Muhammad Raafi, Transformasi Korban Polusi Jadi Pejuang Lingkungan

Raafi vs Raffi

Pernah mendengar petisi yang menolak pembangunan resort Raffi Ahmad di Gunung Kidul? Muhammad Raafi adalah orang yang ada di belakangnya.

Sama-sama Ra(af)fi tapi beda banget arah hidupnya. Yang satu adalah selebrita yang sepertinya tidak memiliki kepedulian terhadap kondisi lingkungan, serta mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk diri sendiri. Satunya lagi adalah mahasiswa yang memiliki kepedulian dan kecintaan pada lingkungan dan menjejakkan kakinya di atas kebenaran.

Muhammad Raafi lahir tahun 2004 dan dibesarkan di Cilegon, sebuah kota industri yang sarat polusi. Ingatan tentang kota tersebut tidak jauh-jauh dari langit kelabu dan cuaca yang gerah.

Sampai tahun 2021, setidaknya ada 88 perusahaan industri besar dan menengah, termasuk diantaranya Krakatau Steel. PLTU Suralaya yang memasok listrik se-Jawa dan Bali juga berlokasi di Cilegon.

“Saya memang tidak pernah ingat Cilegon bebas polusi, tapi semakin ke sini semakin parah,” tuturnya. “Ruang terbuka hijau semakin berkurang, gedung perkantoran dan mall justru bertambah.”

Ada lima Mall di kota sekecil Cilegon saat ini. Sementara taman-taman bermain terbuka tidak terawat, kalau hujan rembes, rumputnya pun sintetis dan mengelupas. Di jalanan tidak ada lagi pohon. Tiang-tiang listrik dan lampu hias jalanan menancap menggantikan posisi pohon, yang tentu saja tidak bisa memerankan tugas menyerap CO2 dan meneduhkan orang yang lalu lalang di bawahnya.

Kesadaran Raafi pada kondisi lingkungannya yang rusak sudah muncul sejak SMP dan semakin menguat ketika masa pandemi. Ketika terpapar informasi di media sosial tentang bagaimana pandemi, berkurangnya kendaraan yang lewat di jalanan, menjadi berkah bagi beberapa kota. Ada yang memamerkan langit biru kotanya dengan bangga. Sementara itu, di balik jendela kamarnya, Raafi berusaha mencari pemandangan yang sama, tapi hasilnya nol.

 

Peran Keluarga

Sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, Raafi mendapatkan banyak pengaruh dari kakak dan ayahnya. Ayahnya adalah seorang buruh di salah satu perusahaan di Cilegon. Dia juga aktif di dalam gerakan buruh lokal untuk memperjuangkan upah, kesejahteraan pekerja, dan isu-isu ketenagakerjaan lain.

Ketika masih SMP dan sudah mulai masuk dalam grup WhatsApp keluarga, Raafi mulai terpapar oleh apa yang dikerjakan oleh ayahnya. Sang Ayah sering membagikan berita-berita dan cerita terkait perjuangan yang sedang dilakukannya. Ada demo ini, ada perjuangan itu, ada aksi ini, ada aksi itu, begitu beberapa berita yang dibagikan sang ayah di grup.

Berita-berita ini semakin bertambah ketika kakaknya sudah lebih dewasa dan mulai bergabung dalam gerakan-gerakan perjuangan penegakan keadilan, salah satunya adalah Kamisan.

 

Setiap hari Kamis, Kakak Raafi berangkat ke Serang, karena di Cilegon tidak ada Aksi Kamisan. Beberapa kali Raafi menyaksikan Ayah dan Kakaknya pulang dalam keadaan luka-luka atau setidaknya membawa cerita tentang bentrok yang terjadi ketika sedang aksi.

 

Perusahaan suka pakai preman untuk membuat demonstran pada mundur,” demikian kata Raafi menirukan apa yang disampaikan ayahnya.

Baju robek, muka lebam, adalah hal yang sering dilihatnya, tapi Raafi yang kala itu masih duduk di bangku SMP sedang berusaha mencerna apa yang terjadi.

Ketika memasuki bangku SMA, pengetahuannya tentang ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan mulai tumbuh lebih dari sekedar pengetahuan tentang buang sampah di tempatnya atau membawa tempat makan dan minum sendiri ketika bepergian.

Salah satu kelas kegiatan belajar yang diikutinya adalah Kelas Malam, yang diinisiasi oleh Blok Politik Pelajar, berisi koalisi pelajar yang bersama-sama belajar soal HAM, korupsi, feminisme, lingkungan, demo aman, dan sebagainya.

Di sinilah Raafi mendapatkan asupan ilmu dari orang-orang yang mumpuni di bidangnya. Kelas Malam inilah yang membuka mata Raafi lebih luas dari kesadaran sumbangan individu terhadap kerusakan lingkungan, sampai mengenal adanya sebuah sistem besar yang secara masif dan terstruktur menciptakan kerusakan lingkungan dan mereka harus dihentikan.

Satu hal yang Raafi syukuri dibesarkan sebagai keluarga demonstran adalah, dia jadi terbiasa melihat orang-orang terdekatnya memperjuangkan hal yang benar. Sementara dia tahu, ada banyak teman yang oleh keluarga mereka didoktrin bahwa demonstran adalah para perusuh yang merusak fasilitas umum, menyusahkan, dan sebagainya.

Sampai sekarang ketika Raafi akan mengikuti demo, karena tinggal jauh dari rumah, dia selalu memberi tahu seisi rumah di dalam grup keluarga.

“Cara Ibu mendukung itu khas ibu-ibu hari gini banget, dia pasang status di WA dengan tambahan kalimat, “semangat anakku!” gitu, Kak,” kata Raafi sambil tertawa.

 

Climate Rangers

Tahun 2022 Raafi meninggalkan Cilegon untuk kuliah di UGM, Yogyakarta. Jurusan Hubungan Internasional dipilihnya dengan alasan sederhana, agar lebih mudah mencari kerja di perusahaan internasional. Tapi rupanya semakin ke sini, Raafi tidak lagi punya keinginan bekerja di perusahaan profit. Dia lebih tertarik pada kerja-kerja kemanusiaan, khususnya di bidang lingkungan.

Di kampus, Raafi mengikuti kegiatan Indonesia Climate Change Initiative (ICCI) di divisi riset. Di sana dia kenal dengan berbagai komunitas, hingga akhirnya bergabung dengan Climate Rangers (CR) Jogja.

“Sebetulnya di ICCI juga seru, tapi karena dia di bawah bendera kampus kan, jadi memang ada banyak gerakan kita yang terbatas. Ada kepatuhan-kepatuhan yang harus dilaksanakan yang membuat ruang gerak kita kurang leluasa dalam memperjuangkan keadilan iklim,” kata Raafi menjelaskan kenapa dia akhirnya bergabung di CR.

Meskipun CR sendiri saat itu sedang dalam tahapan restrukturisasi karena banyak anggota yang pindah ke luar kota, dan Raafi sempat ragu apakah masuk ke komunitas ini adalah langkah yang tepat, tapi dia tetap nekad.

Dan benar saja, dua minggu setelah bergabung dengan komunitas yang bertujuan mendorong transisi energi yang adil dan tanpa penindasan ini, Raafi langsung diminta untuk bergabung ke Bali dalam program pelatihan Climate Rangers Camp.

Pengalaman mendapatkan pelatihan di Bali ini membuka perspektif Raafi tentang masalah struktural, separah apa kerusakan iklim yang sekarang sedang terjadi, bagaimana kita bisa memperjuangkannya, dan seterusnya. Uniknya, di Bali juga untuk pertama kalinya Raafi bertemu secara langsung dengan teman-teman CR Yogya lainnya.

“Pulang dari Bali kayak kebakar gitu energinya. Semakin punya landasan dan keyakinan untuk bergerak,” kata Raafi semangat.

Berjejaring dengan kawan-kawan dari berbagai wilayah, bersama-sama memetakan isu-isu lokal dan nasional membuat Raafi membuka mata lebih lebar. Karena sedang menjadi penghuni Yogyakarta, maka dia juga jadi melihat lebih dalam isu wisata di kota ini dari kacamata orang yang memiliki kepedulian lingkungan.

 

Membayangkan wisata yang menggunakan energi baru terbarukan, pasti keren sekali.

 

Dari sinilah Raafi kemudian ikut menengok ketika di Gunung Kidul ada sebuah rencana pembangunan resort yang mengancam kelestarian lingkungan di sana.

Petisi yang diinisiasinya didukung oleh lebih dari 74 ribu orang. Raafi kemudian juga mendapat ajakan berkoalisi dari teman-teman Gunung Kidul Melawan, WeSpeakUp.org dan 350. Ajakan ini tentu Raafi terima dengan penuh semangat.

Dengan semakin banyak pihak yang memberikan perhatian, petisi ini akhirnya mendapat respon dari Raffi Ahmad dan Bupati Gunung Kidul, Sunaryanto. Meskipun kedua orang yang menjadi target utama ini merespon dengan mengatakan bahwa Raffi tidak lagi terlibat dalam pembangunan resort tersebut, sementara Bupati mengatakan kalau proyek tersebut dihentikan, tapi di lapangan proyek yang berpotensi merusak lingkungan lainnya, terus dilanjutkan.

 

Panjang Umur Perjuangan

Perjuangan yang dilakukan Raafi dan kawan-kawan koalisi Gunung Kidul Melawan tampaknya belum akan berhenti dengan akhir bahagia, dengan di-notice-nya petisi mereka oleh Raffi Ahmad & Bupati.

 

Menyadari bahwa Gunung Kidul belum benar-benar merdeka dari kemungkinan perusakan lingkungan, membuat mereka harus mengubah strategi perjuangan.

 

Ada banyak sekali perusahaan yang mengincar Gunung Kidul sebagai lahan membangun proyek-proyek untuk mengeruk keuntungan. Jika menargetkan satu persatu perusahaan tersebut, maka energi yang dibutuhkan akan luar biasa besar.

Salah satu cara untuk mengupayakan terjaganya kelestarian Gunung Kidul adalah dengan membuat regulasi yang menjaga dan memastikan siapapun yang akan mendirikan usaha di kabupaten ini, harus taat pada aturan-aturan yang berlaku.

Saat ini Jevi Adhi, salah seorang penggerak Gunungkidul Melawan telah menuliskan sebuah buku untuk mendokumentasikan kerusakan di sana. Jevi memotret bagaimana perubahan yang terjadi di Gunungkidul sejak dia lahir hingga saat ini.

Jevi dan kawan-kawan Gunungkidul Melawan selain akan menggunakan buku ini sebagai salah satu sarana mendokumentasikan perubahan, juga agar memiliki alat advokasi supaya kerusakan tersebut dihentikan.

Raafi tahu perjuangannya masih panjang. Gunungkidul adalah salah satu titik awal “sekolah” perlawanan yang diikutinya.

Ujiannya mungkin akan bertubi-tubi, tapi kurikulumnya jelas, memperjuangkan kebenaran, kelestarian lingkungan, dan satu lagi, secara pribadi dia bisa dengan bangga mengatakan pada siapapun bahwa Ayah dan keluarganya telah memberikan contoh yang baik baginya.

Panjang umur perjuangan!

 

Tentang Penulis:
Dian Purnomo adalah seorang penulis dan periset yang memiliki perhatian khusus pada isu-isu sosial dan lingkungan. Klik untuk melihat profil lengkap Dian Purnomo.

Lihat artikel lainnya

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram