ketua paguyuban mahasiswa yang berasal dari Aceh Barat Daya, dan berbagai peran lain di kampus.

Di kegiatan-kegiatan kampus yang diikutinya, Hapi selalu merasa bahwa ketertarikan terbesarnya adalah pada upaya melawan ketidakadilan dan memperpendek kesenjangan antara si miskin dan si kaya. Persis seperti yang diperjuangkan keluarganya.

Salah seorang senior yang cukup dekat dengan Hapi pernah mengajaknya berefleksi tentang akan menjadi apa di kemudian hari. “Kenapa kau nggak mau kompromi dengan senior? Atau kalau ada abang-abang kita yang sudah jadi politisi, kenapa kau bawaannya selalu melawan?”

Hal ini pernah menjadi pemikiran Hapi. Dia merasa jika menemui politisi yang ada agenda tertentu ketika menghadapi mahasiswa, maka jiwa pemberontaknya tidak dapat diredam lagi. “Salah satu kemewahan yang dimiliki anak muda adalah idealisme dan perlawanan.” Begitu pikirnya. Kalau idealisme saja sudah tidak punya, mungkin kita perlu malu pada orang-orang tua kita yang sudah lebih dulu melakukan perlawanan.

Tantangan kemudian muncul, ketika kemewahan menyandang gelar mahasiswa itu berakhir. Begitu menyelesaikan kuliah, Hapi mulai mencari wadah perlawanan untuk melanjutkan idealisme dan cita-citanya. “Di sini aku jumpa dengan Bang Hafid. Dia dulu di MaTa, sekarang di LBH Banda Aceh,” tutur Hapi. Bang Hafid inilah yang mengarahkannya pada beberapa pilihan.

Kalau suka belajar, punya jiwa akademisi, jadilah dosen. Kalau hobi politik, tidak hitam-putih, jadilah politisi. Tapi kalau hobi membangkang masih akan diteruskan, hiduplah di LSM. Hapi memilih yang terakhir. Meskipun cita-cita menjadi pengajar tetap masih digenggamnya untuk simpanan tujuan hidup berikutnya.

Karena dia prihatin pada kondisi Aceh. Para akademisi sepertinya berada di menara sunyi yang tidak menginjak bumi. Demo besar Darurat Demokrasi tahun lalu adalah salah satu contohnya. Dengan mata kepala sendiri dia melihat kawan-kawannya menjadi korban polisi, dan para akademisi diam saja, bersembunyi di balik meja besarnya.

 

Tsunami Pengkhianatan Negara

Tahun 2020 bersamaan ketika lulus ujian skripsi, Hapi mulai mencoba menawar-nawar pemikiran. Dia memilih jurusan politik bukan tanpa sebab. Dia paling tidak suka jika harus berpikir bahwa politik adalah kotor. Meskipun semakin mempelajari dan mendalaminya, dia memang tidak menemukan kemungkinan untuk menjadi hitam-putih di dunia politik. Sementara menjadi penjilat dan penjahat, tidak pernah ada di dalam kamus hidupnya.

Di sini Hapi mencoba mencari jawaban atas apa masalah terbesar yang dia bisa berikan kontribusinya terhadap negerinya. Dari sekian banyak masalah yang muncul di bumi pertiwi ini, salah satu masalah terbesarnya justru diciptakan oleh penguasa, demikian menurut Hapi.

Selama Pemerintah tidak berkomitmen untuk merealisasikan apa yang mereka janjikan, maka selamanya rakyat akan bergolak, dan terus berada di dalam kondisi terburuk dan melakukan perlawanan.

“Cara lihatnya paling gampangnya gini. Pemerintah ini suka cek ombak. Bikin aturan lah, yang menguntungkan mereka, tetapi jelas merugikan rakyat. Kalau tidak ada perlawanan, mereka bilang, ‘oh, rakyat diam saja. Lanjutkan.’ Tapi, kalau rakyat bikin perlawanan, mereka lihat, berpotensi rusuh tidak ya, kalau tidak, lanjutkan. Tapi kalau potensi rusuh, baru hentikan. Begitu terus. Jadi Pemerintah ini tidak menganggap masyarakat, rakyat, pemilih mereka secara serius. Semua kebijakan dibuat berdasarkan pertimbangan keuntungan mereka sendiri,” terang Hapi berapi-api.

Aceh sendiri memiliki sejarah perlawanan yang lebih panjang dibanding wilayah-wilayah lain. Dan nampak sekali bahwa upaya pemerintah untuk menyelesaikannya tidak pernah serius. Hapi mengumpamakan Pemerintah ini seperti memberikan tsunami kebohongan dan pengkhianatan pada rakyat.

Otonomi daerah adalah salah satunya. Otonomi yang diberikan pada Aceh menurut Hapi layaknya imajinasi. Hanya di awal saja pemerintah seolah memberikan perhatian dan janji pada Pemerintah Daerah, tapi kemudian semua kembali ditarik ke pusat lagi. “Jadi sebetulnya pemerintah pusat sendiri yang mencari perkara,” lanjutnya.

Seandainya Pemerintah memenuhi janjinya, termasuk janji untuk memenuhi hak korban di dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan bukan justru berupaya untuk membubarkannya, rasanya rakyat akan mulai memupuk kepercayaan pada Pemerintah.

“Kondisi Aceh ini sulit. Kami masih terus dalam keadaan miskin. Kami berada di ujung negeri, pintu masuk pertahan negara, salah satunya ada di kami. Tapi lalu kami diperlakukan seperti ini. Merdeka dihalangi, dirangkul tapi tidak dipelihara, kekayaannya dieksploitasi, masyarakatnya dibiarkan miskin dan bodoh. Maka jika Pemerintah terus seperti ini, hal-hal yang terburuk seperti yang terjadi di masa lalu akan sulit untuk dibendung lagi,” tambahnya.

 

Jalan Ninja Perlawanan

Terlepas dari banyak hal yang dikeluhkan dan disesalkan oleh Hapi dan kawan-kawan mudanya di Banda Aceh, mereka menyadari bahwa mengeluh saja tidak akan menyelesaikan masalah. Perlawanan harus terus dilakukan dengan cara-cara yang tepat. Sekolah Antikorupsi adalah salah satu jalur perlawanan yang ditempuh oleh Hapi. Setelah mendapatkan materi secara daring di kelas-kelas antikorupsi, Hapi memanfaatkan paguyuban mahasiswanya sebagai kendaraan.

Di Aceh ini, ada banyak mahasiswa yang pulang ke kampung dengan mendapatkan stigma miring, sebagai generasi yang pulang dengan tangan hampa. Bahkan ada komentar yang mengatakan bahwa sebaiknya anak muda tidak usah pergi sekolah ke kota, langsung kerja saja, karena toh tidak ada bedanya dengan sebelum berangkat ke kota. Hal ini meresahkan Hapi.

Maka dia mengajak kawan-kawan dari kampungnya untuk mengisi diri dengan pengetahuan tentang anggaran desa. “Waktu itu (2021) kebetulan isu-isu korupsi Dana Desa juga sedang marak di Aceh,” paparnya. “Dengan modal pemahaman tentang penganggaran dana desa, aku berharap kawan-kawan sarjana itu menjadi lebih kritis terhadap apa yang terjadi di desanya,” imbuhnya.

Selain itu, Hapi berusaha untuk menjadi mitra diskusi bagi Wakil Ketua DPRD dari partai lokal di daerahnya. Orang tersebut secara jujur membuka diri pada anak-anak muda dari wilayahnya, mengatakan bahwa ilmu mereka memang tidak mumpuni. Mereka tidak pernah mengenyam bangku kuliah. “SH saja Abang ini. Sarjana Hutan,” kelakar mereka.

Hal-hal seperti ini yang sangat dinantikan oleh Hapi, seorang pemimpin yang baik, haruslah juga orang yang memiliki kemampuan mengakui kelemahan dan membuka diri untuk perubahan.

Beberapa diskusi sudah mereka lakukan, termasuk upaya Hapi dan kawan-kawannya untuk mengadvokasi refocusing anggaran yang tidak tepat. “Kita anak muda ini sering disepelekan, diintimidasi, dianggap tidak tahu apa-apa. Nanti kalau kita paparkan apa yang kita ketahui dan ternyata benar, sebetulnya aparat sendiri ya malu, kan?” tanya Hapi. Ini yang membulatkan keberanian dan tekadnya untuk terus melakukan perlawanan dengan berjalan beriringan dengan mereka yang terbuka pada perubahan.

Dia tahu jalan perjuangan panjang masih membentang di depan mata. Mewujudkan Aceh yang adil makmur, semakin tipisnya kesenjangan kesejahteraan antara si miskin dan di kaya, masih jauh dari jangkauan. Pemerintahan demi pemerintahan yang terus berganti seakan belum memberikan janji akan perwujudan komitmen tersebut. Ini berarti masyarakat yang dalam hal ini diwakili anak muda harus terus mengupayakannya.

“Mungkin tidak akan berhasil sekarang. Mungkin harus menunggu sampai masa saya berlalu, lalu giliran yang lebih muda lainnya. Tetapi jika kita berhenti berusaha sekarang, apalagi menyerah dan menjadi bagian yang menghancurkan komitmen perwujudan masyarakat adil makmur, maka semakin jauh kita dari Indonesia yang kita cita-citakan,” katanya.

Saat ini, Hapi tetap bersikukuh menjadi aktivis, sembari memupuk ilmu dan mungkin bersekolah lagi agar bisa menjadi akademisi. Yang jelas idealismenya tidak akan berubah, mewujudkan Indonesia dan Aceh yang adil, makmur, dan sejahtera.

 

Tentang Penulis:
Dian Purnomo adalah seorang penulis dan periset yang memiliki perhatian khusus pada isu-isu sosial dan lingkungan. Klik untuk melihat profil lengkap Dian Purnomo.

Sang Ibu Negara

Ibu negara adalah julukan yang diberikan oleh keluarga pada Stevi karena kesibukannya di luar rumah. Selain itu, Stevi juga paling sulit dibantah kalau bicara, menurut orang-orang yang suka menuduhnya sok sibuk. Padahal memang sibuk betulan.

Sejak duduk di bangku kuliah di Universitas Tadulako, dari tahun 2012, Stevi memang menghabiskan banyak waktunya untuk berorganisasi, berdiskusi, belajar filsafat, dan ikut aksi di Yayasan Tanah Merdeka. Keterlibatan Stevi di Tanah Merdeka sendiri sudah dimulai sejak SMA.

Awalnya Stevi dan kawan-kawan SMA-nya sering nongkrong di kantor yayasan tersebut karena wi-fi yang cepat dan tak terbatas. Dari sana lah perlahan-lahan mereka dilibatkan dalam berbagai aktivitas, termasuk aksi bagi-bagi bunga ke ibu pedagang pasar, turun ke komunitas, ikut beberapa aksi yang pernah berakhir keos, dan berbagai kegiatan lain.

Keterlibatannya sebagai relawan ketika menangani konflik, membuat mata Stevi menjadi lebih terbuka. Salah satu wilayah yang pertama didatanginya adalah di Morowali Utara. Waktu itu masyarakat sedang berkonflik terkait lahan sawit. Menghadapi satu konflik lahan ke konflik berikutnya, membuat Stevi semakin memantapkan langkahnya membersamai perjuangan masyarakat mempertahankan tanah dan ruang hidup mereka.

Julukan sebagai Ibu Negara di rumah semakin lengkap pula sekarang, setelah resmi menjadi staf Yayasan Tanah Merdeka. Saat ini Stevi lebih banyak tinggal di Kabupaten Morowali Utara, yang harus ditempuh selama 12 jam berkendara dari Palu. Sebulan 1-2 kali Stevi melintasi jarak tersebut, untuk berkoordinasi dengan kantor Yayasan Tanah Merdeka di Kota Palu.

 

Perempuan Desa Towara dan Kerusakan Lingkungan

Desa Towara terletak di Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Di desa ini satu-satunya sumber mata air adalah dari Sungai Putemata. Desa Towara terletak sedikit lebih rendah dari sungai tersebut. Sayangnya, sungai tersebut saat ini sudah tidak lagi dapat diandalkan sebagai sumber air bersih bagi warga.

Beberapa perusahaan penambangan nikel tumpang tindih izinnya beroperasi di desa tersebut. Mereka menambang di wilayah desa yang letaknya lebih tinggi dari Sungai Putemata. Mereka adalah PT Bumanik dan PT Keinz Ventura. Dua perusahaan ini menjadi penyedia ore nikel di Proyek Strategis Negara Stardust Estate Investment (PSN PT. SEI).

Sampai hari ini AMDAL dari PT Bumanik belum pernah diperlihatkan ke masyarakat. Sementara kedua perusahaan ini baru menunjukkan setelah warga melakukan aksi. Itupun masyarakat tidak pernah mendapat sosialisasi ketika proses pembuatan AMDAL dilakukan.

Perusahaan-perusahaan ini sendiri sebetulnya sudah masuk sejak tahun 2014 dan melakukan pengeboran sebagai langkah awal dalam eksplorasi pertambangan nikel. PT Keinz Ventura resmi memulai operasi tahun 2021, tetapi warga pada saat itu tidak melakukan protes karena masih sangat awam soal pertambangan dan dampak buruknya. Selain itu, dengan embel-embel proyek pemerintah, maka masyarakat dibuat jadi harus tunduk, karena kalau melawan, berarti dianggap melawan Pemerintah.

Masyarakat terpaksa menjual lahan, sementara tidak sedikit yang tanahnya dirampas begitu saja karena tidak berdaya melakukan perlawanan.

Lima tahun berlalu sejak PT. SEI beroperasi, dampak buruknya sudah sangat menyengsarakan masyarakat terutama perempuan.

Dengan tercemarnya sumber mata air, masyarakat terpaksa membeli air untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya. Ibu Nurliani salah satunya. Dia pernah bercerita kalau terpaksa membeli air per tandon seharga 80 ribu sepanjang tahun 2023 sampai sekarang. Air satu tandon itu hanya bisa dipakai paling lama dua hari. Bu Nurliani tidak sendiri, banyak perempuan lain juga melakukan hal yang sama.

Pada saat kondisi Sungai Putemata masih baik, para perempuan biasanya mendapat penghasilan tambahan dari menjual kerang meti di sungai, tapi sekarang sudah tidak bisa lagi. Kerang meti yang tersisa, jika dibuka sudah lapuk isinya. Tidak bisa dikonsumsi lagi.

Kerja-kerja produktif lain pada umumnya juga membutuhkan air bersih, seperti membuat kue, nasi kuning dan minuman dingin, para perempuan juga tidak bisa lagi melakukannya. Sementara itu perempuan harus terus dipaksa untuk memenuhi kebutuhan ekonomi di rumah. Maka solusi jangka pendek yang diambil adalah berhutang.

Karena sumber penghasilan yang memang sudah tidak ada, maka biasanya tagihan hutang akan dibayar dengan menghutang pada sumber yang lain. Terus menerus seperti itu, hingga koperasi banyak yang terpaksa mengambil barang berharga penghutang, sebagai ganti dari pembayaran.

Ketika kondisi ini disampaikan oleh Yayasan Tanah Merdeka pada pemerintah Desa Towara, mereka tidak percaya. Padahal untuk membuktikan ini, sesederhana melakukan audiensi dengan koperasi, maka kondisi utang warga Desa Towara akan dengan mudah didapatkan. Pemdes sepertinya memang tidak berpihak pada rakyat.

Di sisi lain, polusi yang dihasilkan dari PSN tersebut sudah di tahap sangat mengganggu kesehatan. Udara tidak segar bukan hanya dirasakan oleh Desa Towara saja. Satu kabupaten ikut merasakannya. “Saya sendiri sudah batuk tiada henti di Morowali Utara ini. Setiap pulang ke Palu, keluarga selalu menegur kenapa batuk terus,” kata Stevi menuturkan kondisi kesehatannya.

“Yang terparah adalah debunya. Anak-anak sampai dilarang bermain di luar rumah oleh orang tuanya. Rumah selalu ditutup sampai ke ventilasi, supaya debu tidak masuk,” tambah Stevi. Hal ini tentu bukan hanya melanggar hak warga untuk hidup di lingkungan yang sehat, tetapi juga melanggar hak anak untuk bermain dan menikmati udara sehat di luar rumah.

 

Kesadaran dan Perlawanan

Dalam kasus-kasus masyarakat melawan perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam, hal yang hampir sama seringkali terjadi, dimana kesadaran masyarakat muncul terakhir, ketika kondisi sudah makin buruk. Masyarakat sengaja dibuat tidak tahu dan tidak berdaya di awal, agar perusahaan segera berdiri dan melakukan eksplorasi.

Pemerintah juga sering kali justru berpihak pada perusahaan dan melupakan tugasnya sebagai pelindung rakyat. Begitu juga di Desa Towara.

Ketika masyarakat melawan, biasanya perusahaan telah menyiapkan diri dengan upaya-upaya membalikkan keadaan dan mengkriminalisasi masyarakat. Juni 2023 masyarakat pertama kali melakukan perlawanan dengan memblokir jalan yang dipakai untuk perusahaan lalu lalang mengangkut materi hasil tambang.

Partikel dari ore nikel yang ikut beterbangan di udara membuat jalanan licin. Meskipun perusahaan mengklaim jika sudah menyiram jalanan, tetapi pada kenyataannya, jalanan yang disiram segera kering karena cuaca panas. Belum lagi air yang menjadi sangat kotor.

Salah seorang warga yang sangat marah karena dia pulang kerja dan terpaksa mencuci muka dengan air kotor, melempar salah satu mobil perusahaan yang sedang melintas. Hal ini yang kemudian dilaporkan sebagai tindakan kekerasan.

Salah satu tugas Yayasan Tanah Merdeka adalah memberikan pelatihan SOP keamanan pada komunitas. Beberapa bulan setelah kejadian itu, kemudian warga dimediasi oleh pihak Polres dan perusahaan terkait kasus kriminalisasi yang terjadi pada warga. Salah satu tuntutan warga pada Polres ketika itu adalah untuk tidak menahan yang bersangkutan.

Laporan ke Pemda terkait kondisi air tidak pernah ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan serius. Masyarakat dibiarkan berjuang sendiri.

Warga awalnya takut melakukan perlawanan. Ini terjadi karena pada saat pertama kali akan melakukan aksi, rencana ini terendus oleh pihak perusahaan. Stevi dan kawan-kawan di Desa Towara diintimidasi. Selama dua jam mereka mengintimidasi agar warga tidak melakukan aksi. Tetapi hal ini tidak menyurutkan semangat warga.

Puncaknya adalah ketika terjadi longsor di bulan September 2024. Selain mengakibatkan luka tubuh pada seorang lansia perempuan, rumah warga terendam lumpur coklat dan pipa serta kayu-kayu gelondongan besar terhanyut dari hulu ke arah desa. Sumber mata air rusak, setelah sebelumnya PT. Keinz Ventura memindahkan pipa yang membuat debit air surut. Ini adalah pelanggaran karena mereka melakukannya tanpa seizin warga.

Warga sekarang mandi tiga hari sekali di sungai yang sudah cokelat airnya tersebut. Selebihnya air di rumah hanya untuk cuci muka dan gosok gigi. “Bayangkan saja, hidup di lingkungan berdebu dan hanya bisa mandi tiga hari sekali,” Stevi mengajak kita ikut merasakan penderitaan warga Towara.

Selain berada di lapangan berjuang bersama warga, tahun 2023 Stevi dan Yayasan Tanah Merdeka meluncurkan sebuah petisi online untuk meminta dukungan masyarakat agar mendorong Bupati Morowali Utara agar meninjau kembali perizinan tambang nikel di Desa Towara. Dukung Petisinya di sini: Selamatkan Ruang Hidup Desa Towara Dari Pencemaran Tambang Nikel

 

Perjuangan Mengembalikan Titipan Anak Cucu

Menghadapi perjuangan warga melawan perusahaan tambang, Stevi merasa bahwa ini adalah dampak dari UU Omnibus Cipta Lapangan Kerja. Semua keputusan diambil di pusat, mereka tidak paham kondisi lingkungan di mana penambangan akan dilakukan, atau sengaja tidak mau tahu dan peduli.

Mata air, kondisi tanah, hutan, masyarakat, budaya, semua tidak dilihat. Pemerintah terlalu, jika tidak dapat dikatakan hanya, berpihak pada pengusaha dan pemilik modal. Masyarakat dianggap tidak ada. Tidak pernah dilibatkan di dalam diskusi yang menyangkut ruang hidup mereka.

“Seharusnya perencanaan tata ruang melibatkan masyarakat. Bukan hanya tentang lingkungan fisiknya saja, tetapi juga ada peninggalan kebudayaan yang harus kita jaga,” tutur Stevi menegaskan. Morowali Utara memiliki banyak gua yang harus dilindungi karena masuk dalam cagar budaya. Tetapi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tidak juga diajak berdiskusi tentang potensi rusaknya cagar budaya tersebut.

Masuknya investasi itu, entah disadari atau tidak oleh pemerintah, juga merusak budaya setempat. Hubungan antar orang di dalam rumah terganggu, potensi kekerasan dalam rumah tangga menjadi ancaman serius, dan anak kehilangan kesempatan bersosialisasi dengan lingkungannya.

Stevi mengingatkan bahwa perusahaan lah yang seharusnya tunduk pada pemerintah, dan pemerintah menjadi pelindung warga, bukan sebaliknya. Saat ini warga banyak yang melakukan aksi spontanitas karena tidak tahu lagi harus mengadu kemana.

Pemerintah yang seharusnya menjadi tempat masyarakat berlindung dan mengadu, justru melindungi perusahaan yang jelas-jelas menyengsarakan kehidupan warga.

“Rasanya sering pengen menyerah,” Stevi menyampaikan perasaannya yang memang sangat bisa dimengerti. “Tapi saya selalu ingat lagi kata teman-teman di Torobulu, yang juga sedang berjuang melawan perusahaan penambang nikel. Mereka selalu mengingatkan kalau kita ini hanya meminjam tanah dari anak cucu. Kalau kita menyerah, apa lagi yang akan kita tinggalkan ke mereka?"

"Diam berarti membiarkan kerusakan yang lebih masif lagi terjadi.” Ini yang selalu menjadi penguat perjuangan Stevi dan Yayasan Tanah Merdeka selama menemani warga berjuang.

Stevi sendiri, terpaksa hidup jauh dari Rhea, anak semata wayangnya. Karena mustahil baginya mengambil risiko, membiarkan Rhea yang baru berusia delapan tahun itu, hidup di lingkungan berpolusi. Maka semakin kuatlah niatnya untuk berjuang.

Dia tidak menyebut terpisahnya dari anak sebagai pengorbanan. “Ini adalah kehormatan. Kelak Rhea akan tahu kalau setiap kerinduan yang kami rasakan, adalah upaya untuk mengembalikan pinjaman tanah dalam keadaan yang baik padanya dan generasi berikutnya,” kata Stevi.

Perempuan yang menyukai laut ini kemudian menambahkan di akhir diskusi kami, “Namaku Stevi Rasinta, yang artinya adalah keberuntungan. Aku berharap seberuntung itu juga dalam membantu memperjuangkan warga Towara memenangkan kembali hak mereka atas hidup yang sehat dan alam yang lestari.”

 

Tentang Penulis:
Dian Purnomo adalah seorang penulis dan periset yang memiliki perhatian khusus pada isu-isu sosial dan lingkungan. Klik untuk melihat profil lengkap Dian Purnomo.

Raafi vs Raffi

Pernah mendengar petisi yang menolak pembangunan resort Raffi Ahmad di Gunung Kidul? Muhammad Raafi adalah orang yang ada di belakangnya.

Sama-sama Ra(af)fi tapi beda banget arah hidupnya. Yang satu adalah selebrita yang sepertinya tidak memiliki kepedulian terhadap kondisi lingkungan, serta mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk diri sendiri. Satunya lagi adalah mahasiswa yang memiliki kepedulian dan kecintaan pada lingkungan dan menjejakkan kakinya di atas kebenaran.

Muhammad Raafi lahir tahun 2004 dan dibesarkan di Cilegon, sebuah kota industri yang sarat polusi. Ingatan tentang kota tersebut tidak jauh-jauh dari langit kelabu dan cuaca yang gerah.

Sampai tahun 2021, setidaknya ada 88 perusahaan industri besar dan menengah, termasuk diantaranya Krakatau Steel. PLTU Suralaya yang memasok listrik se-Jawa dan Bali juga berlokasi di Cilegon.

“Saya memang tidak pernah ingat Cilegon bebas polusi, tapi semakin ke sini semakin parah,” tuturnya. “Ruang terbuka hijau semakin berkurang, gedung perkantoran dan mall justru bertambah.”

Ada lima Mall di kota sekecil Cilegon saat ini. Sementara taman-taman bermain terbuka tidak terawat, kalau hujan rembes, rumputnya pun sintetis dan mengelupas. Di jalanan tidak ada lagi pohon. Tiang-tiang listrik dan lampu hias jalanan menancap menggantikan posisi pohon, yang tentu saja tidak bisa memerankan tugas menyerap CO2 dan meneduhkan orang yang lalu lalang di bawahnya.

Kesadaran Raafi pada kondisi lingkungannya yang rusak sudah muncul sejak SMP dan semakin menguat ketika masa pandemi. Ketika terpapar informasi di media sosial tentang bagaimana pandemi, berkurangnya kendaraan yang lewat di jalanan, menjadi berkah bagi beberapa kota. Ada yang memamerkan langit biru kotanya dengan bangga. Sementara itu, di balik jendela kamarnya, Raafi berusaha mencari pemandangan yang sama, tapi hasilnya nol.

 

Peran Keluarga

Sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, Raafi mendapatkan banyak pengaruh dari kakak dan ayahnya. Ayahnya adalah seorang buruh di salah satu perusahaan di Cilegon. Dia juga aktif di dalam gerakan buruh lokal untuk memperjuangkan upah, kesejahteraan pekerja, dan isu-isu ketenagakerjaan lain.

Ketika masih SMP dan sudah mulai masuk dalam grup WhatsApp keluarga, Raafi mulai terpapar oleh apa yang dikerjakan oleh ayahnya. Sang Ayah sering membagikan berita-berita dan cerita terkait perjuangan yang sedang dilakukannya. Ada demo ini, ada perjuangan itu, ada aksi ini, ada aksi itu, begitu beberapa berita yang dibagikan sang ayah di grup.

Berita-berita ini semakin bertambah ketika kakaknya sudah lebih dewasa dan mulai bergabung dalam gerakan-gerakan perjuangan penegakan keadilan, salah satunya adalah Kamisan.

 

Setiap hari Kamis, Kakak Raafi berangkat ke Serang, karena di Cilegon tidak ada Aksi Kamisan. Beberapa kali Raafi menyaksikan Ayah dan Kakaknya pulang dalam keadaan luka-luka atau setidaknya membawa cerita tentang bentrok yang terjadi ketika sedang aksi.

 

Perusahaan suka pakai preman untuk membuat demonstran pada mundur,” demikian kata Raafi menirukan apa yang disampaikan ayahnya.

Baju robek, muka lebam, adalah hal yang sering dilihatnya, tapi Raafi yang kala itu masih duduk di bangku SMP sedang berusaha mencerna apa yang terjadi.

Ketika memasuki bangku SMA, pengetahuannya tentang ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan mulai tumbuh lebih dari sekedar pengetahuan tentang buang sampah di tempatnya atau membawa tempat makan dan minum sendiri ketika bepergian.

Salah satu kelas kegiatan belajar yang diikutinya adalah Kelas Malam, yang diinisiasi oleh Blok Politik Pelajar, berisi koalisi pelajar yang bersama-sama belajar soal HAM, korupsi, feminisme, lingkungan, demo aman, dan sebagainya.

Di sinilah Raafi mendapatkan asupan ilmu dari orang-orang yang mumpuni di bidangnya. Kelas Malam inilah yang membuka mata Raafi lebih luas dari kesadaran sumbangan individu terhadap kerusakan lingkungan, sampai mengenal adanya sebuah sistem besar yang secara masif dan terstruktur menciptakan kerusakan lingkungan dan mereka harus dihentikan.

Satu hal yang Raafi syukuri dibesarkan sebagai keluarga demonstran adalah, dia jadi terbiasa melihat orang-orang terdekatnya memperjuangkan hal yang benar. Sementara dia tahu, ada banyak teman yang oleh keluarga mereka didoktrin bahwa demonstran adalah para perusuh yang merusak fasilitas umum, menyusahkan, dan sebagainya.

Sampai sekarang ketika Raafi akan mengikuti demo, karena tinggal jauh dari rumah, dia selalu memberi tahu seisi rumah di dalam grup keluarga.

“Cara Ibu mendukung itu khas ibu-ibu hari gini banget, dia pasang status di WA dengan tambahan kalimat, “semangat anakku!” gitu, Kak,” kata Raafi sambil tertawa.

 

Climate Rangers

Tahun 2022 Raafi meninggalkan Cilegon untuk kuliah di UGM, Yogyakarta. Jurusan Hubungan Internasional dipilihnya dengan alasan sederhana, agar lebih mudah mencari kerja di perusahaan internasional. Tapi rupanya semakin ke sini, Raafi tidak lagi punya keinginan bekerja di perusahaan profit. Dia lebih tertarik pada kerja-kerja kemanusiaan, khususnya di bidang lingkungan.

Di kampus, Raafi mengikuti kegiatan Indonesia Climate Change Initiative (ICCI) di divisi riset. Di sana dia kenal dengan berbagai komunitas, hingga akhirnya bergabung dengan Climate Rangers (CR) Jogja.

“Sebetulnya di ICCI juga seru, tapi karena dia di bawah bendera kampus kan, jadi memang ada banyak gerakan kita yang terbatas. Ada kepatuhan-kepatuhan yang harus dilaksanakan yang membuat ruang gerak kita kurang leluasa dalam memperjuangkan keadilan iklim,” kata Raafi menjelaskan kenapa dia akhirnya bergabung di CR.

Meskipun CR sendiri saat itu sedang dalam tahapan restrukturisasi karena banyak anggota yang pindah ke luar kota, dan Raafi sempat ragu apakah masuk ke komunitas ini adalah langkah yang tepat, tapi dia tetap nekad.

Dan benar saja, dua minggu setelah bergabung dengan komunitas yang bertujuan mendorong transisi energi yang adil dan tanpa penindasan ini, Raafi langsung diminta untuk bergabung ke Bali dalam program pelatihan Climate Rangers Camp.

Pengalaman mendapatkan pelatihan di Bali ini membuka perspektif Raafi tentang masalah struktural, separah apa kerusakan iklim yang sekarang sedang terjadi, bagaimana kita bisa memperjuangkannya, dan seterusnya. Uniknya, di Bali juga untuk pertama kalinya Raafi bertemu secara langsung dengan teman-teman CR Yogya lainnya.

“Pulang dari Bali kayak kebakar gitu energinya. Semakin punya landasan dan keyakinan untuk bergerak,” kata Raafi semangat.

Berjejaring dengan kawan-kawan dari berbagai wilayah, bersama-sama memetakan isu-isu lokal dan nasional membuat Raafi membuka mata lebih lebar. Karena sedang menjadi penghuni Yogyakarta, maka dia juga jadi melihat lebih dalam isu wisata di kota ini dari kacamata orang yang memiliki kepedulian lingkungan.

 

Membayangkan wisata yang menggunakan energi baru terbarukan, pasti keren sekali.

 

Dari sinilah Raafi kemudian ikut menengok ketika di Gunung Kidul ada sebuah rencana pembangunan resort yang mengancam kelestarian lingkungan di sana.

Petisi yang diinisiasinya didukung oleh lebih dari 74 ribu orang. Raafi kemudian juga mendapat ajakan berkoalisi dari teman-teman Gunung Kidul Melawan, WeSpeakUp.org dan 350. Ajakan ini tentu Raafi terima dengan penuh semangat.

Dengan semakin banyak pihak yang memberikan perhatian, petisi ini akhirnya mendapat respon dari Raffi Ahmad dan Bupati Gunung Kidul, Sunaryanto. Meskipun kedua orang yang menjadi target utama ini merespon dengan mengatakan bahwa Raffi tidak lagi terlibat dalam pembangunan resort tersebut, sementara Bupati mengatakan kalau proyek tersebut dihentikan, tapi di lapangan proyek yang berpotensi merusak lingkungan lainnya, terus dilanjutkan.

 

Panjang Umur Perjuangan

Perjuangan yang dilakukan Raafi dan kawan-kawan koalisi Gunung Kidul Melawan tampaknya belum akan berhenti dengan akhir bahagia, dengan di-notice-nya petisi mereka oleh Raffi Ahmad & Bupati.

 

Menyadari bahwa Gunung Kidul belum benar-benar merdeka dari kemungkinan perusakan lingkungan, membuat mereka harus mengubah strategi perjuangan.

 

Ada banyak sekali perusahaan yang mengincar Gunung Kidul sebagai lahan membangun proyek-proyek untuk mengeruk keuntungan. Jika menargetkan satu persatu perusahaan tersebut, maka energi yang dibutuhkan akan luar biasa besar.

Salah satu cara untuk mengupayakan terjaganya kelestarian Gunung Kidul adalah dengan membuat regulasi yang menjaga dan memastikan siapapun yang akan mendirikan usaha di kabupaten ini, harus taat pada aturan-aturan yang berlaku.

Saat ini Jevi Adhi, salah seorang penggerak Gunungkidul Melawan telah menuliskan sebuah buku untuk mendokumentasikan kerusakan di sana. Jevi memotret bagaimana perubahan yang terjadi di Gunungkidul sejak dia lahir hingga saat ini.

Jevi dan kawan-kawan Gunungkidul Melawan selain akan menggunakan buku ini sebagai salah satu sarana mendokumentasikan perubahan, juga agar memiliki alat advokasi supaya kerusakan tersebut dihentikan.

Raafi tahu perjuangannya masih panjang. Gunungkidul adalah salah satu titik awal “sekolah” perlawanan yang diikutinya.

Ujiannya mungkin akan bertubi-tubi, tapi kurikulumnya jelas, memperjuangkan kebenaran, kelestarian lingkungan, dan satu lagi, secara pribadi dia bisa dengan bangga mengatakan pada siapapun bahwa Ayah dan keluarganya telah memberikan contoh yang baik baginya.

Panjang umur perjuangan!

 

Tentang Penulis:
Dian Purnomo adalah seorang penulis dan periset yang memiliki perhatian khusus pada isu-isu sosial dan lingkungan. Klik untuk melihat profil lengkap Dian Purnomo.

Anak Petani

Dilahirkan dari keluarga petani, yang bergenerasi-generasi di atasnya juga petani, Nuzul kecil melihat bekerja sebagai petani adalah takdir. Dia tidak akan lepas dari bertani, terlepas dari apapun cita-citanya. Lumpur, peluh, dan keluh adalah hal-hal yang terlalu sering dilihatnya dari petani-petani lain di desa Bulurejo. Ayah dan paman-pamannya adalah petani padi di desa yang terletak Jombang tersebut. Begitu pula kakeknya.

Sang ayah pernah menempuh pendidikan tinggi, kuliah di jurusan ilmu hukum, tetapi di tengah perjalanan terpaksa berhenti karena kecelakaan yang berakibat sakit cukup panjang. Selain itu, Kakek Nuzul juga selalu mengingatkan, bahwa apapun pendidikan seorang anak, dia tetap akan menuruni keahlian orang tua. “Karena orang tuamu petani, maka Kamu juga kelak akan menjadi petani,” katanya Kakeknya. Kalimat itu menguatkan sang ayah, bahwa berhenti kuliah tidak akan menghancurkan masa depannya, karena dia akan menjadi petani yang luar biasa, seperti generasi sebelumnya.

Awalnya Nuzul merasa malu. Banyak orang di sekitarnya yang mencemooh karena menurut mereka ayahnya mengajak anak perempuan ke sawah. “Bocah wadon ki didandani, ora malah kon nyusruh nang sawah, reget, panas,” (Anak perempuan itu didandanin, bukan malah disuruh nyebur ke sawah, kotor, panas.) kata mereka. Hal itu tidak menghentikan ayahnya. Bahkan sampai dia sudah duduk di bangku kuliah pun, sang ayah masih memintanya memetik cabe di sela-sela kesibukan mengerjakan tugas.

Cemoohan tentang kedekatannya dengan sawah dan petani tidak berhenti di kalangan teman saja. Dari keluarga besar di pihak ibunya juga banyak yang suka membanding-bandingkan. “Lihat itu sepupumu, dia sibuknya les ini itu, pergi main belajar bersama. Kamu kok mainnya ke sawah aja. Apa nggak capek badanmu?” begitu kurang lebih kata mereka. Respon yang berbeda dari keluarga Ibu dan Ayahnya sempat membuat Nuzul bimbang akan pilihan jalan hidupnya sendiri.

 

Petani Juga Perlu Sekolah

Gambaran bahwa menjadi petani adalah jauh dari kemakmuran, hidup susah, terus menerus ditanamkan oleh keluarga Ibu dan kebanyakan orang yang tinggal di kampungnya. Hal ini mau tidak mau memengaruhi pemikiran Nuzul. Ketika tamat SMP, banyak orang menyarankan Nuzul untuk masuk sekolah kejuruan. Biar mudah kalau mau cari kerja, demikian menurut pendapat banyak orang. Tapi ayahnya berpendapat lain. “Sekolah ya sekolah saja, cari ilmu. Tidak perlu memikirkan yang lain.”

Tamat SMA, Nuzul melanjutkan kuliah di kampus di bawah naungan yayasan yang sama dengan MA-nya dan mengambil jurusan agama. Ini juga karena dia mengingat apa kata Bapak. “Kalau cari jurusan, pilih yang memberimu pegangan seumur hidup, atau kalau jadi bekal kerja, ya bukan kerja yang jadi buruh.” Sebagai orang yang dibesarkan di desa dengan pendidikan tidak sampai sarjana, Ayah Nuzul berpikiran cukup progresif. Baginya sekolah tujuannya ya harus cari ilmu, dan bekerja pada orang lain, apapun jabatannya tetaplah jadi buruh namanya. Dengan ilmu harusnya orang bisa mengerjakan apapun.

Tidak seorangpun dari keluarga besarnya mengetahui kalau Nuzul kuliah, karena hari-hari ketika tidak sedang di kampus, dihabiskannya di sawah. Maka ketika akhirnya wisuda, neneknya malah bertanya, “Kamu kapan kuliahnya?”

Banyak orang beranggapan bahwa bertani tidak butuh pendidikan. Petani adalah pekerjaan paling sederhana dan mudah sehingga siapapun bisa melakukannya tanpa bekal ilmu. Namun tidak demikian dengan Nuzul. Dari pengalaman ayahnya, dia tahu bahwa bertani tidak mudah. Petani juga perlu bekal ilmu. Kegalauannya juga semakin bertambah karena kiri kanan kembali mulai menanyakan, setelah kuliah kok bukan kerja kantoran, tapi malah ke sawah lagi, jualan hasil pertanian, dan pertanyaan-pertanyaan klise serupa.

Perang batin belum berhenti di situ, karena neneknya terus mengingatkan pada cucu-cucunya, termasuk Nuzul, untuk tidak punya suami petani. “Jangan seperti ibumu, punya suami petani. Lihat, hidupnya susah.” Begitu selalu sang nenek mengingatkan. Sementara menurut ibunya sendiri, tidak apa-apa jadi petani atau suami petani, kalau tanahnya luas. Jadi hasilnya sesuai. Awalnya keluarga besar Ibu, memang tidak ada satupun yang menjadi petani. Tapi hal ini kemudian berubah. Belakangan setelah Mbah meninggal mereka juga kembali menjadi petani.

Hal ini sering membuat Nuzul berpikir, seburuk itukah menjadi petani? Sampai neneknya mengatakan hal tersebut. Bagi Nenek, menantu idaman adalah Aparatur Sipil Negara.

Sebagai anak petani kebimbangan terus menariknya ke dua kutub yang berseberangan tersebut. Hingga jawabannya menjadi jelas setelah Sang Ayah berpulang. Orang-orang yang selama ini menyepelekan ayahnya ketika beliau dengan gigih bertani, nyatanya tidak berkontribusi apapun terhadap hidup Nuzul. Maka dengan modal ilmu dan kebiasaan yang selama ini dibangunnya bersama Sang Ayah, anak pertama dari empat bersaudara ini memutuskan untuk melanjutkan mengurus sawah.

 

Bertani di Tengah Krisis Iklim

Berbekal kebiasaan-kebiasaan yang selama ini ditanamkan oleh Bapak, Nuzul memiliki modal dasar pengetahun tentang dunia pertanian, khususnya untuk bertani padi dan jagung. Di sini dia baru tahu bahwa menjadi petani sesungguhnya saat ini, di tengah krisis iklim yang semakin buruk, butuh keberanian luar biasa.

Hujan yang menjadi sahabat petani semakin sulit memegang janji. Dulu seingatnya, musim hujan selalu tepat waktu, sekarang tidak lagi. Maka jika hujan tak datang sementara sawah membutuhkan air, dia terpaksa membeli air dengan membayar lebih kurang 300 ribu per minggu pada Jogoboyo yang bertugas mengatur aliran air irigasi.

Sebenarnya pemerintah sudah mengatur pembagian air secara seimbang, satu dusun sekali aliran dalam sehari. Tetapi jika harus menunggu pembagian tersebut, maka sawahnya akan kekurangan air. Setiap dusun memiliki sawah yang cukup luas dan satu hari aliran air pun tidak akan mencukupi kebutuhan sawah-sawah yang ada. Maka untuk memenuhi kebutuhan air sawahnya, dia harus membayar sejumlah uang tersebut. Nuzul tidak sendirian, para petani lain juga harus melakukan hal yang sama untuk menjaga sawah tetap terendam air, agar panen tak gagal.

“Kalau untuk jagung sebetulnya lebih enak. Karena kebutuhan air jagung lebih sedikit. Dua-tiga minggu sekali kena air masih aman. Padi ini setiap hari harus tergenang air. Kalau tidak hasilnya jelek. Sekarang saja panen kita hasilnya sudah tinggal setengah dari yang dulu-dulu,” tutur Nuzul.

Menurunnya hasil panen, yang berarti mengurangi pendapatannya, tidak menyurutkan niat Nuzul untuk terus bertanam. Matanya justru semakin jeli melihat apa yang terjadi di sekeliling, dimana desanya sudah benar-benar berubah. Sawah-sawah yang dulu menjadi suguhan utamanya sejauh mata memandang, perlahan-lahan berkurang dan dialihfungsikan menjadi perumahan.

“Ini adalah masalah serius. Kalau sawahku aja berkurang setengah hasilnya dibanding dulu, terus sawah-sawah lain berubah jadi rumah, lama-lama kita bisa kekurangan makan,” katanya. Dan pemikiran Nuzul memang sangat valid. Kekurangan pangan akan menjadi isu serius di negara ini, jika sawah terus dialihfungsikan jadi perumahan atau pabrik, sementara makanan pokok mayoritas orang Indonesia adalah nasi.

 

Mempertahankan Desa Sebagai Sumber Kehidupan

Di tengah pemikiran-pemikiran tentang kondisi pertanian di desanya, mulai menyusutnya jumlah sawah, Nuzul yang selama ini aktif di beberapa komunitas, seperti Gusdurian, komunitas literasi, rumah pengetahuan Daulat Hijau, Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam, dan masih banyak lagi, berpikir untuk bisa berkontribusi lebih.

“Rata-rata teman dan saudaraku kuliah di kota. Orientasi mereka bekerja juga di Jakarta. Aku nggak bisa. Aku menemukan rumah di tempat kelahiranku. Aku mencintai desaku dan segala yang ada di dalamnya.”

Nuzul mulai memikirkan sebuah gerakan yang benar-benar berasal dari akar rumput. Murni berasal dari desanya sendiri. Selama ini Nuzul aktif mengajar di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat. Di sana dia bertemu dengan para ibu-ibu yang memiliki semangat tinggi buat belajar, tetapi tidak memiliki akses untuk bersekolah formal. Ruang ini yang Nuzul gunakan untuk menularkan semangatnya, anak desa membangun desa. Tetapi bukan dalam pengertian membuat desa menjadi seperti kota.

Hakikat desa sebagai sumber kehidupan dan penghidupan harus terus dijaga. Jika semua orang mau pergi ke kota, tidak ada lagi yang mau menanam, bertani, berladang, sementara orang tetap makan nasi, jagung, ubi, dan singkong, maka siapa yang akan menyediakan semua hal tersebut? Menjaga semangat ini tidak pernah mudah. Ditambah lagi kondisi alam yang semakin menantang.

Namun niat tersebut hingga saat ini masih terus menerus dipupuknya. Nuzul akan membuktikan pada siapapun yang dulu menjatuhkan mentalnya dengan olok-olok anak desa yang tidak pernah keluar dari Bulurejo, suatu saat akan membuat perubahan di desanya.

Bagi Nuzul sekarang, bertani selain sebagai upaya mengembalikan desa sebagai sumber kehidupan, tetapi secara pribadi, juga untuk terus menghidupkan semangat dan kenangan tentang ayahnya. Dia tahu ayahnya benar. Bertani bukan lagi pekerjaan turun temurun yang terpaksa dilakukan. Petani adalah pilihan hidup yang baik dan mulia.

 

Tentang Penulis:
Dian Purnomo adalah seorang penulis dan periset yang memiliki perhatian khusus pada isu-isu sosial dan lingkungan. Klik untuk melihat profil lengkap Dian Purnomo.

Air adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan Viedela Aricahyani Kodirin. Perempuan yang kerap dipanggil Ve ini tinggal di sebuah desa bernama Kalibening, di Banjarnegara. Sejauh ingatan masa kecil Ve, nama yang disematkan pada sungai yang mengalir sepanjang desanya memang terinspirasi pada kondisi sesungguhnya. Sayangnya nama tersebut menjadi paradoks saat ini, karena Sungai Kalibening tidak lagi bening.

 

Ve menghabiskan lebih banyak masa kecilnya dengan Sang Nenek yang memperkenalkannya pada sungai bersih yang mengalir tak jauh dari rumah mereka. Selain sungai tersebut, Ve juga sangat terpengaruh pada sebuah dongeng yang bercerita bahwa nenek moyang manusia adalah air. Itulah kenapa sampai kapanpun manusia akan selalu dekat dan membutuhkan air.

Tahun 2013 Ve melanjutkan kuliah di Bogor. Di kampusnya, selain belajar manajemen, Ve juga menghabiskan waktu beraktivitas dengan Mapala Lawalata. Alam semesta juga tampaknya terus menghubungkan Ve dengan air. Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) adalah salah satunya. Ketika menjadi relawan di komunitas ini, Ve ikut terjun dan memanfaatkan waktu untuk merawat Ciliwung yang kondisinya semakin memprihatinkan.

Sungai Ciliwung seharusnya menjadi nadi yang menghubungkan Bogor dan Jakarta, tidak tampak seperti mengalirkan kehidupan di dalamnya. Ada kehidupan, tetapi secara kasat mata Ciliwung lebih mirip sebuah tempat sampah raksasa tak berujung bagi Ve dan kawan-kawan KPC. Dari mulai plastik kemasan, popok sekali pakai, pembalut, bangkai hewan, bahkan sampai sampah kasur yang masih utuh pernah ditemuinya di sepanjang aliran sungai tersebut.

Kondisi Ciliwung yang sangat kotor, demikian juga sungai yang mengalir di belakang rumahnya di Banjarnegara lah yang akhirnya membawa Ve pada pilihan kehidupan yang dijalaninya saat ini. Gaya hidup minim sampah.

 

Tantangan Hidup Minim Sampah

Setelah menyelesaikan kuliah, Ve melanglang buana ke berbagai pelosok negeri ini, menjadi relawan dan bekerja di berbagai organisasi, yang lagi-lagi menghubungkannya dengan air. Dia pernah berkegiatan di pesisir, untuk mengupayakan kembalinya kelestarian pesisir.

Setelah menclok ke sana kemari, Ve memutuskan untuk kembali ke rumah. Sejauh apapun melangkah, hatinya selalu tertambat pada rumah. Setiap kali mencoba memperbaiki apa yang terjadi di luar wilayahnya, dia kembali teringat bahwa di desanya mungkin hal yang sama juga terjadi. Dan tidak semua orang memiliki kemewahan untuk bisa pulang.

Awalnya dengan naif Ve berpikir kalau tinggal di desa, maka mempraktikkan gaya hidup minim sampah akan jadi lebih mudah, tetapi bagi lingkungan, hidup tanpa sampah adalah hal baru yang terdengar asing dan mengada-ada. Pengaruh kemajuan teknologi, perubahan gaya hidup, membuat masyarakat desa pun tak jauh bedanya dengan masyarakat kota. Belanja online yang kaya potensi sampah, semua hal instan dari mulai makanan sampai pakaian, dan masih banyak lagi.

Mempraktikkan pemakaian clodi (cloth diaper/popok kain yang dapat dipakai ulang) pada anak pertamanya adalah salah satu praktik suksesnya. Ve menyadari betul, bahwa dia tidak mau menjadi bagian dari 21 persen orang yang berkontribusi terhadap sampah popok sekali pakai di laut, seperti temuan Bank Dunia beberapa tahun lalu. Saat ini anak keduanya baru lahir dan belajar dari pengalaman sebelumnya, Ve optimis kalau akan melaluinya dengan baik. Tidak mudah memang, tetapi pasti bisa dilakukan.

Ve tidak memiliki sampah di rumahnya, semua benda yang berpotensi menjadi sampah diusahakan didaur ulang menjadi benda lain. Plastik menjadi ecobrick, sisa makanan diberikan pada ayam. Ayamnya sudah bertumbuh dari dua ekor menjadi tujuh sekarang plus potensi lima ekor lagi dari telur yang bersiap menetas. Kertas-kertas disimpan dan jika jumlahnya cukup, sesekali dibuat kertas daur ulang dan hasilnya untuk menggambar bersama anak-anak tetangga.

 

Ve sudah mempraktikkan berbelanja ke pasar dengan membawa tempat belanja sendiri. Meskipun awalnya tidak mudah karena pedagang tidak terbiasa, tetapi perlahan-lahan beberapa orang justru menanyakan, “Wadahe endi Nduk?” (tempatnya mana, Nak), ketika Ve mendatangi lapak belanja mereka.

Sayangnya tidak setiap usaha menuju hal baik dapat diterima dengan baik pula. Para tetangga yang belum terbiasa dengan gaya hidup minim sampah menuduh Ve hanya menghindari membayar iuran sampah. Ketika berusaha menjelaskan apa itu hidup minim sampah dan bagaimana keuntungannya, orang-orang yang merasa mengikuti perkembangan hidup Ve berkomentar, “Halah, cilikmu aku ngerti, saiki meh ngatur-ngatur.” (Haduh, aku kenal kamu dari kecil, sekarang udah besar mau ngatur-ngatur kita), atau kalimat-kalimat lain dengan nada mengecilkan.

Keluarganya sendiri, terutama sang Ibu, meskipun sudah mempraktikkan pemilahan sampah antara yang organik dan anorganik, pada akhirnya ketika menemukan ada banyak sampah plastik, maka dia akan membakarnya, karena tidak sabar menunggu akan diolah menjadi apa. Namun hal-hal tersebut tidak menghentikan niatnya untuk terus menjadi praktisi dan pemengaruh minim sampah.

 

Kampanye di Media Sosial

Mendapat banyak tantangan ketika mencoba memengaruhi lingkungan terdekatnya untuk ikut mempraktikkan gaya hidup minim sampah, Ve tidak menyerah. Pemilik akun Instagram @viedelaak ini menggunakan pendekatan berbeda dengan membagikan konten-konten bermanfaat di media sosial. Dia tahu ada banyak orang di wilayahnya yang juga sudah terpapar media sosial.

Dengan akun instagramnya, Ve mengunggah berbagai konten terkait lingkungan seperti cara membuat sabun alami, tips membuat ecobrick, mengelola sampah organik, memelihara magot, berbelanja minim sampah, keuntungan beralih ke popok kain, dan sebagainya. Unggahannya mendapatkan banyak respon positif, tetapi tentu saja terbatas pada anak muda yang memang lebih aktif bermedia sosial.

Belajar dari kesulitan memengaruhi generasi di atasnya, Ve berusaha keras untuk terus melibatkan anaknya agar memiliki kesadaran terhadap lingkungan sedini mungkin. “Yang aku bangga itu, sekarang anakku yang masih umur tiga tahun udah bisa menasehati temannya agar tidak membuang sampah ke sungai. Dengan bahasanya dia bilang kalau ikan bisa mati, kalau kita membuang sampah ke sungai.”

 

Suatu hari Ve mengajak anaknya ke TPA di kecamatan tempatnya tinggal. Niat awalnya adalah mengajarkan pada Sang Anak tentang bagaimana tumpukan sampah yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi pemandangan yang buruk, bau, mengganggu siapapun yang tinggal di sekitarnya, dan sebagainya. Perjalanan dengan Si Kecil berujung pada sebuah unggahan tentang kondisi TPA tersebut. Konten tersebut mendapatkan perhatian masyarakat, karena ada diantara mereka yang merasa memiliki keluhan yang sama.

Konten yang sama rupanya juga menarik perhatian Bapak Camat. Dia mengomentari unggahan tersebut dengan ucapan menyemangati, kemudian secara langsung menyampaikan ke kawan Ve yang kenal dekat dengannya, “Coba tolong tanyakan ke kawanmu yang bikin konten itu, apa idenya untuk pengelolaan sampah di kecamatan ini!” Sayangnya Ve masih belum dapat menemui Pak Camat. Dia masih beradaptasi kembali dengan kelahiran anak keduanya. Lagipula, dia tidak ingin datang tanpa ide yang bisa direalisasikan.

 

Menularkan Virus Perubahan

Sejak memulai kampanye minim sampahnya, Ve sadar betul bahwa dia tidak bisa bekerja sendiri. Sampah adalah masalah global yang bukan hanya terjadi di satu rumah. Sampah adalah masalah sebuah kampung, desa, kecamatan, kelurahan, kota, negara, bahkan dunia. Tetapi menyelesaikan permasalahan bisa dimulai dari rumah sendiri.

Bersama anak-anak muda yang sering nongkrong di dekat rumahnya, mereka pernah dengan sukses menghelat acara seni pinggir sungai. Kegiatan seperti ini jarang sekali terjadi di kampungnya, maka perhatian warga ikut tertuju ke sana. Mereka ingin ketika warga senang melihat kegiatan tersebut dan menyadari bahwa sungai yang bersih dan dirawat ternyata indah untuk dipandang, maka perlahan-lahan hal ini juga akan mengubah kebiasaan mereka membuang sampah ke sungai.

Kegiatan lain yang pernah dilakukan adalah mengadakan lokakarya pembuatan sabun alami. Ve sendiri sudah mempraktikkan pemakaian sabun natural selama kurang lebih empat tahun. Prosesnya juga kurang lebih sama, memakai produk orang lain, lalu belajar membuat sendiri.

Virus-virus positif terkait sampah yang dia tularkan berbuah ketika seorang pemuda desa tiba-tiba mengunggah sebuah konten tentang kondisi sungai kecil yang kotor, karena ada popok sekali pakai nyangkut di pinggirannya. “Kenapa ya, Mbak, hampir tiap hari aku lari lewat sungai itu, tapi kok baru notice sekarang kalau ada popok yang nyangkut di sana?” tanyanya pada Ve dalam percakapan di DM IG.

“Karena Kamu udah main sama aku,” seloroh Ve yang juga ada benarnya.

Kesadaran sering kali memang datang dari orang lain, harus ada yang mengingatkan. Karena sangat mungkin kita terlalu terbiasa dengan hal-hal buruk, sehingga tidak sadar bahwa ada yang salah dengan lingkungan kita.

Saat ini Ve dan sekelompok anak muda lain di desanya sedang saling menguatkan jejaring. Mereka telah memetakan kekuatan. Ada si paling jago bikin konten di media sosial, praktisi hidup nirsampah, petani jamur, peternak magot, petani sayuran organik, si rajin olahraga, si dekat dengan penguasa, si pengusaha, dan lain sebagainya. Komunitas ini secara berkala mengunjungi satu sama lain untuk saling belajar.

“Aku berharap suatu saat kita akan melakukan sesuatu yang mengubah wajah desa kita sendiri, sukur-sukur bisa menular ke lingkaran yang lebih besar,” demikian Ve mengakhiri obrolan hari itu.

Semoga dalam waktu cepat ya Ve. Setidaknya apa yang dilakukan Ve sudah mematahkan apa yang dikatakan Leo Tolstoy, “Banyak orang ingin mengubah dunia, tapi tidak ada yang mau mengubah dirinya sendiri.” Tesis Tolstoy patah. Di Desa Kalibening, Banjarnegara, Viedela, perempuan berpendidikan dan berkesadaran lingkungan tinggi, mengubah dirinya, kebiasaannya, dan terus memengaruhi dunia di sekelilingnya, tepat dari dalam rumah sendiri.

 

Tentang Penulis:
Dian Purnomo adalah seorang penulis dan periset yang memiliki perhatian khusus pada isu-isu sosial dan lingkungan. Klik untuk melihat profil lengkap Dian Purnomo.

Pertemuan daring We Create Change #2 diwarnai wajah-wajah segar dari berbagai provinsi di Indonesia. Untuk pertama kalinya dari Pulau Flores, seorang peserta lolos untuk mendapatkan fellowship ini. Silvy atau yang lebih karib disapa Chipy adalah seorang transpuan yang aktif mengikuti rangkaian program ini. Chipy lahir dan besar di Maumere. Menyadari bahwa dia berbeda dari kebanyakan kawan di lingkungannya tidak menyurutkan niat untuk berkontribusi terhadap lingkungan.

 

“Saya tidak suka dilihat sebagai orang yang berbeda terus menerus. Saya mau jadi pembawa perubahan. Saya mau mengubah lingkungan terdekat saya menjadi lebih baik,” katanya ketika kita berkesempatan berjumpa langsung di Maumere tahun 2023.

 

Chipy seperti juga mayoritas kawan-kawan transpuan berprofesi sebagai pekerja salon door to door. Di luar aktivitas produktif untuk mencari uang, dia banyak berinteraksi dengan kawan-kawan dan menjadi bagian dari Komunitas KAHE (komunitas seni berbasis di Maumere) dan Fajar Sikka (komunitas LGBTIQ+ dan kelompok rentan). Fajar Sikka diinisiasi oleh kawan-kawan transpuan tapi lebih fokus pada kelompok rentan, masyarakat adat, perempuan dan anak korban kekerasan, serta kelompok disabilitas. Di Fajar Sikka, Chipy masuk ke dalam divisi lingkungan karena dia memang memiliki perhatian lebih pada isu tersebut.

 

Dampak Krisis Iklim Terhadap Mata Pencaharian Transpuan

Masyarakat mungkin tidak menyadari sama sekali bahwa kerusakan iklim sangat berpengaruh terhadap transpuan yang mayoritas bekerja di sektor kecantikan.

Di Maumere para pelanggan salon dan perawatan kecantikan umumnya bermata pencaharian sebagai petani, nelayan, dan masyarakat adat. Mereka belum sampai di tahap menjadikan salon sebagai kebutuhan utama, akan tetapi jika ada kelebihan uang setelah panen, mereka memanjakan diri dengan memanggil jasa salon ke rumah.

Selain itu, acara-acara hajatan juga biasanya dilakukan setelah kesuksesan panen. Pada saat hajatan ini para pekerja salon juga panen rezeki. Namun karena hasil panen yang buruk, maka hajatan sering kali urung dilaksanakan. Atau kalau toh dilaksanakan, akan mengurangi anggaran untuk make up.

Dengan kerusakan iklim yang terjadi saat ini, dimana hujan tidak lagi dapat diprediksi, bencana alam tak terelakkan, maka dunia pertanian dan peternakan sangat terpengaruh. Hasil panen sangat berubah memang, tidak sebanyak di tahun–tahun sebelumnya.

Pada saat wawancara dilakukan di akhir tahun 2023, Chipy mengatakan bahwa hujan belum juga turun di Maumere dan sekitarnya. “Harusnya bulan-bulan ini sudah ada yang makan jagung muda, tapi sampai sekarang belum hujan juga. Kebun saja habis dibajak, kering duluan sebelum sempat ditanam. Tahun lalu juga sudah terjadi seperti ini. Tapi ini tahun paling parah,” ujar Chipy menjelaskan.

Menyadari kerentanan mata pencaharian mereka terancam karena perubahan iklim, Chipy dan kawan-kawannya yang tergabung dalam Perwakas (Persatuan Waria Kabupaten Sikka) bergabung dengan Koalisi Kopi (koalisi kelompok orang muda untuk perubahan iklim). Koalisi Kopi ini dibentuk untuk berfokus pada lingkungan.

Ada tujuh komunitas yang bergabung di dalamnya yang memiliki kesepahaman bahwa ada banyak permasalahan di muka bumi ini yang merupakan dampak dari perubahan iklim. Selain tujuh komunitas tersebut, ada banyak orang yang menjadi relawan dan simpatisan Koalisi ini.

Sebagai anak bungsu yang dibesarkan oleh orang tua petani, Chipy melihat sendiri bagaimana perbedaan yang terjadi terhadap hasil panen di rumah ketika dia masih kecil dan saat ini.

 

Bagi petani tadah hujan seperti ayahnya, kepastian turunnya hujan adalah penting bagi keberlangsungan musim tanam. Meskipun dia tidak secara langsung meneruskan profesi orang tuanya sebagai petani, tetapi cerita-cerita tentang nasib para petani yang terdampak oleh kerusakan lingkungan membuatnya prihatin. Hal ini adalah salah satu yang juga memantapkan langkahnya untuk menjadi pejuang lingkungan dengan caranya sendiri.

 

Keindahan Maumere yang Makin Sirna

Maumere, tempat kelahiran dan tumbuh Chipy, terletak di Pulau Flores, dengan bentangan pantai yang luas dan alam yang sangat indah. Maumere sendiri berasal dari kata ma’u yang berarti pantai dan mere yang berarti besar. Sayangnya pantai yang seharusnya menjadi salah satu kebanggaan Maumere saat ini kondisinya memprihatinkan. Terutama pantai di bagian timur seperti Pantai Koka, Tanjung, Wairi’i, Wailiti, Weirterang dan pantai lainnya yang menjadi aset sasaran pariwisata di Kabupaten Sikka.

Plastik adalah sampah yang paling banyak mengotori dan mencemari pantai-pantai tersebut. Hal ini terjadi karena kesadaran masyarakat minim sekali terkait kelestarian lingkungan. Budaya buang sampah dan olah sampah masih kurang sekali.

Saat ini pemulung yang diandalkan oleh warga untuk membersihkan sampah mereka juga hanya mengambil sampah-sampah yang dibutuhkan, karena memiliki nilai ekonomi, seperti plastik botol minuman dan semacamnya. Tetapi sampah lain yang tidak dapat dijual akan dibuang kembali secara sembarangan oleh pemulung.

Pilihan masyarakat terkait pengelolaan sampah adalah membuangnya secara sembarangan, termasuk ke sungai dan pantai atau membakarnya. Masyarakat yang tidak paham dampak dari apa yang mereka lakukan selalu merespon dengan, “Baru mau bikin apa? Sampah kami simpan sampai menggunung. Baru kalau tidak dibakar, mau diapakan? Karena tidak ada truk yang muat kami punya sampah!” Sampai di sini biasanya langkah memang terhenti.

Karena kalau pemerintah memang tidak memberikan fasilitas perubahan perilaku terkait sampah, tidak juga ada edukasi terkait hal tersebut, maka memang sulit jika berharap masyarakat berubah.

Saat ini di Maumere kondisi terkait sampah memang sangat berantakan. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Maumere terletak di puncak bukit di mana di bawahnya terbentang salah satu pantai di Maumere. Di sebelahnya ada perkebunan sayur, sementara di sisi lainnya terdapat tempat penampungan air atau semacam waduk kecil. Tidak ada pagar yang membatasi TPA dengan lingkungan lain yang seharusnya terjaga bersih dari sampah. Para pemulung juga bermukim di sekitar TPA bersama anak-anak mereka.

Sebenarnya Kabupaten Sikka pernah memiliki mesin pengolahan sampah tetapi alat ini tidak pernah digunakan. Ada dua tempat pengolahan sampah yang sampai saat ini masih mangkrak tidak berfungsi.

 

Mengubah Mulai dari Diri Sendiri dan Lingkungan Terdekat

Menyadari kondisi pemerintah yang seharusnya memiliki peran penting dalam pengelolaan sampah tetapi masih belum berfungsi, maka Chipy dan kawan-kawannya memutuskan untuk berangkat dari lingkup yang lebih kecil. Diri sendiri, rumah sendiri, dan komunitas adalah sasaran terdekat mereka.

Kawan-kawan yang tergabung dalam Perwakas yang mayoritas bekerja di bidang kecantikan tanpa sadar hidup sangat dekat dengan sampah. Botol-botol atau kemasan bahan dan keperluan kecantikan yang digunakan kawan-kawan sebagian besar akan berakhir menjadi sampah. Ini artinya kawan-kawan pekerja sektor kecantikan juga memiliki andil besar terhadap masalah sampah di Maumere.

Perwakas menyikapinya dengan memberikan edukasi terkait bagaimana mengurangi dan mengelola sampah. Gerakan mengirimkan kembali kemasan sampo dan keperluan salon lain ke perusahaan produsen mereka untuk didaur ulang, telah dilakukan. Selebihnya, untuk kemasan yang kiranya memang tidak dapat didaur ulang, maka mereka belajar membuat karya-karya seperti hiasan rumah, kostum karnaval, dan sebagainya.

Kebiasaan membawa sendiri botol minuman dan tempat makan juga sudah dilakukan. Ini adalah perubahan sikap yang patut dirayakan, karena sebelumnya teman-teman Perwakas tidak peduli pada hal tersebut. Perubahan perilaku ini meskipun perlu dirayakan, tetapi harus dipastikan untuk menjaga kesinambungannya, karena saat ini belum banyak dukungan terkait pengisian ulang air minum. Tanpa fasilitas tersebut, membawa kemasan minuman saja tidak cukup, karena jika airnya habis dan diisi dari air minum dalam kemasan lagi, maka tujuan membawa botol minum sendiri menjadi tidak tercapai.

 

Perjuangan melawan krisis iklim, mempertahankan kelestarian lingkungan hingga saat ini masih diyakininya sebagai perjuangan panjang dan berat. Memastikan ada banyak teman seperjuangan adalah salah satu upaya untuk menguatkan diri, selain juga merayakan keberhasilan-keberhasilan kecil seperti perubahan perilaku antar mereka sendiri.

Di akhir wawancara, ketika ditanya apa yang menjadi harapannya terkait kondisi lingkungan, Chipy mengatakan bahwa dia ingin menjadi bagian dari perubahan ke arah yang lebih baik. Sementara harapannya yang lebih besar terhadap masyarakat, dia sangat ingin melihat masyarakat bisa menerima teman teman komunitasnya yaitu kelompok transpuan.

Saat ini menurutnya kondisi kawan-kawan transpuan ini diterima karena mereka masih bisa menghasilkan uang. Begitu mereka sudah tidak produktif atau tidak punya penghasilan, maka penerimaan juga berhenti. Dalam kondisi dimana diskriminasi masih terus dipelihara, maka mata pencaharian akan terbatas. Dengan kondisi iklim yang rusak dan memengaruhi mata pencaharian, maka nasib transpuan benar-benar dalam kondisi terpojok.

Dengan menerima transpuan sebagai manusia yang setara dengan manusia lain, maka ruang untuk mencari nafkah menjadi lebih luas dan semua orang bisa bahu-membahu menyelesaikan masalah terpenting saat ini menurutnya, yaitu masalah iklim.

Roni Otpah terlahir sebagai anak laki-laki pertama yang sangat dinantikan oleh keluarga. Sebagai wujud syukur, Sang Ayah bernazar akan mempersembahkan anak ini di jalan Tuhan. Nazar ini terus dipegang oleh sang ayah dan semua orang di lingkungan terdekat keluarganya mengetahui hal tersebut. Banyak yang berpikir dan berharap bahwa Roni kelak akan menjadi tokoh agama, tapi ternyata...

 

Tumbuh besar di lingkungan yang penuh kasih sayang, ketika akhirnya menyelesaikan SMA, Roni memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tingginya di jurusan teologi, tepat seperti nazar sayang ayah. Akan tetapi Roni melakukan hal ini bukan karena nazar.

Pilihan ini diambilnya dengan kesadaran penuh. Dia melihat bahwa hidupnya diliputi oleh terlalu banyak privilese. Tinggal di Kota Kupang dikelilingi kawan dari berbagai latar belakang, dia merasa sangat diberkati Tuhan.

Ayahnya seorang PNS, ibu seorang guru. Keluarga besarnya sangat mendukung setiap langkah yang diambil Roni. Maka dia merasa harus meneruskan dan mengembalikan semua kebaikan Tuhan pada makhluk lain.

Dua tahun pertama masa kuliahnya dihabiskan di dalam asrama. Disiplin, komitmen, kejujuran, dan ketekunan dipelajarinya di sini.

“Kami seperti hidup di rumah kaca. Semua orang bisa melihat apa yang kami lakukan,” kata Roni memberikan perumpamaan hidupnya di asrama.

Terbiasa dengan kondisi ini, membuat Roni benar-benar menjalani hidup dengan hati-hati, karena prinsip hidupnya, memang tidak ada hal yang akan dilewatkan oleh Tuhan. Hidup tidak cukup hanya berani, tetapi kita harus selalu berhati-hati, demikian prinsip hidupnya.

 

Children See Children Do

Tahun 2019 Roni pertama kali memasuki dunia kerelawanan. Setelah bergabung di beberapa kegiatan kerelawanan seperti menjadi pengajar anak, remaja dan taruna di gereja, Roni memutuskan untuk membentuk komunitasnya sendiri yaitu Children See Children Do (CSCD). Komunitas ini bergerak di bidang pendidikan bahasa Inggris gratis untuk anak dari mulai TK sampai SMP di Kupang.

Semua pengajarnya murni relawan. Hal ini berangkat dari keprihatinan Roni melihat ketertinggalan anak-anak di Kupang dalam mata pelajaran Bahasa Inggris. Roni sendiri mengaku tidak terlalu mahir berbahasa Inggris. Justru karena itulah dia tidak ingin adik-adik lain yang bergabung dalam CSCD mengalaminya.

 

“Beta sendiri juga tidak terlalu mahir berbahasa Inggris, tapi beta bisa mengelola dan mengumpulkan mereka yang lebih ahli, supaya mengajarkan ke adik-adik,” paparnya. Semangat ini yang ingin Roni tawarkan ke kawan-kawan relawan mudanya.

Keterbatasan seharusnya tidak menghentikan kita untuk berkarya. Tidak mahir berbahasa Inggris bukan hambatan, karena dia mampu menggerakkan dan mengelola orang lain yang mampu berbahasa Inggris untuk mengajar ke adik-adik yang memerlukannya.

Saat ini CSCD telah memiliki 31 orang siswa aktif dan jumlah ini akan terus bertambah. Berangkat dari les gratis, CSCD perlahan-lahan mulai memberikan peningkatan kapasitas di bidang lain. Seni berbicara di depan publik adalah salah satunya, kemudian beranjak ke isu kesehatan, lingkungan, kekerasan terhadap anak, dan berbagai kegiatan lain.

Klik untuk melihat kegiatan CSCD lainnya

Dana untuk menjalankan kegiatan di CSCD murni didapatkan dari usaha kreatif para relawannya. Berjual suvenir, menjadi reseller bekerja sama dengan UMKM lain, termasuk diantaranya melakukan penggalangan dana dengan menjual baju preloved.

 

Lama untukmu, Baru untukku

Lama belajar di kelas-kelas teologi, mengajarkan Roni tentang hidup sederhana. Selama ini menurutnya manusia terlalu banyak memiliki hal-hal lebih dari yang dibutuhkan. Orang hidup dengan ambisi-ambisi kepemilikan melebihi kebutuhan. Para biksu dan biksuni adalah contoh kesederhanaan yang sering kali dicontohkan oleh para dosennya di bangku kuliah. Mereka memakai pakaian serupa seumur hidup dan tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Biksu dan biksuni juga makan makanan seadanya. Hal-hal tersebut terpatri di benak Roni dan menjadi kompas hidupnya.

 

Roni mulai memperhatikan bagaimana orang memiliki kecenderungan berbelanja bukan yang dibutuhkan, tetapi diinginkan. Tidak ada yang salah ketika kondisi bumi ini sudah seimbang, tidak ada lagi orang yang membeli kebutuhan pokok saja tidak sanggup. Tidak adil saja rasanya kalau kita hidup berlebihan, sementara di sekeliling kita masih ada yang berkekurangan.

 

Suatu hari Roni dan kawan-kawannya pernah melakukan aksi di Pantai Nunsui di Kupang dan di sana dia melihat ada begitu banyak baju bekas berserakan di sepanjang pasirnya. Pemandangan tersebut menyayat hatinya. Alangkah ironis, sementara masih banyak orang yang berjuang untuk bisa memakai pakaian yang layak, tetapi sebaliknya, ada orang-orang yang berkelebihan dan mencampakkan begitu saja pakaian yang sudah tidak terpakai. Bahkan mungkin di dalam lemari-lemari pakaian mereka juga ada puluhan bahkan ratusan tumpukan pakaian yang tidak terpakai.

Kenangan akan serakan sampah tekstil di pantai tersebut memicu Roni untuk memulai kampanye pengurangan sampah pakaiannya. Program pertama yang dilakukan Roni adalah membuat proyek tukar pakaian. Lama dan baru adalah perspektif saja menurutnya. Hal-hal yang kita sebut lama mungkin karena kita terlalu sering melihatnya berada disekitar kita. Benda-benda lama bisa saja menjadi baru bagi orang lain yang belum pernah melihat dan memakainya. Bahkan bisa jadi seseorang menginginkan benda yang kita anggap lama dan akan dicampakkan.

Batukar Baju Natal adalah salah satu programnya di tahun 2023. Di Kupang yang mayoritas dihuni oleh masyarakat beragama Kristen dan Katolik, daya belanja pakaian menjelang Natal memang terbilang tinggi. Orang berbondong-bondong ke toko pakaian, mencari baju baru untuk dipakai di hari Natal. Kebiasaan menjelang Natal ini yang oleh Roni diincarnya sebagai awal gerakan perubahan. Selain dapat menghemat pengeluaran, bertukar pakaian juga membantu menyelamatkan lingkungan, menurut Roni.

 

Batukar Baju Natal ini dilakukan di Kupang untuk mengajak masyarakat mengurangi pembelian baju baru dan memilih untuk menukar baju mereka dengan orang lain. Tujuan program ini adalah untuk menghindari penumpukan baju yang mungkin hanya akan dipakai oleh seseorang satu kali setahun. Limbah tekstil ini akan menjadi masalah yang serius untuk kota Kupang, menurut Roni.

 

Selain itu, kegiatan lain yang dilakukan oleh Roni dan kawan-kawannya adalah Bongkar Pasang. Relawan di CSCD dan masyarakat diajak untuk menyumbangkan pakaian pantas pakai. Pakaian tersebut, kemudian disortir oleh tim dan dijual di salah satu pasar lokal di Kupang. Uang sebesar kurang lebih dua juta rupiah yang diperoleh dari kegiatan tersebut sepenuhnya digunakan untuk membiayai operasional CSCD.

Jangan sampai ketinggalan event Bongkar Pasang selanjutnya, klik akun Kampanye #BongkarPasang

 

Bergerak Bersama Wujudkan Cita

Meskipun mendapatkan dukungan penuh dari keluarganya, tetapi Roni sadar bahwa gerakannya akan sangat lambat jika dilakukan sendirian. Maka perlahan-lahan dia merekrut kawan-kawan terdekatnya untuk ikut bergabung. Berawal dari halaman rumah ayahnya, Roni dan kawan-kawan bergerak mencari titik-titik lain untuk membuka kegiatan ‘batukar pakaian’ dan donasi pakaian preloved.

 

Saat ini, berkembang dari membuka lapak baju preloved sebagai ruang untuk mencari dana agar dapat mendanai kegiatan di CSCD, Roni juga mulai menggunakan titik-titik kegiatannya sebagai perpustakaan terbuka. Setiap kali beracara di manapun, mereka membawa buku yang bisa diakses secara gratis oleh siapapun.

 

Salah satu mimpi penggemar berat Theresia Rumte dan Felix Nesi ini adalah memiliki pendanaan yang lebih ajeg agar bisa membuka sekolah non formal seperti Sekolah Salam di Yogyakarta. Laki-laki yang memang senang berkegiatan sosial sejak kecil ini ingin membuat sekolah dengan kurikulum merdeka yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak di NTT, khususnya Kupang.

 

Tentang Penulis:
Dian Purnomo adalah seorang penulis dan periset yang memiliki perhatian khusus pada isu-isu sosial dan lingkungan. Klik untuk melihat profil lengkap Dian Purnomo.

Kehilangan sesuatu yang bermakna dalam hidup kita selalu terasa menyakitkan. Tapi kehilangan juga mempertemukan kita pada hal baru. Meski kadang butuh waktu lama untuk menyadari dan menikmatinya. Cerita ini adalah tentang Farida Dwi yang lebih karib disapa Wiwi, seorang perempuan asal Banjarnegara, pemilik Lady Farmer Coffee.

 

Lady Farmer Coffee tak cuma dibuat untuk memproduksi kopi yang enak. Tapi juga memberdayakan petani kopi perempuan. Mereka dibatasi ruang belajar untuk mengolah kopi dengan baik, dipersulit ketika mencari pupuk, yang membuat kopinya tidak tumbuh dengan baik sehingga biji kopinya dibeli dengan harga murah.

Kejadian serupa juga terjadi di banyak negara penghasil kopi lain di dunia. Ketidakadilan gender bahkan sampai di ruang-ruang pertanian kopi.

Wiwi berharap Lady Farmer Coffee yang mengedepankan keramahan lingkungan, memberikan harapan pada petani kopi perempuan di Banjarnegara, bisa punya ruang belajar lebih luas, mengembangkan bisnis di industri kopi, dan mampu bersaing dengan pengusaha kopi lainnya.

Cerita Wiwi mungkin juga cerita kita semua, yang sedang berusaha tidak terjatuh ketika sedang kehilangan, tapi justru membidas dan terbang lebih tinggi lagi.

 

Mereka yang Hilang

Kehilangan adalah hal yang paling ditakuti Wiwi. Dia takut kehilangan orang-orang tersayang yang memiliki pengaruh besar dalam hidupnya. Mereka adalah Ibu, Nenek, dan Pacarnya. Sayangnya dari daftar orang-orang tersebut, saat ini hanya satu yang Wiwi masih bisa sentuh dan peluk.

Neneknya meninggal karena kanker hati di awal tahun 2020. Bagi Wiwi, Uti, begitu dia biasa memanggil sang nenek, adalah orang terdekat dalam hidupnya. Dia yang mengenalkan Wiwi pada dunia kecil yang kaya di desanya. Memetik kopi, memancing, berkebun, berdagang, semua adalah pelajaran berharga yang diajarkan Uti padanya.

Dengan semua pelajaran dari Uti, Wiwi kecil sudah memiliki tekad bulan menjadi petani. Sang Nenek dengan cara yang sederhana dan menyenangkan membuat bertani tampak seperti sesuatu yang agung dan indah.

 

Uti juga yang mengenalkannya pada suara tonggeret yang terdengar seperti alarm menjelang kemarau. Sekarang suara tonggeret sudah tidak didengarnya lagi di kampungnya. Keheningan ini terasa menakutkan buat Wiwi.

Teriakan tonggeret yang nyaring adalah kawan masa kecilnya. Ingatannya yang indah tentang kampungnya, berisi suara tonggeret di dalam daftar keindahan tersebut. Entah karena mereka lelah berteriak, atau tonggeret sendiri bingung kenapa kemarau begitu lama dan musim hujan hanya singgah sesaat saja, sehingga dia memutuskan untuk diam, takut salah memberi informasi.

Bersama Uti, Wiwi kecil menghabiskan banyak waktu menyusuri kebun di belakang rumahnya tanpa membawa bekal apapun. Alam menyediakan minum air bersih yang rasanya manis dari sebuah mata air di kampungnya. Konon menurut Wiwi, bahkan rasanya lebih manis dari air mineral yang mengaku ada manis-manisnya.

Singkong di kebunnya juga paling istimewa. Ketika baru dicabut, lemparkan saja ke nyala api, maka sesaat aroma nikmat singkong bakar akan segera menggoda hidung dan mengirimkan sinyal lapar ke perut. Air manis dan singkong legit itu, sekarang juga hilang.

Air dari mata air itu bahkan sudah tak ada yang berani meminumnya karena warga desa tahu mungkin tanah dimana air tersebut berasal sudah tercemar pestisida, sementara singkong, entah bagaimana menjelaskannya, tapi rasanya tak selegit ketika dia masih kanak-kanak dulu.

 

Belum selesai mengobati kehilangannya akan Uti, Wiwi kembali harus kehilangan sang kekasih. Pandemi Covid-19 merenggut pacarnya, delapan bulan menjelang pernikahan mereka. Rencana pernikahan selamanya akan terus menjadi rencana.

Hanya tinggal ibunya sekarang, yang tinggal agak jauh dari rumahnya.

Menghadapi kehilangan demi kehilangan tersebut, Wiwi menjadi lebih sensitif menggunakan inderanya untuk mengendus hal-hal yang selama ini terlewat begitu saja darinya. Setelah menyelesaikan kuliah dan kembali ke kampung halamannya di dusun Karangkobar, Banjarnegara.

Di desanya, Wiwi menyadari bahwa ada lebih banyak yang hilang dibanding yang dia pikirkan selama ini.

 

Kelekatannya dengan kopi membuat Wiwi bisa membedakan rasa kopi yang dulu dan sekarang. Kopi yang ada di dalam memori masa kecilnya begitu nikmat dan gurih. Tapi kopi yang sekarang dijual rasanya tidak sama. Karena berasal dari biji kopi terus menerus dipaksa berbuah demi memenuhi standar angka pencapaian panen. Bukan rasa.

 

Yang Hilang dan Datang

Cerita-cerita tentang kehilangan sering kali juga berarti cerita tentang hal baru yang datang dalam hidup kita. Sayangnya hal-hal baru tidak selalu lebih baik atau bahkan setidaknya menggantikan yang lama seperti sebelumnya. Itu yang Wiwi lihat belakangan ini terjadi di kampungnya.

Sepanjang ingatan Wiwi, dia mengingat kalau di masa kecilnya ada orang-orang tua hanya mengeluhkan penyakit pinggang karena kebanyakan bekerja di kebun. Atau sakit dada karena rokok tak putus di tangan. Tapi sekarang ini, penyakit-penyakit yang dulu dianggap sebagai penyakit orang kota, penyakit orang kaya, penyakit yang jauh dari jangkauan, perlahan mendekat memasuki rumah-rumah di kampungnya.

Seseorang terkena asam urat, kolesterol, tumor, hingga kanker, mulai menjadi berita yang jamak didengar. Termasuk nenek Wiwi sendiri. Semua penyakit tersebut masuk dalam klasifikasi penyakit tidak menular, artinya tidak ada yang bisa disalahkan karena telah menularkan.

Tetapi kebiasaan yang berubah, gaya hidup yang berbeda, pola makan, serta asupan yang masuk ke dalam perut lah yang kemudian oleh Wiwi dari bacaan yang diperolehnya, disangkakan menjadi penyebab penyakit yang berdatangan tersebut.

Wiwi tentu masih harus menjalani serangkaian penelitian yang lebih mendalam jika ingin menuduh pestisida atau racun-racun lain yang digunakan di dunia pertanian di kampungnya sebagai penyebab utama atau bahkan satu-satunya. Dan tuduhan-tuduhan kecil tersebut menimbulkan ketakutan pada hal-hal yang dulu tidak pernah terlintas di benaknya.

Dulu Wiwi kecil makan sayur dengan lahap. Tetapi setelah melalui sepetak luas kebun kol yang sedang disemprot pestisida untuk menghilangkan hama pengganggu, Wiwi kehilangan selera makan atas kol dan sayur lain. Bukan hanya kehilangan, dia bahkan takut makan sayur. Rasa kopi yang berubah pun, Wiwi beranggapan bahwa ada kontribusi pestisida di dalamnya.

 

Yang Hilang Berganti

Meratapi kehilangan adalah sesuatu yang tidak dilakukan oleh Wiwi. Kesedihannya menjadi energi yang membuatnya terus berkarya. Dia tidak tahu apakah tonggeret suatu saat akan nyaring berbunyi lagi di desanya, apakah air dari mata air yang manis itu akan kembali manis, singkong menjadi legit kembali, dia tidak tahu.

Yang dia tahu pasti, jika hanya diam, meratap, dan tidak melakukan apapun, maka akan semakin banyak kehilangan yang akan ditemuinya. Dengan keyakinan tersebut, Wiwi memutuskan memulai perjuangannya.

Ijazah sarjana hukum yang dimilikinya menjadi bekal yang mungkin suatu saat akan digunakan. Tetapi yang pasti dia akan gunakan saat ini adalah kecintaannya pada kampungnya, kerinduan pada alam yang bersih lestari, segala yang indah, baik, dan enak, semua yang dikenalkannya oleh Uti, dan pengetahuannya yang masih terbatas soal pertanian.

Bersama sepupunya, tempat dia mencurahkan segala perasaan, Wiwi memulai dari pekarangan rumahnya sendiri. Kopi adalah tanaman pertama yang digarapnya.

 

Wiwi menyadari bahwa menjadi petani bukan hal mudah. Kehidupan pertanian sering kali berlabuh dan bersandar pada hal-hal di luar kuasa manusia. Musim dan cuaca adalah diantaranya. Musim yang berubah, hujan dan panas yang tidak bisa diterka kapan datangnya, menjadi tantangan utama bertani saat ini.

Pada masyarakat yang cenderung melihat keberhasilan dari materi, tekanan lain menghimpitnya kiri kanan. "Mana hasilmu?" tanya orang-orang ketika tak kunjung melihat adanya perubahan pada rumah Wiwi.

Di desa sudah menjadi kebiasaan jika setelah panen petani akan membeli sesuatu seperti kendaraan, atau peralatan rumah tangga mewah lain, untuk menjadi kenang-kenangan keberhasilan musim panen tersebut. Sedangkan Wiwi memang tidak berorientasi ke arah sana. Maka kemudian dipertanyakan lah keberhasilannya.

Sempat Wiwi menyerah. Berbekal uang saku yang dia pikir cukup untuk tinggal beberapa hari di ibukota, Wiwi merantau mencari pekerjaan. Tetapi tiga malam menginap di bilangan Blok M, Jakarta, kepalanya pusing luar biasa. Melihat kendaraan lalu lalang menghamburkan karbon ke udara, dia merasa jeri.

Belum lagi ketika uang saku yang dipikirnya cukup, rupanya sangat tak bermakna di Jakarta, karena semua harga berkali-kali lipat lebih mahal dari yang diperkirakannya, membuat dia harus pulang lebih cepat. Kali ini Wiwi pulang dengan keyakinan untuk menjadi petani yang berhasil dengan tetap mempraktikkan cara-cara baik yang tidak mengotori alam.

Salah satu kenangan yang ditinggalkan oleh Uti adalah tentang bagaimana sang nenek selalu menggunakan kotoran sapi dan kambing sebagai pupuk. Rabuk, demikian Uti menyebutnya.

Bahkan di kala itu pun Uti sudah mengatakan, kalau sebetulnya alam sudah menyediakan semua yang dibutuhkan manusia. Memakai pupuk kimia mungkin memang dapat mengusir hama lebih cepat, tetapi di saat yang sama, dia menyongsong kematian manusia dengan lebih cepat.

Pernah Wiwi merasa sangat putus asa. Ketika dengan susah payah upayanya merabuk tanaman dengan kotoran hewan  kemudian berbuah kesia-siaan. Hama tetangga yang diusir dengan pupuk kimia, tentu saja menganggap kotoran hewan sebagai hal yang sepele. Maka ke kebun Wiwi lah mereka semua berlari.

Hasil panennya gagal. Buah bit yang ditanamnya dimakan tikus, bunga kopinya rusak, dan daun-daun juga dimakan ulat.

Pengalaman tersebut membuat Wiwi mencoba mendekati petani lain, berusaha meyakinkan mereka untuk mengikuti upaya yang dilakukannya. Karena bekerja sendiri saja, tentu sangat berat di tengah kepungan petani yang memakai zat kimia.

Sebetulnya di masa kecil Wiwi, ketika Utinya sering mengajak berjalan keliling kampung, dia ingat hampir semua orang menggunakan pupuk dari kotoran hewan. Ingatan masa lalu itu yang Wiwi sedang coba bangkitkan kembali di kampungnya.

Langkahnya tidak pernah mudah. Tetapi memang tidak ada yang menjanjikan kemudahan bagi mereka yang memulai perubahan. Tapi Wiwi tidak mudah menyerah.

Dia “merayu” petani lain dengan membuat konten-konten berkebun. Cara menanam sayuran rumahan seperti pokcoy, labu botol, bunga telang, buah beet, lobak, dan sebagainya. Dia juga membuat konten cara membuat makanan yang aneh-aneh seperti selai bunga mawar, untuk membuat orang tertarik pada apa yang dikerjakannya.

 

Wiwi yakin perlahan-lahan orang akan melihat perbedaan Satu hal yang dia yakini, dia berada di jalan yang benar. Lady Farmer Coffee yang menjadi brand miliknya dan sepupunya, akan membuktikan hal tersebut. Perjuangan Wiwi, telah dilirik oleh beberapa media yang mendukungnya. Klik untuk melihat produk Lady Farmer Coffee. Saat ini Wiwi sangat berharap perlahan-lahan petani di sekitar dusunnya yang kembali ke cara-cara alami untuk merawat tanaman.

 

Kerusakan alam yang terjadi, berpengaruh besar pada berubahnya rasa makanan, minuman yang dinikmati manusia. Alam tidak pernah tidur. Dia mengembalikan apa yang manusia berikan padanya. Maka memberikan yang terbaik bagi alam, sebetulnya sama seperti memberikan kebaikan untuk diri kita sendiri.

 

Tentang Penulis:
Dian Purnomo adalah seorang penulis dan periset yang memiliki perhatian khusus pada isu-isu sosial dan lingkungan. Klik untuk melihat profil lengkap Dian Purnomo.

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram