Hafijal, Pejuang Muda dari Aceh Barat Daya

Jiwa Pejuang yang Mengalir dalam Darah

Jika ada yang mengatakan bahwa setiap manusia terlahir putih, dan keluarga adalah coretan pertama di dalamnya, maka sosok Hafijal digambar dengan sangat indah dan kuat oleh keluarga dan komunitas dimana dia tumbuh. Laki-laki yang biasa dipanggil Hapi dan telah tiga kali ganti nama di masa kecilnya ini, lahir dan besar di lingkungan keluarga yang pejuang. Ayah dan kakak-kakaknya adalah aktivis gerakan perlawanan dan pembebasan yang berhadap-hadapan langsung dengan negara. Cap sebagai orang-orang yang makar sering disematkan pada keluarganya. Bahkan oleh aparat rumahnya disematkan tanda silang merah menggunakan cat semprot.

Sementara itu, ibunya berjuang dengan cara berbeda. Dia memberi ruang pada seluruh keluarganya untuk memperjuangkan keadilan, sementara peran-peran sebagai pencari nafkah dan mengurus keluarga dia emban sendiri, ketika ayahnya sedang tidak ada. “Ibu sampai harus panjat-panjat pohon pala dan terkadang jadi buruh tani untuk menafkahi anak-anaknya,” kenang Hapi akan perjuangan ibunya. Sekalipun dia tidak pernah mendengar ibunya mengeluh.

Awalnya Hapi tidak melihat contoh-contoh yang diberikan keluarganya ini sebagai akar yang membentuknya menjadi seperti saat ini dan penyebab memilih jalan sunyi untuk berjuang. Dia berpikir bahwa demikianlah kehidupan menjadi mahasiswa, aktivisme adalah bagian yang tak terpisahkan darinya.

Tapi rupanya, ketika melihat sekeliling, dan tidak semua kawan menjadi aktivis, selain itu, juga tidak semua tergerak untuk menyuarakan keluhan rakyat, sementara sebagian lebih memilih menjadi aktivis event organizer, yang hanya disibukkan dengan kegiatan-kegiatan seremonial belaka. Ada juga yang menjadi aktivis karena agenda pribadi di belakangnya, untuk meraih kesuksesan karir baik di dunia politik, pemerintahan maupun swasta, maka penggemar tim sepak bola Real Madrid ini baru berpikir ulang.

Butuh waktu bagi Hapi untuk menyadari bahwa dia berbeda dan sedikit keras kepala.

“Kita tahu lah Kak, banyak anak BEM ini yang didekati oleh partai-partai, banyak kakak senior dari berbagai partai yang sepertinya mau menjadikan BEM sebagai alat untuk kaderisasi. Buat beberapa orang, hal itu dianggap biasa. Tapi aku nggak bisa kak. Justru ketika di BEM ini lah harusnya kita punya kebebasan. Jangan justru mau diperalat sama partai,” tuturnya dengan penuh semangat.

Hapi sendiri awalnya agak terkejut dengan responnya terhadap bujukan-bujukan partai untuk menjadi kader mereka. Dia tidak tahu mengapa dia sekeras kepala itu. Sementara ada banyak kawannya yang memilih untuk mengikuti jalur kaderisasi partai, meskipun secara ideologi tidak lagi sejalan dengan semangat organisasi di awal.

Pertemuan dengan para Changemakers di Batang, Jawa Tengah, dalam sebuah acara Storytelling Camp membuat matanya terbuka untuk menyusuri perjalanan ceritanya sendiri. Sakdiyah Ma’ruf yang ketika itu memfasilitasi program, mengajak semua peserta untuk berkali-kali menengok ke dalam diri, melihat sejarah, untuk mencari tahu akar mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan saat ini. Karena Sakdiyah percaya bahwa semua hal pasti lah ada penyebabnya.

Setelah melalui perenungan singkat dengan membuat sungai kehidupan, anak ke-6 dari tujuh bersaudara ini akhirnya sadar bahwa pilihan jalan hidup seperti sekarang ini, adalah karena andil besar ayah, ibu, dan kakak-kakaknya yang telah melukis di atas kertas kosongnya.

Kegiatan aktivisme yang dilakukan oleh keluarganya dengan taruhan nyawa dalam melawan Pemerintah yang memperlakukan masyarakat secara tidak adil, terus menerus memperlebar kesenjangan, membuat masyarakat tenggelam dalam kemiskinan yang cukup serius di Aceh, menimbulkan kemarahan tersebut.

Dulu Hapi berpikir bahwa hidup itu memang demikian, setiap keluarga selalu ada garis takdirnya, tanpa tahu dengan detail apa yang dilakukan oleh keluarganya. Setelah refleksinya tentang sejarah hidup yang dia lalui, penggemar Kopi Sanger ini mulai berpikir berbeda dan menemukan alasan kenapa memilih jalan gerakan in dan sedikit sulit diajak berkompromi.

 

Aktivis Tanpa Kompromi

Hapi menempuh pendidikan tingginya di Banda Aceh. Sekitar delapan jam berkendara dari kampung kelahirannya di Aceh Barat Daya. Jauh dari rumah, ia tidak bisa meninggalkan akar di tempatnya yang baru tersebut. Di Banda Aceh Hapi aktif di berbagai kegiatan kampus, termasuk diantaranya menjadi ketua BEM FISIP di kampus, ketua paguyuban mahasiswa yang berasal dari Aceh Barat Daya, dan berbagai peran lain di kampus.

Di kegiatan-kegiatan kampus yang diikutinya, Hapi selalu merasa bahwa ketertarikan terbesarnya adalah pada upaya melawan ketidakadilan dan memperpendek kesenjangan antara si miskin dan si kaya. Persis seperti yang diperjuangkan keluarganya.

Salah seorang senior yang cukup dekat dengan Hapi pernah mengajaknya berefleksi tentang akan menjadi apa di kemudian hari. “Kenapa Kau nggak mau kompromi dengan senior? Atau kalau ada abang-abang kita yang sudah jadi politisi, kenapa kau bawaannya selalu melawan?”

Hal ini pernah menjadi pemikiran Hapi. Dia merasa jika menemui politisi yang ada agenda tertentu ketika menghadapi mahasiswa, maka jiwa pemberontaknya tidak dapat diredam lagi. “Salah satu kemewahan yang dimiliki anak muda adalah idealisme dan perlawanan.” Begitu pikirnya. Kalau idealisme saja sudah tidak punya, mungkin kita perlu malu pada orang-orang tua kita yang sudah lebih dulu melakukan perlawanan.

Tantangan kemudian muncul, ketika kemewahan menyandang gelar mahasiswa itu berakhir. Begitu menyelesaikan kuliah, Hapi mulai mencari wadah perlawanan untuk melanjutkan idealisme dan cita-citanya. “Di sini aku jumpa dengan Bang Hafid. Dia dulu di Mata, sekarang di LBH Banda Aceh,” tutur Hapi. Bang Hafid inilah yang mengarahkannya pada beberapa pilihan.

Kalau suka belajar, punya jiwa akademisi, jadilah dosen. Kalau hobi politik, tidak hitam-putih, jadilah politisi. Tapi kalau hobi membangkang masih akan diteruskan, hiduplah di LSM. Hapi memilih yang terakhir. Meskipun cita-cita menjadi pengajar tetap masih digenggamnya untuk simpanan tujuan hidup berikutnya.

Karena dia prihatin pada kondisi Aceh. Para akademisi sepertinya berada di menara sunyi yang tidak menginjak bumi. Demo besar Darurat Demokrasi tahun lalu adalah salah satu contohnya. Dengan mata kepala sendiri dia melihat kawan-kawannya menjadi korban polisi, dan para akademis diam saja, bersembunyi di balik meja besarnya.

 

Tsunami Pengkhianatan Negara

Tahun 2020 bersamaan ketika lulus ujian skripsi, Hapi mulai mencoba menawar-nawar pemikiran. Dia memilih jurusan politik bukan tanpa sebab. Dia paling tidak suka jika harus berpikir bahwa politik adalah kotor. Meskipun semakin memelajari dan mendalaminya, dia memang tidak menemukan kemungkinan untuk menjadi hitam-putih di dunia politik. Sementara menjadi penjilat dan penjahat, tidak pernah ada di dalam kamus hidupnya.

Di sini Hapi mencoba mencari jawaban atas apa masalah terbesar yang dia bisa berikan kontribusinya terhadap negerinya. Dari sekian banyak masalah yang muncul di bumi pertiwi ini, salah satu masalah terbesarnya justru diciptakan oleh penguasa, demikian menurut Hapi.

Selama Pemerintah tidak berkomitmen untuk merealisasikan apa yang mereka janjikan, maka selamanya rakyat akan bergolak, dan terus berada di dalam kondisi terburuk dan melakukan perlawanan.

“Cara lihatnya paling gampangnya gini. Pemerintah ini suka cek ombak. Bikin aturan lah, yang menguntungkan mereka, tetapi jelas merugikan rakyat. Kalau tidak ada perlawanan, mereka bilang, ‘oh, rakyat diam saja. Lanjutkan.’ Tapi, kalau rakyat bikin perlawanan, mereka lihat, berpotensi rusuh tidak ya, kalau tidak, lanjutkan. Tapi kalau potensi rusuh, baru hentikan. Begitu terus. Jadi Pemerintah ini tidak menganggap masyarakat, rakyat, pemilih mereka secara serius. Semua kebijakan dibuat berdasarkan pertimbangan keuntungan mereka sendiri,” terang Hapi berapi-api.

Aceh sendiri memiliki sejarah perlawanan yang lebih panjang dibanding wilayah-wilayah lain. Dan nampak sekali bahwa upaya pemerintah untuk menyelesaikannya tidak pernah serius. Hapi mengumpamakan Pemerintah ini seperti memberikan tsunami kebohongan dan pengkhianatan pada rakyat.

Otonomi daerah adalah salah satunya. Otonomi yang diberikan pada Aceh menurut Hapi layaknya imajinasi. Hanya di awal saja pemerintah seolah memberikan perhatian dan janji pada Pemerintah Daerah, tapi kemudian semua kembali ditarik ke pusat lagi. “Jadi sebetulnya pemerintah pusat sendiri yang mencari perkara,” lanjutnya.

Seandainya Pemerintah memenuhi janjinya, termasuk janji untuk memenuhi hak korban di dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan bukan justru berupaya untuk membubarkannya, rasanya rakyat akan mulai memupuk kepercayaan pada Pemerintah.

“Kondisi Aceh ini sulit. Kami masih terus dalam keadaan miskin. Kami berada di ujung negeri, pintu masuk pertahan negara, salah satunya ada di kami. Tapi lalu kami diperlakukan seperti ini. Merdeka dihalangi, dirangkul tapi tidak dipelihara, kekayaannya dieksploitasi, masyarakatnya dibiarkan miskin dan bodoh. Maka jika Pemerintah terus seperti ini, hal-hal yang terburuk seperti yang terjadi di masa lalu akan sulit untuk dibendung lagi,” tambahnya.

 

Jalan Ninja Perlawanan

Terlepas dari banyak hal yang dikeluhkan dan disesalkan oleh Hapi dan kawan-kawan mudanya di Banda Aceh, mereka menyadari bahwa mengeluh saja tidak akan menyelesaikan masalah. Perlawanan harus terus dilakukan dengan cara-cara yang tepat. Sekolah Anti Korupsi adalah salah satu jalur perlawanan yang ditempuh oleh Hapi. Setelah mendapatkan materi secara daring di kelas-kelas anti korupsi, Hapi memanfaatkan paguyuban mahasiswanya sebagai kendaraan.

Di Aceh ini, ada banyak mahasiswa yang pulang ke kampung dengan mendapatkan stigma miring, sebagai generasi yang pulang dengan tangan hampa. Bahkan ada komentar yang mengatakan bahwa sebaiknya anak muda tidak usah pergi sekolah ke kota, langsung kerja saja, karena toh tidak ada bedanya dengan sebelum berangkat ke kota. Hal ini meresahkan Hapi.

Maka dia mengajak kawan-kawan dari kampungnya untuk mengisi diri dengan pengetahuan tentang anggaran desa. “Waktu itu (2021) kebetulan isu-isu korupsi Dana Desa juga sedang marak di Aceh,” paparnya. “Dengan modal pemahaman tentang penganggaran dana desa, aku berharap kawan-kawan sarjana itu menjadi lebih kritis terhadap apa yang terjadi di desanya,” imbuhnya.

Selain itu, Hapi berusaha untuk menjadi mitra diskusi bagi Wakil Ketua DPRD dari partai lokal di daerahnya. Orang tersebut secara jujur membuka diri pada anak-anak muda dari wilayahnya, mengatakan bahwa ilmu mereka memang tidak mumpuni. Mereka tidak pernah mengenyam bangku kuliah. “SH saja Abang ini. Sarjana Hutan,” kelakar mereka.

Hal-hal seperti ini yang sangat dinantikan oleh Hapi, seorang pemimpin yang baik, haruslah juga orang yang memiliki kemampuan mengakui kelemahan dan membuka diri untuk perubahan.

Beberapa diskusi sudah mereka lakukan, termasuk upaya Hapi dan kawan-kawannya untuk mengadvokasi refocusing anggaran yang tidak tepat. “Kita anak muda ini sering disepelekan, diintimidasi, dianggap tidak tahu apa-apa. Nanti kalau kita paparkan apa yang kita ketahui dan ternyata benar, sebetulnya aparat sendiri ya malu, kan?” tanya Hapi. Ini yang membulatkan keberanian dan tekadnya untuk terus melakukan perlawanan dengan berjalan beriringan dengan mereka yang terbuka pada perubahan.

Dia tahu jalan perjuangan panjang masih membentang di depan mata. Mewujudkan Aceh yang adil makmur, semakin tipisnya kesenjangan kesejahteraan antara si miskin dan di kaya, masih jauh dari jangkauan. Pemerintahan demi pemerintahan yang terus berganti seakan belum memberikan janji akan perwujudan komitmen tersebut. Ini berarti masyarakat yang dalam hal ini diwakili anak muda harus terus mengupayakannya.

“Mungkin tidak akan berhasil sekarang. Mungkin harus menunggu sampai masa saya berlalu, lalu giliran yang lebih muda lainnya. Tetapi jika kita berhenti berusaha sekarang, apalagi menyerah dan menjadi bagian yang menghancurkan komitmen perwujudan masyarakat adil makmur, maka semakin jauh kita dari Indonesia yang kita cita-citakan,” katanya.

Saat ini, Hapi tetap bersikukuh menjadi aktivis, sembari memupuk ilmu dan mungkin bersekolah lagi agar bisa menjadi akademisi. Yang jelas idealismenya tidak akan berubah, mewujudkan Indonesia dan Aceh yang adil, makmur dan sejahtera.

 

Tentang Penulis:
Dian Purnomo adalah seorang penulis dan periset yang memiliki perhatian khusus pada isu-isu sosial dan lingkungan. Klik untuk melihat profil lengkap Dian Purnomo.

Lihat artikel lainnya

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram