Viedela Ve, Hidup Minim Sampah Sejak di dalam Rumah

Air adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan Viedela Aricahyani Kodirin. Perempuan yang kerap dipanggil Ve ini tinggal di sebuah desa bernama Kalibening, di Banjarnegara. Sejauh ingatan masa kecil Ve, nama yang disematkan pada sungai yang mengalir sepanjang desanya memang terinspirasi pada kondisi sesungguhnya. Sayangnya nama tersebut menjadi paradoks saat ini, karena Sungai Kalibening tidak lagi bening.

 

Ve menghabiskan lebih banyak masa kecilnya dengan Sang Nenek yang memperkenalkannya pada sungai bersih yang mengalir tak jauh dari rumah mereka. Selain sungai tersebut, Ve juga sangat terpengaruh pada sebuah dongeng yang bercerita bahwa nenek moyang manusia adalah air. Itulah kenapa sampai kapanpun manusia akan selalu dekat dan membutuhkan air.

Tahun 2013 Ve melanjutkan kuliah di Bogor. Di kampusnya, selain belajar manajemen, Ve juga menghabiskan waktu beraktivitas dengan Mapala Lawalata. Alam semesta juga tampaknya terus menghubungkan Ve dengan air. Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) adalah salah satunya. Ketika menjadi relawan di komunitas ini, Ve ikut terjun dan memanfaatkan waktu untuk merawat Ciliwung yang kondisinya semakin memprihatinkan.

Sungai Ciliwung seharusnya menjadi nadi yang menghubungkan Bogor dan Jakarta, tidak tampak seperti mengalirkan kehidupan di dalamnya. Ada kehidupan, tetapi secara kasat mata Ciliwung lebih mirip sebuah tempat sampah raksasa tak berujung bagi Ve dan kawan-kawan KPC. Dari mulai plastik kemasan, popok sekali pakai, pembalut, bangkai hewan, bahkan sampai sampah kasur yang masih utuh pernah ditemuinya di sepanjang aliran sungai tersebut.

Kondisi Ciliwung yang sangat kotor, demikian juga sungai yang mengalir di belakang rumahnya di Banjarnegara lah yang akhirnya membawa Ve pada pilihan kehidupan yang dijalaninya saat ini. Gaya hidup minim sampah.

 

Tantangan Hidup Minim Sampah

Setelah menyelesaikan kuliah, Ve melanglang buana ke berbagai pelosok negeri ini, menjadi relawan dan bekerja di berbagai organisasi, yang lagi-lagi menghubungkannya dengan air. Dia pernah berkegiatan di pesisir, untuk mengupayakan kembalinya kelestarian pesisir.

Setelah menclok ke sana kemari, Ve memutuskan untuk kembali ke rumah. Sejauh apapun melangkah, hatinya selalu tertambat pada rumah. Setiap kali mencoba memperbaiki apa yang terjadi di luar wilayahnya, dia kembali teringat bahwa di desanya mungkin hal yang sama juga terjadi. Dan tidak semua orang memiliki kemewahan untuk bisa pulang.

Awalnya dengan naif Ve berpikir kalau tinggal di desa, maka mempraktikkan gaya hidup minim sampah akan jadi lebih mudah, tetapi bagi lingkungan, hidup tanpa sampah adalah hal baru yang terdengar asing dan mengada-ada. Pengaruh kemajuan teknologi, perubahan gaya hidup, membuat masyarakat desa pun tak jauh bedanya dengan masyarakat kota. Belanja online yang kaya potensi sampah, semua hal instan dari mulai makanan sampai pakaian, dan masih banyak lagi.

Mempraktikkan pemakaian clodi (cloth diaper/popok kain yang dapat dipakai ulang) pada anak pertamanya adalah salah satu praktik suksesnya. Ve menyadari betul, bahwa dia tidak mau menjadi bagian dari 21 persen orang yang berkontribusi terhadap sampah popok sekali pakai di laut, seperti temuan Bank Dunia beberapa tahun lalu. Saat ini anak keduanya baru lahir dan belajar dari pengalaman sebelumnya, Ve optimis kalau akan melaluinya dengan baik. Tidak mudah memang, tetapi pasti bisa dilakukan.

Ve tidak memiliki sampah di rumahnya, semua benda yang berpotensi menjadi sampah diusahakan didaur ulang menjadi benda lain. Plastik menjadi ecobrick, sisa makanan diberikan pada ayam. Ayamnya sudah bertumbuh dari dua ekor menjadi tujuh sekarang plus potensi lima ekor lagi dari telur yang bersiap menetas. Kertas-kertas disimpan dan jika jumlahnya cukup, sesekali dibuat kertas daur ulang dan hasilnya untuk menggambar bersama anak-anak tetangga.

 

Ve sudah mempraktikkan berbelanja ke pasar dengan membawa tempat belanja sendiri. Meskipun awalnya tidak mudah karena pedagang tidak terbiasa, tetapi perlahan-lahan beberapa orang justru menanyakan, “Wadahe endi Nduk?” (tempatnya mana, Nak), ketika Ve mendatangi lapak belanja mereka.

Sayangnya tidak setiap usaha menuju hal baik dapat diterima dengan baik pula. Para tetangga yang belum terbiasa dengan gaya hidup minim sampah menuduh Ve hanya menghindari membayar iuran sampah. Ketika berusaha menjelaskan apa itu hidup minim sampah dan bagaimana keuntungannya, orang-orang yang merasa mengikuti perkembangan hidup Ve berkomentar, “Halah, cilikmu aku ngerti, saiki meh ngatur-ngatur.” (Haduh, aku kenal kamu dari kecil, sekarang udah besar mau ngatur-ngatur kita), atau kalimat-kalimat lain dengan nada mengecilkan.

Keluarganya sendiri, terutama sang Ibu, meskipun sudah mempraktikkan pemilahan sampah antara yang organik dan anorganik, pada akhirnya ketika menemukan ada banyak sampah plastik, maka dia akan membakarnya, karena tidak sabar menunggu akan diolah menjadi apa. Namun hal-hal tersebut tidak menghentikan niatnya untuk terus menjadi praktisi dan pemengaruh minim sampah.

 

Kampanye di Media Sosial

Mendapat banyak tantangan ketika mencoba memengaruhi lingkungan terdekatnya untuk ikut mempraktikkan gaya hidup minim sampah, Ve tidak menyerah. Pemilik akun Instagram @viedelaak ini menggunakan pendekatan berbeda dengan membagikan konten-konten bermanfaat di media sosial. Dia tahu ada banyak orang di wilayahnya yang juga sudah terpapar media sosial.

Dengan akun instagramnya, Ve mengunggah berbagai konten terkait lingkungan seperti cara membuat sabun alami, tips membuat ecobrick, mengelola sampah organik, memelihara magot, berbelanja minim sampah, keuntungan beralih ke popok kain, dan sebagainya. Unggahannya mendapatkan banyak respon positif, tetapi tentu saja terbatas pada anak muda yang memang lebih aktif bermedia sosial.

Belajar dari kesulitan memengaruhi generasi di atasnya, Ve berusaha keras untuk terus melibatkan anaknya agar memiliki kesadaran terhadap lingkungan sedini mungkin. “Yang aku bangga itu, sekarang anakku yang masih umur tiga tahun udah bisa menasehati temannya agar tidak membuang sampah ke sungai. Dengan bahasanya dia bilang kalau ikan bisa mati, kalau kita membuang sampah ke sungai.”

 

Suatu hari Ve mengajak anaknya ke TPA di kecamatan tempatnya tinggal. Niat awalnya adalah mengajarkan pada Sang Anak tentang bagaimana tumpukan sampah yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi pemandangan yang buruk, bau, mengganggu siapapun yang tinggal di sekitarnya, dan sebagainya. Perjalanan dengan Si Kecil berujung pada sebuah unggahan tentang kondisi TPA tersebut. Konten tersebut mendapatkan perhatian masyarakat, karena ada diantara mereka yang merasa memiliki keluhan yang sama.

Konten yang sama rupanya juga menarik perhatian Bapak Camat. Dia mengomentari unggahan tersebut dengan ucapan menyemangati, kemudian secara langsung menyampaikan ke kawan Ve yang kenal dekat dengannya, “Coba tolong tanyakan ke kawanmu yang bikin konten itu, apa idenya untuk pengelolaan sampah di kecamatan ini!” Sayangnya Ve masih belum dapat menemui Pak Camat. Dia masih beradaptasi kembali dengan kelahiran anak keduanya. Lagipula, dia tidak ingin datang tanpa ide yang bisa direalisasikan.

 

Menularkan Virus Perubahan

Sejak memulai kampanye minim sampahnya, Ve sadar betul bahwa dia tidak bisa bekerja sendiri. Sampah adalah masalah global yang bukan hanya terjadi di satu rumah. Sampah adalah masalah sebuah kampung, desa, kecamatan, kelurahan, kota, negara, bahkan dunia. Tetapi menyelesaikan permasalahan bisa dimulai dari rumah sendiri.

Bersama anak-anak muda yang sering nongkrong di dekat rumahnya, mereka pernah dengan sukses menghelat acara seni pinggir sungai. Kegiatan seperti ini jarang sekali terjadi di kampungnya, maka perhatian warga ikut tertuju ke sana. Mereka ingin ketika warga senang melihat kegiatan tersebut dan menyadari bahwa sungai yang bersih dan dirawat ternyata indah untuk dipandang, maka perlahan-lahan hal ini juga akan mengubah kebiasaan mereka membuang sampah ke sungai.

Kegiatan lain yang pernah dilakukan adalah mengadakan lokakarya pembuatan sabun alami. Ve sendiri sudah mempraktikkan pemakaian sabun natural selama kurang lebih empat tahun. Prosesnya juga kurang lebih sama, memakai produk orang lain, lalu belajar membuat sendiri.

Virus-virus positif terkait sampah yang dia tularkan berbuah ketika seorang pemuda desa tiba-tiba mengunggah sebuah konten tentang kondisi sungai kecil yang kotor, karena ada popok sekali pakai nyangkut di pinggirannya. “Kenapa ya, Mbak, hampir tiap hari aku lari lewat sungai itu, tapi kok baru notice sekarang kalau ada popok yang nyangkut di sana?” tanyanya pada Ve dalam percakapan di DM IG.

“Karena Kamu udah main sama aku,” seloroh Ve yang juga ada benarnya.

Kesadaran sering kali memang datang dari orang lain, harus ada yang mengingatkan. Karena sangat mungkin kita terlalu terbiasa dengan hal-hal buruk, sehingga tidak sadar bahwa ada yang salah dengan lingkungan kita.

Saat ini Ve dan sekelompok anak muda lain di desanya sedang saling menguatkan jejaring. Mereka telah memetakan kekuatan. Ada si paling jago bikin konten di media sosial, praktisi hidup nirsampah, petani jamur, peternak magot, petani sayuran organik, si rajin olahraga, si dekat dengan penguasa, si pengusaha, dan lain sebagainya. Komunitas ini secara berkala mengunjungi satu sama lain untuk saling belajar.

“Aku berharap suatu saat kita akan melakukan sesuatu yang mengubah wajah desa kita sendiri, sukur-sukur bisa menular ke lingkaran yang lebih besar,” demikian Ve mengakhiri obrolan hari itu.

Semoga dalam waktu cepat ya Ve. Setidaknya apa yang dilakukan Ve sudah mematahkan apa yang dikatakan Leo Tolstoy, “Banyak orang ingin mengubah dunia, tapi tidak ada yang mau mengubah dirinya sendiri.” Tesis Tolstoy patah. Di Desa Kalibening, Banjarnegara, Viedela, perempuan berpendidikan dan berkesadaran lingkungan tinggi, mengubah dirinya, kebiasaannya, dan terus memengaruhi dunia di sekelilingnya, tepat dari dalam rumah sendiri.

 

Tentang Penulis:
Dian Purnomo adalah seorang penulis dan periset yang memiliki perhatian khusus pada isu-isu sosial dan lingkungan. Klik untuk melihat profil lengkap Dian Purnomo.

Lihat artikel lainnya

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram