Nuzul, Ber(t)ani Karena Benar

Anak Petani

Dilahirkan dari keluarga petani, yang bergenerasi-generasi di atasnya juga petani, Nuzul kecil melihat bekerja sebagai petani adalah takdir. Dia tidak akan lepas dari bertani, terlepas dari apapun cita-citanya. Lumpur, peluh, dan keluh adalah hal-hal yang terlalu sering dilihatnya dari petani-petani lain di desa Bulurejo. Ayah dan paman-pamannya adalah petani padi di desa yang terletak Jombang tersebut. Begitu pula kakeknya.

Sang ayah pernah menempuh pendidikan tinggi, kuliah di jurusan ilmu hukum, tetapi di tengah perjalanan terpaksa berhenti karena kecelakaan yang berakibat sakit cukup panjang. Selain itu, Kakek Nuzul juga selalu mengingatkan, bahwa apapun pendidikan seorang anak, dia tetap akan menuruni keahlian orang tua. “Karena orang tuamu petani, maka Kamu juga kelak akan menjadi petani,” katanya Kakeknya. Kalimat itu menguatkan sang ayah, bahwa berhenti kuliah tidak akan menghancurkan masa depannya, karena dia akan menjadi petani yang luar biasa, seperti generasi sebelumnya.

Awalnya Nuzul merasa malu. Banyak orang di sekitarnya yang mencemooh karena menurut mereka ayahnya mengajak anak perempuan ke sawah. “Bocah wadon ki didandani, ora malah kon nyusruh nang sawah, reget, panas,” (Anak perempuan itu didandanin, bukan malah disuruh nyebur ke sawah, kotor, panas.) kata mereka. Hal itu tidak menghentikan ayahnya. Bahkan sampai dia sudah duduk di bangku kuliah pun, sang ayah masih memintanya memetik cabe di sela-sela kesibukan mengerjakan tugas.

Cemoohan tentang kedekatannya dengan sawah dan petani tidak berhenti di kalangan teman saja. Dari keluarga besar di pihak ibunya juga banyak yang suka membanding-bandingkan. “Lihat itu sepupumu, dia sibuknya les ini itu, pergi main belajar bersama. Kamu kok mainnya ke sawah aja. Apa nggak capek badanmu?” begitu kurang lebih kata mereka. Respon yang berbeda dari keluarga Ibu dan Ayahnya sempat membuat Nuzul bimbang akan pilihan jalan hidupnya sendiri.

 

Petani Juga Perlu Sekolah

Gambaran bahwa menjadi petani adalah jauh dari kemakmuran, hidup susah, terus menerus ditanamkan oleh keluarga Ibu dan kebanyakan orang yang tinggal di kampungnya. Hal ini mau tidak mau memengaruhi pemikiran Nuzul. Ketika tamat SMP, banyak orang menyarankan Nuzul untuk masuk sekolah kejuruan. Biar mudah kalau mau cari kerja, demikian menurut pendapat banyak orang. Tapi ayahnya berpendapat lain. “Sekolah ya sekolah saja, cari ilmu. Tidak perlu memikirkan yang lain.”

Tamat SMA, Nuzul melanjutkan kuliah di kampus di bawah naungan yayasan yang sama dengan MA-nya dan mengambil jurusan agama. Ini juga karena dia mengingat apa kata Bapak. “Kalau cari jurusan, pilih yang memberimu pegangan seumur hidup, atau kalau jadi bekal kerja, ya bukan kerja yang jadi buruh.” Sebagai orang yang dibesarkan di desa dengan pendidikan tidak sampai sarjana, Ayah Nuzul berpikiran cukup progresif. Baginya sekolah tujuannya ya harus cari ilmu, dan bekerja pada orang lain, apapun jabatannya tetaplah jadi buruh namanya. Dengan ilmu harusnya orang bisa mengerjakan apapun.

Tidak seorangpun dari keluarga besarnya mengetahui kalau Nuzul kuliah, karena hari-hari ketika tidak sedang di kampus, dihabiskannya di sawah. Maka ketika akhirnya wisuda, neneknya malah bertanya, “Kamu kapan kuliahnya?”

Banyak orang beranggapan bahwa bertani tidak butuh pendidikan. Petani adalah pekerjaan paling sederhana dan mudah sehingga siapapun bisa melakukannya tanpa bekal ilmu. Namun tidak demikian dengan Nuzul. Dari pengalaman ayahnya, dia tahu bahwa bertani tidak mudah. Petani juga perlu bekal ilmu. Kegalauannya juga semakin bertambah karena kiri kanan kembali mulai menanyakan, setelah kuliah kok bukan kerja kantoran, tapi malah ke sawah lagi, jualan hasil pertanian, dan pertanyaan-pertanyaan klise serupa.

Perang batin belum berhenti di situ, karena neneknya terus mengingatkan pada cucu-cucunya, termasuk Nuzul, untuk tidak punya suami petani. “Jangan seperti ibumu, punya suami petani. Lihat, hidupnya susah.” Begitu selalu sang nenek mengingatkan. Sementara menurut ibunya sendiri, tidak apa-apa jadi petani atau suami petani, kalau tanahnya luas. Jadi hasilnya sesuai. Awalnya keluarga besar Ibu, memang tidak ada satupun yang menjadi petani. Tapi hal ini kemudian berubah. Belakangan setelah Mbah meninggal mereka juga kembali menjadi petani.

Hal ini sering membuat Nuzul berpikir, seburuk itukah menjadi petani? Sampai neneknya mengatakan hal tersebut. Bagi Nenek, menantu idaman adalah Aparatur Sipil Negara.

Sebagai anak petani kebimbangan terus menariknya ke dua kutub yang berseberangan tersebut. Hingga jawabannya menjadi jelas setelah Sang Ayah berpulang. Orang-orang yang selama ini menyepelekan ayahnya ketika beliau dengan gigih bertani, nyatanya tidak berkontribusi apapun terhadap hidup Nuzul. Maka dengan modal ilmu dan kebiasaan yang selama ini dibangunnya bersama Sang Ayah, anak pertama dari empat bersaudara ini memutuskan untuk melanjutkan mengurus sawah.

 

Bertani di Tengah Krisis Iklim

Berbekal kebiasaan-kebiasaan yang selama ini ditanamkan oleh Bapak, Nuzul memiliki modal dasar pengetahun tentang dunia pertanian, khususnya untuk bertani padi dan jagung. Di sini dia baru tahu bahwa menjadi petani sesungguhnya saat ini, di tengah krisis iklim yang semakin buruk, butuh keberanian luar biasa.

Hujan yang menjadi sahabat petani semakin sulit memegang janji. Dulu seingatnya, musim hujan selalu tepat waktu, sekarang tidak lagi. Maka jika hujan tak datang sementara sawah membutuhkan air, dia terpaksa membeli air dengan membayar lebih kurang 300 ribu per minggu pada Jogoboyo yang bertugas mengatur aliran air irigasi.

Sebenarnya pemerintah sudah mengatur pembagian air secara seimbang, satu dusun sekali aliran dalam sehari. Tetapi jika harus menunggu pembagian tersebut, maka sawahnya akan kekurangan air. Setiap dusun memiliki sawah yang cukup luas dan satu hari aliran air pun tidak akan mencukupi kebutuhan sawah-sawah yang ada. Maka untuk memenuhi kebutuhan air sawahnya, dia harus membayar sejumlah uang tersebut. Nuzul tidak sendirian, para petani lain juga harus melakukan hal yang sama untuk menjaga sawah tetap terendam air, agar panen tak gagal.

“Kalau untuk jagung sebetulnya lebih enak. Karena kebutuhan air jagung lebih sedikit. Dua-tiga minggu sekali kena air masih aman. Padi ini setiap hari harus tergenang air. Kalau tidak hasilnya jelek. Sekarang saja panen kita hasilnya sudah tinggal setengah dari yang dulu-dulu,” tutur Nuzul.

Menurunnya hasil panen, yang berarti mengurangi pendapatannya, tidak menyurutkan niat Nuzul untuk terus bertanam. Matanya justru semakin jeli melihat apa yang terjadi di sekeliling, dimana desanya sudah benar-benar berubah. Sawah-sawah yang dulu menjadi suguhan utamanya sejauh mata memandang, perlahan-lahan berkurang dan dialihfungsikan menjadi perumahan.

“Ini adalah masalah serius. Kalau sawahku aja berkurang setengah hasilnya dibanding dulu, terus sawah-sawah lain berubah jadi rumah, lama-lama kita bisa kekurangan makan,” katanya. Dan pemikiran Nuzul memang sangat valid. Kekurangan pangan akan menjadi isu serius di negara ini, jika sawah terus dialihfungsikan jadi perumahan atau pabrik, sementara makanan pokok mayoritas orang Indonesia adalah nasi.

 

Mempertahankan Desa Sebagai Sumber Kehidupan

Di tengah pemikiran-pemikiran tentang kondisi pertanian di desanya, mulai menyusutnya jumlah sawah, Nuzul yang selama ini aktif di beberapa komunitas, seperti Gusdurian, komunitas literasi, rumah pengetahuan Daulat Hijau, Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam, dan masih banyak lagi, berpikir untuk bisa berkontribusi lebih.

“Rata-rata teman dan saudaraku kuliah di kota. Orientasi mereka bekerja juga di Jakarta. Aku nggak bisa. Aku menemukan rumah di tempat kelahiranku. Aku mencintai desaku dan segala yang ada di dalamnya.”

Nuzul mulai memikirkan sebuah gerakan yang benar-benar berasal dari akar rumput. Murni berasal dari desanya sendiri. Selama ini Nuzul aktif mengajar di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat. Di sana dia bertemu dengan para ibu-ibu yang memiliki semangat tinggi buat belajar, tetapi tidak memiliki akses untuk bersekolah formal. Ruang ini yang Nuzul gunakan untuk menularkan semangatnya, anak desa membangun desa. Tetapi bukan dalam pengertian membuat desa menjadi seperti kota.

Hakikat desa sebagai sumber kehidupan dan penghidupan harus terus dijaga. Jika semua orang mau pergi ke kota, tidak ada lagi yang mau menanam, bertani, berladang, sementara orang tetap makan nasi, jagung, ubi, dan singkong, maka siapa yang akan menyediakan semua hal tersebut? Menjaga semangat ini tidak pernah mudah. Ditambah lagi kondisi alam yang semakin menantang.

Namun niat tersebut hingga saat ini masih terus menerus dipupuknya. Nuzul akan membuktikan pada siapapun yang dulu menjatuhkan mentalnya dengan olok-olok anak desa yang tidak pernah keluar dari Bulurejo, suatu saat akan membuat perubahan di desanya.

Bagi Nuzul sekarang, bertani selain sebagai upaya mengembalikan desa sebagai sumber kehidupan, tetapi secara pribadi, juga untuk terus menghidupkan semangat dan kenangan tentang ayahnya. Dia tahu ayahnya benar. Bertani bukan lagi pekerjaan turun temurun yang terpaksa dilakukan. Petani adalah pilihan hidup yang baik dan mulia.

 

Tentang Penulis:
Dian Purnomo adalah seorang penulis dan periset yang memiliki perhatian khusus pada isu-isu sosial dan lingkungan. Klik untuk melihat profil lengkap Dian Purnomo.

Lihat artikel lainnya

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram