Sang Ibu Negara
Ibu negara adalah julukan yang diberikan oleh keluarga pada Stevi karena kesibukannya di luar rumah. Selain itu, Stevi juga paling sulit dibantah kalau bicara, menurut orang-orang yang suka menuduhnya sok sibuk. Padahal memang sibuk betulan.
Sejak duduk di bangku kuliah di Universitas Tadulako, dari tahun 2012, Stevi memang menghabiskan banyak waktunya untuk berorganisasi, berdiskusi, belajar filsafat, dan ikut aksi di Yayasan Tanah Merdeka. Keterlibatan Stevi di Tanah Merdeka sendiri sudah dimulai sejak SMA.
Awalnya Stevi dan kawan-kawan SMA-nya sering nongkrong di kantor yayasan tersebut karena wi-fi yang cepat dan tak terbatas. Dari sana lah perlahan-lahan mereka dilibatkan dalam berbagai aktivitas, termasuk aksi bagi-bagi bunga ke ibu pedagang pasar, turun ke komunitas, ikut beberapa aksi yang pernah berakhir keos, dan berbagai kegiatan lain.
Keterlibatannya sebagai relawan ketika menangani konflik, membuat mata Stevi menjadi lebih terbuka. Salah satu wilayah yang pertama didatanginya adalah di Morowali Utara. Waktu itu masyarakat sedang berkonflik terkait lahan sawit. Menghadapi satu konflik lahan ke konflik berikutnya, membuat Stevi semakin memantapkan langkahnya membersamai perjuangan masyarakat mempertahankan tanah dan ruang hidup mereka.
Julukan sebagai Ibu Negara di rumah semakin lengkap pula sekarang, setelah resmi menjadi staf Yayasan Tanah Merdeka. Saat ini Stevi lebih banyak tinggal di Kabupaten Morowali Utara, yang harus ditempuh selama 12 jam berkendara dari Palu. Sebulan 1-2 kali Stevi melintasi jarak tersebut, untuk berkoordinasi dengan kantor Yayasan Tanah Merdeka di Kota Palu.
Perempuan Desa Towara dan Kerusakan Lingkungan
Desa Towara terletak di Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Di desa ini satu-satunya sumber mata air adalah dari Sungai Putemata. Desa Towara terletak sedikit lebih rendah dari sungai tersebut. Sayangnya, sungai tersebut saat ini sudah tidak lagi dapat diandalkan sebagai sumber air bersih bagi warga.
Sampai hari ini AMDAL dari PT Bumanik belum pernah diperlihatkan ke masyarakat. Sementara kedua perusahaan ini baru menunjukkan setelah warga melakukan aksi. Itupun masyarakat tidak pernah mendapat sosialisasi ketika proses pembuatan AMDAL dilakukan.
Perusahaan-perusahaan ini sendiri sebetulnya sudah masuk sejak tahun 2014 dan melakukan pengeboran sebagai langkah awal dalam eksplorasi pertambangan nikel. PT Keinz Ventura resmi memulai operasi tahun 2021, tetapi warga pada saat itu tidak melakukan protes karena masih sangat awam soal pertambangan dan dampak buruknya. Selain itu, dengan embel-embel proyek pemerintah, maka masyarakat dibuat jadi harus tunduk, karena kalau melawan, berarti dianggap melawan Pemerintah.
Masyarakat terpaksa menjual lahan, sementara tidak sedikit yang tanahnya dirampas begitu saja karena tidak berdaya melakukan perlawanan.
Lima tahun berlalu sejak PT. SEI beroperasi, dampak buruknya sudah sangat menyengsarakan masyarakat terutama perempuan.
Dengan tercemarnya sumber mata air, masyarakat terpaksa membeli air untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya. Ibu Nurliani salah satunya. Dia pernah bercerita kalau terpaksa membeli air per tandon seharga 80 ribu sepanjang tahun 2023 sampai sekarang. Air satu tandon itu hanya bisa dipakai paling lama dua hari. Bu Nurliani tidak sendiri, banyak perempuan lain juga melakukan hal yang sama.
Pada saat kondisi Sungai Putemata masih baik, para perempuan biasanya mendapat penghasilan tambahan dari menjual kerang meti di sungai, tapi sekarang sudah tidak bisa lagi. Kerang meti yang tersisa, jika dibuka sudah lapuk isinya. Tidak bisa dikonsumsi lagi.
Karena sumber penghasilan yang memang sudah tidak ada, maka biasanya tagihan hutang akan dibayar dengan menghutang pada sumber yang lain. Terus menerus seperti itu, hingga koperasi banyak yang terpaksa mengambil barang berharga penghutang, sebagai ganti dari pembayaran.
Ketika kondisi ini disampaikan oleh Yayasan Tanah Merdeka pada pemerintah Desa Towara, mereka tidak percaya. Padahal untuk membuktikan ini, sesederhana melakukan audiensi dengan koperasi, maka kondisi utang warga Desa Towara akan dengan mudah didapatkan. Pemdes sepertinya memang tidak berpihak pada rakyat.
Di sisi lain, polusi yang dihasilkan dari PSN tersebut sudah di tahap sangat mengganggu kesehatan. Udara tidak segar bukan hanya dirasakan oleh Desa Towara saja. Satu kabupaten ikut merasakannya. “Saya sendiri sudah batuk tiada henti di Morowali Utara ini. Setiap pulang ke Palu, keluarga selalu menegur kenapa batuk terus,” kata Stevi menuturkan kondisi kesehatannya.
“Yang terparah adalah debunya. Anak-anak sampai dilarang bermain di luar rumah oleh orang tuanya. Rumah selalu ditutup sampai ke ventilasi, supaya debu tidak masuk,” tambah Stevi. Hal ini tentu bukan hanya melanggar hak warga untuk hidup di lingkungan yang sehat, tetapi juga melanggar hak anak untuk bermain dan menikmati udara sehat di luar rumah.
Kesadaran dan Perlawanan
Dalam kasus-kasus masyarakat melawan perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam, hal yang hampir sama seringkali terjadi, dimana kesadaran masyarakat muncul terakhir, ketika kondisi sudah makin buruk. Masyarakat sengaja dibuat tidak tahu dan tidak berdaya di awal, agar perusahaan segera berdiri dan melakukan eksplorasi.
Pemerintah juga sering kali justru berpihak pada perusahaan dan melupakan tugasnya sebagai pelindung rakyat. Begitu juga di Desa Towara.
Ketika masyarakat melawan, biasanya perusahaan telah menyiapkan diri dengan upaya-upaya membalikkan keadaan dan mengkriminalisasi masyarakat. Juni 2023 masyarakat pertama kali melakukan perlawanan dengan memblokir jalan yang dipakai untuk perusahaan lalu lalang mengangkut materi hasil tambang.
Partikel dari ore nikel yang ikut beterbangan di udara membuat jalanan licin. Meskipun perusahaan mengklaim jika sudah menyiram jalanan, tetapi pada kenyataannya, jalanan yang disiram segera kering karena cuaca panas. Belum lagi air yang menjadi sangat kotor.
Salah seorang warga yang sangat marah karena dia pulang kerja dan terpaksa mencuci muka dengan air kotor, melempar salah satu mobil perusahaan yang sedang melintas. Hal ini yang kemudian dilaporkan sebagai tindakan kekerasan.
Salah satu tugas Yayasan Tanah Merdeka adalah memberikan pelatihan SOP keamanan pada komunitas. Beberapa bulan setelah kejadian itu, kemudian warga dimediasi oleh pihak Polres dan perusahaan terkait kasus kriminalisasi yang terjadi pada warga. Salah satu tuntutan warga pada Polres ketika itu adalah untuk tidak menahan yang bersangkutan.
Laporan ke Pemda terkait kondisi air tidak pernah ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan serius. Masyarakat dibiarkan berjuang sendiri.
Warga awalnya takut melakukan perlawanan. Ini terjadi karena pada saat pertama kali akan melakukan aksi, rencana ini terendus oleh pihak perusahaan. Stevi dan kawan-kawan di Desa Towara diintimidasi. Selama dua jam mereka mengintimidasi agar warga tidak melakukan aksi. Tetapi hal ini tidak menyurutkan semangat warga.
Puncaknya adalah ketika terjadi longsor di bulan September 2024. Selain mengakibatkan luka tubuh pada seorang lansia perempuan, rumah warga terendam lumpur coklat dan pipa serta kayu-kayu gelondongan besar terhanyut dari hulu ke arah desa. Sumber mata air rusak, setelah sebelumnya PT. Keinz Ventura memindahkan pipa yang membuat debit air surut. Ini adalah pelanggaran karena mereka melakukannya tanpa seizin warga.
Warga sekarang mandi tiga hari sekali di sungai yang sudah cokelat airnya tersebut. Selebihnya air di rumah hanya untuk cuci muka dan gosok gigi. “Bayangkan saja, hidup di lingkungan berdebu dan hanya bisa mandi tiga hari sekali,” Stevi mengajak kita ikut merasakan penderitaan warga Towara.
Selain berada di lapangan berjuang bersama warga, tahun 2023 Stevi dan Yayasan Tanah Merdeka meluncurkan sebuah petisi online untuk meminta dukungan masyarakat agar mendorong Bupati Morowali Utara agar meninjau kembali perizinan tambang nikel di Desa Towara. Dukung Petisinya di sini: Selamatkan Ruang Hidup Desa Towara Dari Pencemaran Tambang Nikel
Perjuangan Mengembalikan Titipan Anak Cucu
Menghadapi perjuangan warga melawan perusahaan tambang, Stevi merasa bahwa ini adalah dampak dari UU Omnibus Cipta Lapangan Kerja. Semua keputusan diambil di pusat, mereka tidak paham kondisi lingkungan di mana penambangan akan dilakukan, atau sengaja tidak mau tahu dan peduli.
“Seharusnya perencanaan tata ruang melibatkan masyarakat. Bukan hanya tentang lingkungan fisiknya saja, tetapi juga ada peninggalan kebudayaan yang harus kita jaga,” tutur Stevi menegaskan. Morowali Utara memiliki banyak gua yang harus dilindungi karena masuk dalam cagar budaya. Tetapi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tidak juga diajak berdiskusi tentang potensi rusaknya cagar budaya tersebut.
Masuknya investasi itu, entah disadari atau tidak oleh pemerintah, juga merusak budaya setempat. Hubungan antar orang di dalam rumah terganggu, potensi kekerasan dalam rumah tangga menjadi ancaman serius, dan anak kehilangan kesempatan bersosialisasi dengan lingkungannya.
Stevi mengingatkan bahwa perusahaan lah yang seharusnya tunduk pada pemerintah, dan pemerintah menjadi pelindung warga, bukan sebaliknya. Saat ini warga banyak yang melakukan aksi spontanitas karena tidak tahu lagi harus mengadu kemana.
Pemerintah yang seharusnya menjadi tempat masyarakat berlindung dan mengadu, justru melindungi perusahaan yang jelas-jelas menyengsarakan kehidupan warga.
“Rasanya sering pengen menyerah,” Stevi menyampaikan perasaannya yang memang sangat bisa dimengerti. “Tapi saya selalu ingat lagi kata teman-teman di Torobulu, yang juga sedang berjuang melawan perusahaan penambang nikel. Mereka selalu mengingatkan kalau kita ini hanya meminjam tanah dari anak cucu. Kalau kita menyerah, apa lagi yang akan kita tinggalkan ke mereka?"
"Diam berarti membiarkan kerusakan yang lebih masif lagi terjadi.” Ini yang selalu menjadi penguat perjuangan Stevi dan Yayasan Tanah Merdeka selama menemani warga berjuang.
Stevi sendiri, terpaksa hidup jauh dari Rhea, anak semata wayangnya. Karena mustahil baginya mengambil risiko, membiarkan Rhea yang baru berusia delapan tahun itu, hidup di lingkungan berpolusi. Maka semakin kuatlah niatnya untuk berjuang.
Dia tidak menyebut terpisahnya dari anak sebagai pengorbanan. “Ini adalah kehormatan. Kelak Rhea akan tahu kalau setiap kerinduan yang kami rasakan, adalah upaya untuk mengembalikan pinjaman tanah dalam keadaan yang baik padanya dan generasi berikutnya,” kata Stevi.
Perempuan yang menyukai laut ini kemudian menambahkan di akhir diskusi kami, “Namaku Stevi Rasinta, yang artinya adalah keberuntungan. Aku berharap seberuntung itu juga dalam membantu memperjuangkan warga Towara memenangkan kembali hak mereka atas hidup yang sehat dan alam yang lestari.”
Tentang Penulis:
Dian Purnomo adalah seorang penulis dan periset yang memiliki perhatian khusus pada isu-isu sosial dan lingkungan. Klik untuk melihat profil lengkap Dian Purnomo.